16

3.2K 115 1
                                    

Zea memeluk bantal gulingnya, tampilannya berantakan. Sesekali ia menarik ingusnya. Menangis bukanlah kebiasaanya tapi setelah dia memasuki dunia Lize , ia semakin sering menangis. Emosinya bahkan tidak terkontrol. Berbeda dengan kehidupan sebelumnya ia adalah wanita yg jarang menangis.

'Ugh payah.. 'Ia mengusap wajahnya kasar. Dia Kembali membalik lembar buku catatan biru muda yang dihiasi gambar bunga matahari kecil disetiap sudutnya.

Disana ia menemukan bagaimana Lize mengungkapkan perasaannya lewat tulisan, semua yang dia laluli tertulis disana. Rasa kecewa, sedih, bahagia  terhadap kehidupannya ia tuangkan di setiap lembarnya.

Zea menemukannya dalam kotak kecil yang tersimpan didalam lemari baju yang sengaja di taruh di sudut lemari, dimana kuncinya masih tertancap.

"Dia bahkan terlihat buru-buru sekali di lembar akhirnya"

Zea mengusap buku itu. Ia kembali menyimpannya ditempat semula dan kuncinya ia simpan ditempat yang tidak ada seorang pun yang tau.

Tuk.
Tuk.
Tuk.

Zea buru-buru merapikan tampilannya. Setidaknya ia tak terlihat seperti orang yang baru saja melewati badai topan.
Ia membuka pintu kamarnya.

"Hai Kakak, Ipar"

"Mau apa"?
To the point saja, Zea sangat malas saat ini, tenaga bahkan terkurasa saat menangis tadi.

" Kak Haizen berkata sebaiknya Kakak Ipar turun untuk makan siang"
Karin melirik tampilan Lize, apa perkataannya tadi sukses mengacaukan harinya?

"Katakan saja aku tidak lapar"

"Apa Kakak Ipar habis menangis"?
Karin bertanya walau sebenarnya apa yang ia lihat sudah menunjukkan jawabannya.

" Tidak"

"Tapi sepertinya iya, mata kakak ipar bahkan mendukung "
Karin sepertinya memang sangat suka membuat Lize kesal

Lize memutar malas bola matanya.
"Oh ini, tadi mata ku kemasukan cicak, cicaknya bahkan sangat ribut"

"Ahh Cicak yaa"

"Ya, jika sudah tak ada urusan lagi, tolong tinggalkan aku, aku ingin tidur"

Karin mengangguk mengerti. Dan pergi meninggalkan Lize.

"Mengapa dia sangat berisik sih"
Lize menutup pintu kamarnya. Ia kembali naik ke kasurnya. Menggulung dirinya disana dengan penuh pikiran.

.
.
.
.
.
Karin turun, ia berjalan ke ruang makan.  Sejak tadi ia sudah menahan laparnya, jika bukan kakaknya yang pemaksa ini yang memintanya ia tak akan melakukannya.

"Dimana dia? "
Haizen yang melihat karin datang sendiri dan tak menemukan sosok Lize bersamanya.

"Kakak Ipar berkata ia tidak lapar, puas? "
Karin segera duduk dan bersiap mengambil piring makannya. Cacing -cacing perutnya bahkan seperti perang ingin segera diberi makan.

"Mengapa kau tak memaksanya"

"Ia bahkan berkata ingin tidur"
Karin sangat lapar sekarang mengapa kakaknha ini sangat cerewet.

"Begitu? "

"Hemm.. Tapi kakak, sepertinya kakak ipar habis menangis , bahkan wajahnya sangat jelek, ingusnya bahkan menjuntai euy" Karin sedikit melebih-lebihkan, anggap saja ia sedang balas dendam.

"Menangis? "

"Ya, dan jika kakak ingin tau lihat saja langsung, aku ingin makan dari tadi kakak bahkan bertanya terus"

Haizen diam dan tak melanjutkan pertanyaannya. Karin benar bukan, harusnya Hazien sebagai suaminyalah yang melihatnya, komunikasi mereka memang sangat buruk.

.
.
.
.
Setelah selesai makan siang, Haizen berniat melihat Lize. Ia menaiki tangga dan berhenti didepan pintu kamar Lize.

