03

5.5K 232 5
                                    

Seorang wanita muda, dengan tubuh yang lemah berjalan gontai keluar dari kamar. Ia menatap sekelilingnya, menatap lekat setiap sudut rumah dengan hati yang rapuh. Tatapan yang hampa seakan tidak ada kehidupan terpancar dari kedua manik biru itu.

"Nyonya.. " Suara pelan dan hati-hati itu tertangkap oleh indra pendengar si wanita yang kini menoleh.

"Nyonya mau kemana" Wanita paruh baya itu memberanikan diri bertanya, ia tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk, mengingat keadaan nyonya nya sekarang jauh dari kata baik.
Dirumah ini hanya dia yang selalu memperhatikan dan memperdulikan wanita itu. Bahkan pelayan lain tak pernah menganggapnya.

"Aku ingin keluar"
Memakai cardigan putih yang menjuntai panjang kebawah, ia menjawab dengan nada lirih.

"Saya akan menemani Nyonya"
Wanita paruh baya itu menawarkan diri, dengan cepat melangkah mengikutinya.

"Bibi Cha, tidak perlu... Aku ingin sendiri" Ia menatap lurus ke depan, menuruni anak tangga menuju pintu utama rumah.

Hanya dengan kalimat itu, Bibi Cha memberhentikan langkahnya. Yang ia tau Nyonya muda itu tak suka diganggu jika sedang tidak dalam keadaan mood yang baik. Seperti sekarang wanita itu tampak berantakan.

"Baik Nyonya, tapi izinkan saya melihat Nyonya dari jauh saja" pintanya, ia takut jika sesuatu yang buruk seperti sebulan yang lalu terulang kembali.
Walau hanya kecelakaan kecil tetapi wanita itu tampak kacau, bahkan dari semua orang yang tinggal di rumah ini, hanya ia yang perduli, Tuan Mudanya saja tidak perduli, bahkan mengabaikannya begitu saja. Ia sangat iba dengan Nyonya Muda itu. Ia sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri.

"Terserah Bibi saja"

Nyonya muda itu melangkah keluar dari pintu utama rumah, berjalan menuju taman belakang rumah. Disana ia dapat menikmati sepi, dengan wangi bunga yg bercampur setiap kali ia menghirup udara disana.
Belum sampai ditaman, ia bertemu dengan Adik Iparnya. Ia hanya melirik sekilas. Berusaha mengabaikan keberadaan Adik Iparnya. Ia tak ingin timbul masalah baru.

"Huh.. Bahkan dia sudah bisa mengabaikan ku"
Celektuk Adik Iparnya, ketika diabaikan begitu saja.

"Maaf Nona Karin"

"Wah.. Bibi Cha, kau sangat perhatian dengan Tuan mu ya, tolong katakan padanya, dia terlihat menyebalkan dengan raut wajah itu"

Bibi Cha hanya membalas dengan senyum kecil yang terpaksa. Ia tak ingin memantik api.

"Haha kalian berdua memang sangat cocok, harusnya ia sebagai pelayan saja"
Karin berucap sambil menunjuk-nunjuk keduanya dengan tatapan merendahkan.

Karin , ia adik dari Tuan Muda Amerd, Haizen Amerd. Sejak hari pertama kedatangan Kakak Iparnya itu,ia tak pernah akur. Ia tak menyukainya. Dimatanya wanita itu tampak menjengkelkan, ia lebih suka dengan mantan Pacar kakaknya sebelumnya, Gee Clairen. Wanita cantik dan kaya raya. Haizen dan Gee memutuskan hubungan mereka saat Ibu dari Haizen sakit dan memohon agar Haizen menikah dengan anak dari sahabatnya, Lize Reinssa.

Awalnya semua berjalan seperti biasa, namun saat Ibu Haizen meninggal, semuanya berubah. Semua orang kecuali Bibi Cha memperlakukannya layaknya orang asing dan merendahkannya. Haizen bahkan menunjukkan ketidak sukaannya selama ini yang sudah ia tutupi. Bahkan ia dengan tidak bersalahnya kembali menjalin hubungannya dengan Gee Clairen.

Hampa. Itu yang setiap hari kini, Lize Reinssa rasakan. Ia bahkan tidak memiliki semangat hidup lagi.

Lize duduk di kursi taman , ia menggenggam setangkai bunga mawar merah. Menatap sekeliling taman seolah bunga-bunga disana dapat menghiburnya. Jauh dari sana tatapan Bibi Cha mengawasi setiap gerak gerik Nyonya muda itu.
Air matanya menetes, seolah sesak didadanya menyesak untuk diluapkan. Ia menengadah ke laingit.

Transmigrasi Zea KeylardWhere stories live. Discover now