11

3.6K 155 1
                                    

Disinilah Zea sekarang menikmati sarapan paginya. 'Hem... Lumayan'
Ia makan dengan lahap, abaikan saja emosi yang memuncak tadi. Bertemu dengan makanan adalah yang terbaik. Ada kalimat yang berbunyi, makan manis dapat membuat mood kembali.

Zea mulai menyesuaikan dirinya disini, anggap saja menerima takdir hidup yang baru.

"Hai.. Kakak Ipar"
Karin muncul dengan senyum yang terlihat cukup ramah.

'Ahh perusak mood ku' Zea menatapnya, berusaha tak meladeni Karin.
Ia hanya melempar senyum.

"Apa kakak ipar baik-baik saja, ku dengar kakak ipar pingsan setelah bertengkar dengan Kak Gee"

"Seperti yang kau lihat, aku baik"
Zea mengedipkan sebelah matanya dan kembali melanjutkan sarapannya.

Melihat itu karin dengan cepat menghampiri Lize. Tangannya terangkat dan mendarat dihari Lize.
"Tidak hangat"

"Apa yang sedang kau lakukan"

"Kakak Ipar, kau sangat aneh"

"Apanya yang aneh"

"Kau bahkan mengedipkan mata, uh bulu kuduk ku merinding"

"Apa sih, sana pergi jangan merusak hari ku"

"Aku hanya menyapa mu , bagaimana mungkin itu disebut merusak hari mu"

"Sana pergi, hushh.. Hushh"

"Kakak Ipar apa kau pikir aku hewan"

"Apa aku berkata kau hewan"?

" Kauuu.... "
Karin berlalu meninggalkan Lize, 'ini kenapa jadi aku sih yang emosi, harusnya dia kan'

Zea melirik kepergian Karin. Sungguh adik Ipar Lize ini sangat menyebalkan. Bagaimana mungkin Lize bisa melewati harinya tanpa emosi dengan tingkahnya itu. Melihatnya hanya Zea muak.

"Selamat pagi Nyonya"

Suara Bibi Cha mengalihkan pandangan Zea.

'Oh Tuhan terimaksih, akhirnya malaikat  ku tiba'

"Selamat pagi Bibi, Bibi dari mana saja"

"Maaf Nyonya, saya tadi kepasar"

"Ahhh begitu, Bibi jika Bibi pergi keluar ajak aku ya, aku sangat bosan disini"

"Maaf nyonya tapi jika ingin keluar Nyonya harus mendapat izin Tuan Haizen dulu"

"Kenapa begitu Bibi, apa dia satpam sampai aku harus meminta izin segala"

"Bukan begitu Nyonya tapi itu adalah perintah Tuan Muda"

Zea tak habis pikir, apa-apan itu mau keluar saja harus ada izin dari nya, memangnya ia burung dalam sangkar, hitung-hitung bersosialisasi lah dengan orang sekitar, apa dia takut istrinya itu kabur.

"Nyonya Lize? "

"Baiklah Bi, aku akan membicarakannya nanti dengan Haizen, Kira-kira dia pulang jam berapa Bi?

" Itu saya kurang tau Nyonya"

"Astaga.... Apa aku harus menunggunya Bibi? "

"Iya Nyonya"

"Aku akan meneleponnya saja, terlalu lama menunggu itu tidak baik"

"Tapi Nyonya, Tuan Muda tidak suka dihubungi jika belum waktunya makan siang"

"Apa-apaan itu, memangnya dia sesibuk itu, berikan saja aku telepon Bi, aku yang akan berbicara dengannya"

"Tapi.. Nyonya "

Bibi Cha berusaha agar Lize tak menghubungi Haizen sebelum waktunya, ia tak ingin Nyonya Muda itu mendapat masalah seperti sebelumnya.

"Bibi tenang saja"

Dengan berat hari Bibi Cha memberikan telepon genggam pada Lize.
'Semoga saja hari ini lebih baik dari sebelumnya'

.
Tut... Tut... Tut...
Tut.. Tut.. Tut...

"Lihat Bi, telepon dari ku saja tidak dia angkat suami macam apa itu "

"Nyonya, sebaiknya jangan dilanjutkan"

"No.. No.. No.. Aku akan tetap melanjutkannya Bi"

Tut.. Tut...

"Halo, Bibi Cha, bukankah sudah ku katakan jangan menghubungi ku sebelum waktunya? "

"Halo...Suami jika aku mati apa kau akan tetap tak mengangkat telepon mu"?

" Lize? "

"Ya ini aku, kenapa kau lama sekali sih , aku hampir jamuran menunggu mu mengangkat telepon tau"

"Apa kau lupa aku rapat hari ini, dan lagi apa Bibi Cha tidak memberi tau mu untuk tidak menghubungi ku sebelum siang? "

Kening Zea mengkerut , 'apa-apan itu kenapa marah sih'

"Halo Lize kau dengar aku tidak"

"Aku tidak tuli, lagi pula aku hanya ingin meminta izin keluar"

"Kau mau keluar? Kemana? dengan siapa? "

"Yaa kau hanya ingin jalan-jalan dengan Bibi Cha tentunya, tidak mungkin dengan mu, yang ada nanti jalanan terbelah dua jika aku pergi bersama mu"

"Jangan memancing emosi ku"

"Aku sedang tidak memancing suami, aku dirumah, aku hanya ingin jalan -jalan itu saja"

'Apanya yang tidak memancing kata-kata mu saja sangat menyebalkan untuk ku dengar' Haizen memijit kepalanya di kantornya ia terlihat menahan emosinya.

Peter yang melihat itu hanya menggelengkan kepala saja, ia tak pernah melihat haizen sepusing ini menghadapi Lize.

"Tetap dirumah sampai aku kembali, tidak ada tapi-tapian"

"Itu sangat membosankan kau tau itu kan? "

"Bukan kah selama ini kau dirumah saja, kau bahkan menghabiskan waktu mu banyak di taman belakang"

"Aku tak suka kesunyian "

"Lize tunggu aku dan jangan keluar"

Tut. Haizen memutus telepon dari Lize. Jika tidak diakhiri degan cepat maka tak akan selesai, wanita itu sangat cerewet sekarang.

"Kenapa dia sangat berisik"
Haizen memijit kepalanya yang sedikit pusing

"Kau harusnya memberinya izin, laginoula dia pasti sangat bosan "

"Kau mendukungnya"?

" Aku hanya member saran, jika kau tidak keberatan "

Peter mendelik. Hazien ini sungguh tidak peka.

"Saran mu ditolak, lagi pula dia baru saja   sadar dari komanya, kemarin saja dia bertengkar dengan Gee jatuh pingsan"

"Apa mereka bertengkar? "

"Ya, Gee tiba-tiba saja dagang ke rumahku"

"Kau ini, istri mu saja baru siuman dan sudah membuat keributan"

"Bukan aku, mereka saja yang bertengkar"

"Memangnya mereka bertengkar karena ulah siapa? "

Seketika Haizen terdiam. Melihat itu dengan cepat Petar membereskan dokumennya dan melangkah pergi meninggalkan Haizen

"Memangnya itu salah ku"
Hazien menatap keluar jendela. Pikirannya saat ini di penuhi dengan Lize.
.
.
.
.
Disisi lain, wajah Lize tampak masam dengan apa yang baru saja ia dengar dari Haizen.
"Dia itu kenapa sih"

Bibi Cha hanya diam memandangi Lize.
Ia tak tau harus berkata apa lagi. Sepasang suami-istri itu sangat buruk dalam berkomunikasi.

Transmigrasi Zea KeylardWhere stories live. Discover now