"Mengapa ia sangat hobi sekali menutup pintu tidak rapat" Haizen memegang gagang pintu kamar Lize dan membukanya pelan, disana ia dapat melihat sosok yang ia cari sedang menggulung dirinya seperi sosis.

Dengan derap langkah yang pelan, Ia berjalan mendekatinya.

"Karin, sudah ku katakan aku ingin tidur"

Lize masih tak menyadari siapa yang saat ini memasuki kamarnya.

Haizen berjalan semakin dekat dan menyingkap selimut Lize.

"Yakkk... Apa kau hobi sekali membuat ku marah"
Lize mematung dengan sosok yang saat ini berada dikamarnya.

"Apa kau marah"?

" Mengapa kau kesini"

"Kau tidak makan"?

" Apa yang sedang kau lakukan disini"?

"Apa kau tidak bisa menjawab pertanyaan ku"?

" Aku sudah menjawabnya tadi pada karin"

"Itu Karin bukan Aku"

"Itu sama saja "

"Berbeda"
Hazien terus-menerus menghujani Lize dengan perkataannya, walau ya itu akan membuat lize semakin marah.

"Sana pergi kau membuat ku kesal"

"Ahh ternyata bernar, kau marah"

Lize menajamkan pandangannya pada Haizen, 'kenapa dia sangat menyebalkan'

.
.
.
.
Lize turun untuk makan siang setelah Haizen mengancamnya dengan tidak akan memberinya makan selama seminggu. Dan benarnya saja ancamannya berhasil. Istrinya itu sangat suka makan jadi tidak mungkin dia menghiraukannya.

Walau dengan wajah yang kusam, Lize tetap memakan makananya. Anggap saja ia terpaksa makan karena saat ini dihadapannya Haizen sedang mengawasinya. Setiap sendok makanan yang masuk tak luput dari perhatian Haizen.

"Suami"
Lize bersuara kecil.

"Ya"??

" Bisakah aku kuliah"???

Lize memang tak menyelesaikan Kuliahnya , setelah ia diberi tau Ibunya akan dijodohkan dengan anak dari keluarga Amerd yang berkecukupan, ia dipaksa berhenti karena pernikahan mereka terbilang cukup cepat untuk dilaksanakan dan butuh persiapan. Dan Lize saat itu tidak keberatan. Namun ia terlena, ia lupa untuk melanjutkannya dan hanya fokus untuk mendapatkan cinta Haizen. Dan Zea mengetahui itu dari buku catatan yang ia baca tadi.

"Kenapa kau tiba-tiba ingin kuliah"

"Aku bosan dirumah, aku ingin memiliki kesibukan"

"Bukankah kau suka di rumah dan sibuk merawat tanaman mu "?

" Aku juga ingin punya gelar, bagaimana nanti pandangan orang-orang padaku"

"Mengapa sekarang kau memikirkan itu? "

"Anggap saja aku tersadar dari kebodohan ku"
Lize dengan enteng menjawab
'Hitung-hitung  jika kita bercerai, aku bisa mengandalkan gelar ku mencari pekerjaan'

"Ahhh akhirnya kau menyadarinya"

"Tentu saja, aku tidak ingin terlihat bodoh, jadi kau menyetujuinya bukan? "

"Bisa saja asal, kau berkuliah ditempat yang sama dengan Karin"

"Apa?!! Tidak.. Tidak, Aku tidak mau"

Lize tak setuju dengan tawaran Haizen, dirumah saja bertemu Karin membuatnya kesal, bagaimana mungkin harus bertemu lagi di kampus

"Yasudah, jika tidak mau"

"Heiiiiiii... Bagaimana bisa begitu"
Lize meninggikan suaranya.

"Lize suara mu dapat membuat telinga ku tuli"

"Biar saja, kau membuat ku kesal"

"Aku hanya memberi penawaran, jika kau mau maka kau dapat kuliah"

"Kauu memang menyebalkan"

"Terimakasih pujiannya"
Haizen mengedipkan matanya dan Lize yang melihat itu semakin kesal.


Tbc.
Semoga kita sehat selalu ☺😊

Transmigrasi Zea KeylardWhere stories live. Discover now