Part 24. Hati yang Lembut

727 81 3
                                    

"Kak, Reza capek. Boleh gendong gak?"

"Sini sini, naik ke punggung kakak aja."

"Kakak baik banget. Reza sayang kakak banyak-banyak!"

*

"Reza awas!"

Brugh!

Anak kecil dengan baju kotak-kotak terjatuh di sisi jalan, membuat sikunya terbentur dengan trotoar hingga terluka.

"Aduhhh ... Udah Kakak bilang kan kalau main jangan di jalan, nanti kalau ada apa-apa kakak yang dimarahin sama mama."

"Maaf ... Reza salah. Maaf ya kak. Janji deh, setelah ini nggak lagi."

"Beneran?"

"Heem, Reza janji pakai jari kelingking!"

"Oke."

*

"Kakak suka yang mana? Nanti Reza beliin."

"Yang itu, boneka kelinci. Memangnya uangnya ada?" Gadis dengan bando lucu di kepala bertanya sembari mengejek.

"Ada dong, Reza dapat uang banyak dari mama."

Bayang-bayang masa lalu berputar di dalam kepala dengan cepat, potongan-potongan puzzle yang coba disusun seketika hancur karena tidak bisa mendapatkan kepingan yang selaras. Erangan kesakitan terdengar dari dalam kamar yang ada di sebuah apartemen mewah. Tubuh laki-laki yang hanya terbalut kaus putih meringkuk di atas ranjang dengan wajah di bawah bantal. Keringat dingin bercucuran dari segala sisi, membuat selimut yang membungkus tubuh basah.

Kring kring kring

Bunyi alarm di atas nakas membuatnya terbangun, ia langsung terduduk dengan keadaan masih ketakutan dan cemas yang menjadi satu. Tangannya memijat kepala beberapa saat, selalu seperti ini, entah mengapa setiap satu bulan sekalia atau lebih memori itu berdatangan. Semakin lama, ingatan itu semakin banyak dan membingungkan, tetapi sampai sekarang dirinya masih belum menemukan titik temu. Siapa Reza? Dan siapa perempuan yang ada di dalam ingatannya itu, mengapa dirinya merasa tidak asing?

"Huftt ...."

Kaki jenjangnya turun dari atas kasur, berusaha mengenyahkan kejadian buruk tadi pagi. Dirinya tidak mengenal Reza, jadi untuk apa ia repot-repot memikirkan anak itu. Ia pun berjalan ke arah lemari dengan langkah yang masih belum seimbang, sering kali tangannya berpegangan pada tembok ruangan. Semuanya karena ia begadang, semalaman penuh mengerjakan banyak laporan, jadilah pagi-pagi ini ia seperti zombie dan bermimpi aneh.

Pada kertas besar yang tertempel itu sisi lemari terlihat warna merah pada beberapa tanggal tidak terkecuali hari ini. Angka nomor tiga, artinya ia tidak perlu bekerja. Enggan membuang waktu ia pun lekas memasuki kamar mandi, hingga suara shower terdengar ke seluruh ruangan. Dari luar, apartemen nomor 32 itu nampak bersih. Barang-barang tertata rapi, dan juga wangi.

Tok tok tok

"David, ada surat untukmu."

"Segera datang!"

Laki-laki yang hanya menggunakan celana pendek berbahan katun berjalan ke arah pintu, di bibirnya masih tersemat sikat gigi yang memiliki banyak busa. Rambutnya terlihat acak-acakan dengan air yang terus menetes, bahkan beberapa terlihat seperti jambul ayam. "Ada apa?" tanyanya.

"Dari bunda."

"Terima kasih."

Kertas putih seukuran telapak tangan David buka, di dalam terlihat beberapa lembar tulisan tangan bersambung yang indah. Aromanya sangat khas, parfum melati tetapi tidak menyengat, favorit dari perempuan yang disebut dengan bunda itu. Di bagian atas, tersemat salam sayang, dan di bagian tengah undangan untuk makan bersama, David tersenyum manis.

Eternal Love Of Dream [End]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora