✓✓ BAB 13 - Jeruji Besi

2.7K 325 5
                                    

Kami bertiga dimasukkan ke penjara. Yah, setidaknya tempat ini bersih dan kosong. Seperti belum pernah digunakan.

Namun, tetap saja ini sebuah penjara, yang mengekang seseorang. Jelas, kami tidak bisa ke mana pun.

Dari pertama masuk, Rendy dan Grem tak saling tatap maupun bicara.
Suasana tegang sangat terasa di sini. Mereka berdua berdiri bersandar di kanan dan kiriku. Terlalu lama kami saling diam, membisu di ruangan yang hanya ada lubang kecil di pintu keluar.

"Kalian." Aku ingin berbicara untuk memecah keheningan. Namun ....

"Ini semua salahmu, Ren." Grem memotong perkataanku dengan nada datar.

Sudah, mereka mulai berdebat lagi.

"Cih." Rendy membuang ludah.

"Kalau kau tak menuduhku dan tidak melindungi pembunuh sekaligus temanmu itu, kita tidak akan di sini." Grem terlihat muak. Padahal ia sudah melindungiku, tapi karena keegoisan sifat manusia, kami jadi berada di sini. Di ruang yang sempit.

"Ben bukan pembunuh, kaulah yang pembunuh." Rendy menyangkal, masih dalam prinsipnya.

Mereka terus saling menyalahkan, aku mencoba menghentikan hal ini "Kapan kalian mau berhenti?"

"Sampai Grem mau mengakui kalau dia pembunuh." Rendy masih bersikukuh.

Kalau pun Grem bersalah, ia takkan mengaku semudah itu. Namun, dari tatapan matanya dan cara berbicaranya aku bisa menebak, ia jujur kali ini.

"Lebih baik kita selesaikan di sini, bagaimana!?" Grem sekarang menantang Rendy, aku berusaha menengahi mereka. Mereka akan saling pukul jika tak ada aku.

"Apa yang lakukan!? Hey!" Aku masih berada di tengah-tengah mereka, mereka akan bertengkar.

Bukannya mereka berhenti, aku malah didorongnya sampai terjatuh, "Terserah kalian!"

Ya, terserah kalian mau bagaimana. Aku pun tak dirugikan jika salah satu dari kalian mati karena bertengkar tentang masalah yang seharusnya bisa kita telusuri bersama-sama.

Aku tak peduli lagi dengan mereka, aku duduk bersandar, menonton mereka yang saling pukul, mereka seimbang, bahkan--mungkin sampai 30 menit mereka bertengkar dan terlihat kelelahan--sampai akhirnya berhenti, terduduk dengan napas tak beraturan serta muka yang lebam.

"Kalian sudah puas?" Aku melihat mereka yang sudah tak bertengkar.

"Aku mau istirahat," ucap Rendy, ia merebahkan tubuhnya.

Bicara tentang Grem, aku tak tahu--itu nama aslinya atau bukan, "Grem ..., itu nama aslimu?"

"Aku tidak peduli dengan nama asli," jawab Grem singkat.

Baiklah, aku bisa mengerti tentang perasaannya saat ini. Dan aku takkan bertanya lagi soal hal pribadinya.

"Darius, itu nama aslinya," ucap Rendy memotong.

Ah, bagus Ren. Kau sudah tahu, jadi aku memang tak perlu lagi bertanya.

Darius, nama yang bagus.

"Lebih baik menggunakan nama yang diberikan Zara, agar tak ada yang curiga," ucap Grem.

Darius benar. Saat ini, kita harus menggunakan nama yang diberikan perempuan itu. Ya, ini lebih baik.

Memang, lebih baik menggunakan nama ini, Letter. Nama asliku sebenarnya Rikaz, berpura-pura akan menyelamatkan nyawa saat ini. Ya, itu lebih baik.

Namun, aku melihat sekali lagi bahwa Grem alias Darius punya sifat yang baik. Kurasa, kami bisa berteman dengannya, aku bisa akrab dengannya.

****

Sampai malam hari kami akhirnya tertidur. sampai saat aku terbangun karena Darius atau Grem dan Rendy membangunkanku.

Sinar matahari dari luar yang terpancar masuk lewat lubang ventilasi itu menyilaukan mataku. Sampai saat aku melihat Rendy dan Darius yang sedang menikmati makanan. Ya, seseorang memberikan kami makanan, sepotong daging yang aku dan Rendy sudah lama tidak memakannya. Sudah ada di dalam sini, bersama kami.

Sepertinya itu lezat. Perutku sudah tak tahan ingin menampungnya.

"Siapa yang mengantarkannya?" tanyaku.

"Sudah, makan saja, persetan dengan siapa yang memberi," cetus Darius. Benar juga ucapannya, lagipula itu kurang penting.

Yang terpenting sekarang adalah mengisi perut ini. Agar bisa mengungkap siapa sebenarnya sang pembunuh itu.

Mungkin, ini daging sapi atau kambing, yang jelas kami tidak butuh waktu yang lama untuk menghabiskannya. Lezat memang, tetapi karena kami di dalam penjara, rasanya agak berbeda.

Tiba-tiba, pintu penjara ini terbuka, dengan Nob yang berdiri di baliknya--sembari membenarkan kacamatanya, "Makanannya enak, kan?"

Bagus. Kau memancing emosi seseorang, sebenarnya termasuk aku yang tak habis pikir dengan apa yang Nob lakukan, tetapi aku bisa menahan amarahku. Lain dengan Darius, dia ....

Darius tidak menjawabnya. Ia mendekat dan menghantamkan kepalan tangannya ke perut Nob. Aku mencoba menenangkannya, begitu juga Rendy yang hampir menghajarnya.

"Ini sakit, tapi, aku paham," ucap Nob sembari memegangi perutnya.

Ucapan Nob, ada sesuatu yang ingin dia katakan. Mungkin itu penting, jadi mungkin aku harus mendengarkannya.

"Kenapa kita tidak menghabisinya di sini?" tanya Darius. Ia sangat bernapsu.

"Kita dengarkan alasannya dulu ..., oke?" ucapku.

"Kalian bebas, sejak kemarin kalian di sini, tapi pembunuhan masih berlanjut. Rencanaku berhasil, kalian harus tahu. Kami sudah menangkap pembunuh sebenarnya."

Benar, kan firasatku? Nob punya ide dengan memasukkan kami bertiga ke dalam penjara ini. Pembunuhan itu masih berlanjut, dan kami jelaslah tak bersalah.

Sama sekitar tak bersalah atas apapun itu. Kami bebas, dan bodoh sekali pembunuh itu ternyata.

"Apa kubilang, si Ben, temannya Rendy, kan?" tanya Grem. Ia sangat berharap jika orang itu adalah pembunuhnya.

"Kau masih menuduh Ben!?" tanya Rendy--yang saling bertatapan dengan Darius.

"Bukan, bukan Ben."

Bukan Ben?

Lantas, siapa?

Ada orang lain yang membunuh?

Sampai di sini, kami bingung siapa yang membunuh para penjaga.

***

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang