Part 36. Flashback

673 72 7
                                    

Alarm dari monitor ICU berdering keras menggema ke seluruh ruangan, menandakan jika kondisi pasien yang ada di tempat tersebut keadaannya semakin memburuk. Warna yang tersemat terus berkedip, dari yang semula oranye perlahan berubah menjadi semerah darah. Kondisi vitalnya berada di batas normal, bersamaan dengan detak jantungnya yang juga tidak beraturan, pada angka di monitor terpampang semakin merosot dari delapan puluh menjadi lima puluh ke bawah.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai samar-samar terdengar dari luar, semakin lama kian keras seperti orang tengah berlari. Sedetik kemudian pintu ruangan didobrak, memperlihatkan laki-laki dewasa yang menggunakan kemeja hitam. Rambut bagian depannya terlihat masih basah, bagian lengan digulung hingga siku, wajahnya tidak jauh berbeda dengan gadis yang sedari tadi berusaha bertahan hidup di atas ranjang.

"Astaghfirullah!"

Reza berlari cepat ke arah Keisya, ia menekan tombol darurat yang berada di samping ranjang. Napasnya tersenggal-senggal, bola matanya menyorot sayu. Ia memasang Defibrillator dengan sembarangan, entah benar atau salah ia tidak tau, yang ia inginkan hanya agar benda itu tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Di layar monitor garis yang tertera sudah tidak menunjukkan tanda-tanda alat vital yang bergerak, garisnya lurus tanpa ada grafik naik-turun.

"Kak–."

"Kak Keisya?"

Tidak ada sahutan, tubuh Keisya tidak lagi kejang seperti sebelumnya, dan Reza berpikir itu adalah hal baik, namun kala ia melihat angka-angka di layar monitor, garis panjang tidak lagi menunjukkan naik turun melainkan lurus, tidak ada lagi suara alarm yang menyala, dan ini mengingatkannya pada kejadian kemarin. Akan tetapi Reza tidak menyerah, ia mengguncang bahu gadis itu, tangannya yang bergetar menepuk pipi beberapa kali.

"Kak, buka mata kamu! Reza kangen sama kakak!"

"Kakak nggak boleh mati, kakak nggak boleh ninggalin aku lagi." Reza menggenggam erat tangan Keisya, rasanya mulai dingin, entah karena AC ruangan atau karena dia memang benar-benar tidak akan kembali. Sudut matanya sudah berair, turun membasahi pipi hingga dagu.

"Kakak tau kan kalau Reza cuma punya kak Kei. Jadi tolong jangan tinggalin Reza buat kali ini. Please ...." Dari arah luar sekitar empat orang memasuki ruangan Keisya. Jas putih serta alat-alat lainnya menjadi pemandangan tidak menyenangkan bagi Reza.

"Mohon anda keluar terlebih dahulu."

"Nggak! Aku tetap di sini, aku tidak akan meninggalkan kak Keisya."

"Jika anda memang mengkhawatirkannya, serahkan dia Kepada kami. Tolong segera keluar, kami akan berusaha untuk menyelamatkannya."

Dengan linglung Reza menganggukkan kepalanya, ia melangkah mundur, tidak pernah melepaskan pandangannya pada wajah Keisya yang begitu pucat. Di luar sudah ada Ratu, gadis itu terduduk di depan ruangan dengan tangan yang menutupi wajah berusaha untuk menyembunyikan air matanya.

"Pasien sempat koma beberapa hari lalu, dan tanpa ada gejala yang lain." Salah seorang dokter bersuara, ia adalah orang pertama yang menangani Keisya.

"Matanya tidak responsif terhadap pantulan cahaya. Pupil matanya tidak menunjukkan pergerakan." Senter kecil diarahkan ke mata Keisya, tidak ada tanda-tanda merespon dari hal itu.

"Pasien mengalami koma level tiga. Ambilkan Defibrillator."

Pasien dengan nilai GCS hanya tiga memiliki kondisi yang sudah fatal. Secara keseluruhan total paling baik adalah lima belas, dan yang paling parah adalah tiga itu sendiri. Pasien dengan nilai tersebut berada dalam keadaan koma, namun Keisya bener-bener diambang Kematian kali ini. Lagi-lagi alat kejut jantung menyentuh dadanya dengan kuat.

Eternal Love Of Dream [End]Where stories live. Discover now