Part 37. Memangnya kita bisa bersama?

725 76 5
                                    

"Dan bagaimana dengan hatimu? Bukannya kamu mencintai Aldric?"

"Dari mana mbak tau?" Keisya bertanya, ia bahkan belum membahas masalah hatinya.

"Gue punya banyak mata di sana. Ninggalin Lo sendirian di Jakarta itu bahaya, Lo terlalu bodoh!"

Sudut bibir Keisya terangkat ke atas, entah mengapa ia merasa senang bisa berduaan dengan Fathimah seperti ini, meskipun gadis itu seringnya mengumpat soal dirinya, ia sudah biasa. Padahal baru tadi dia menggunakan kata-kata yang manis dan sopan, tetapi tidak sampai semenit dia sudah kembali seperti semula. Namun ternyata di balik itu semua dia tetap peduli, buktinya sampai mengirimkan penjaga.

"Sekarang Lo mau ngapain? Ikhlasin dia terus Lo kasih ke ja**ng gitu?!" tanyanya terlampau ngegas, ia emosi setelah mendengar nama Violet disebutkan tadi.

"Keisya serahin ke Allah aja, mbak," ujarnya setenang mungkin. Padahal di dalam hati ia sudah berusaha mati-matian untuk tidak menjatuhkan air matanya.

Ikhlas? Bohong rasanya jika dirinya benar-benar merelakan Aldric begitu saja, terlebih pada Violet. Enam bulan begitu singkat, tetapi tidak untuknya. Selama itu ia mendapatkan banyak hal yang mengejutkan, salah satunya hadir sebuah perasaan untuknya. Namun di sisi lain ia pun sadar diri, gadis sepertinya terlalu jauh untuk bermimpi memilikinya. Dia, sosok sempurna di mata para manusia, sedangkan dirinya hanya kerikil kecil yang sering ada di pinggir jalan.

'Aku mencintainya, mbak, tapi aku lebih mencintai Dia yang sudah menciptakan-Nya. Tak pantas juga jika orang sepertinya menjadi milikku.'

Keisya mengangkat wajahnya ke atas, melihat awan putih yang bergerak ke selatan sesekali menghalangi matahari untuk bersinar, dengan itu berharap air matanya tidak jatuh untuk kesekian kali. Angin sepoi-sepoi khas di pagi hari membawa aroma tanah yang basah, hijab lebarnya bergerak tidak menentu, begitu pula dengan rambut Fathimah yang digerai. Suasana seperti ini akan sangat sayang dilewatkan. Semakin siang tidak hanya ada aroma tanah yang menyeruak melainkan juga kopi, selain jadi kota tape, Bondowoso juga memiliki julukan republik kopi.

"Gimana sama nyokap gue? Dia masih sering nyiksa Lo?"

"Hemm, papa mbak Fathimah masuk penjara, terus Nara ada di rumah sakit karena jatuh dari tangga." Keisya berujar tidak enak hati. Ia merasa canggung bila membahas keluarga Maheswari. Karena ia tau sakit hati terdalam yang Fathimah rasakan berasal dari sana.

"Oh."

Keisya menoleh ke samping, ia hanya mendengar satu kata, tidak ada raut sedih atau khawatir yang ia tangkap, Fathimah hanya menikmati indahnya langit tanpa ingin berbicara lebih lanjut. Mungkin dia memang sudah muak dengan keluarganya sendiri.

"Sorry, gara-gara gue Lo jadi kayak gini." Kepalanya menoleh ke arah sumur, dalam hitungan detik ia menyeka sudut matanya yang berair. Tentu di balik itu semua ia tidak ingin Keisya melihatnya.

"Nggak apa-apa mbak, ini udah takdir Allah." Seperti biasa gadis itu selalu melihat dengan cara yang positif.

"Nggak ada pertemuan yang sia-sia dalam kehidupan dunia ini. Setiap orang yang kita temui bisa jadi sebuah ujian, hukuman atau karunia dari Allah. Kalau katanya imam Al-Ghazali, setiap pertemuan itu kalau nggak bawa bahagia ya bawa pengalaman, mbak. Sekarang Keisya jadi tau kalau di Jakarta tempatnya nggak sebagus di TV-TV. Di sana orang-orangnya nyeremin."

Terdengar tawa renyah darinya setelah beberapa kata terungkap. Ia sekali lagi menatap gumpalan awan di langit. Rasanya begitu tenang dan damai, bisa pulang ke rumah, bertemu Khadijah, dan bermain dengan adik-adiknya adalah sesuatu yang paling ia rindukan, tak apa menggunakan wajah orang lain, setidaknya ia bisa berinteraksi dengan mereka.

Eternal Love Of Dream [End]Where stories live. Discover now