✓ BAB 31 - Helper

1.9K 250 6
                                    

Kami menggunakan senjata yang tersisa, pedang.

Terus membunuh para makhluk penggigit yang mendekat.

"Terlalu banyak, sial!" keluh Darius.

Masing-masing dari kami sangat kelelahan. Napas tak beraturan. Kami sudah membunuh banyak dari mereka. Namun, tak ada artinya, mereka terus berdatangan. Mengantre untuk berebut daging.

Keringat kami bercucuran, ditambah dengan terik matahari yang menyengat. Lengkap sudah kondisi antara hidup dan mati ini.

Pakaian kami yang basah karena keringat, kini kering saking lamanya berada di sini.

Sesaat kami berhenti melakukan pembunuhan hanya untuk sekedar meneguk air minum. Beruntung kami membawa air yang cukup.

Kami sempat saling tatap. Beberapa lainnya terlihat lemas, seolah sudah tak ada harapan.

Namun, suara helikopter kembali terdengar. Terlihat dari arah GBK, keluar dari sana dan terbang ke arah kami. Sampai di atas kami. Pasti mereka mendengar tembakan tadi.

Kurasa, keberuntungan masih berpihak pada orang yang tepat.

"Hei! kalian!" terdengar teriakan dari pengeras suara di helikopter itu.

"Kalian! cepat naik!" teriaknya lagi, lalu diturunkannya sebuah tangga yang biasa aku melihatnya di televisi.

"Kau yakin?" tanya Ari.

"Tak ada pilihan," jawabku singkat.

"Biar Sophie dan Resha dulu," ucap Darius sambil menghentikan Alam yang akan naik.

"Cepatlah!" teriak lagi orang yang ada di dalam helikopter itu.

Resha segera menaikinya yang di ikuti Sophie. Saat mereka sudah di atas, Ari langsung naik dan kemudian Alam.

"Darius, kau duluan," ucapku sambil kutatap dia.

"Tidak, kau dulu saja." suruhnya yang langsung kuturuti perintahnya. Naik dengan cepat sampai di atas.

"Sekarang kau naik!" teriakku yang kini telah berada di dalam helikopter.

Bukannya segera naik, Darius malah berdiri di atas kepala mobil. Tetap dengan membunuh satu persatu makhluk itu.

"Dia akan mati," ucap orang ini, mukanya tertutup dengan kain kecuali bagian mata.

"Tunggu sebentar," ucapku. Aku yakin, Darius tak sebodoh itu. Pasti ada alasan ia melakukannya dan benar. Ia terlihat berusaha memecah kaca depan mobil itu dan langsung masuk ke dalamnya. Beberapa detik kemudian ia muncul dan kembali berdiri di atas mobil.

Sniper, itulah yang ia ambil. Entah apa yang dipikirkannya. Beruntungnya, ia segera berusaha naik.

Aku sempat tersenyum lega, tetapi senyumanku lantas berubah. Satu makhluk menarik kaki Darius dengan kuat sampai genggamannya terlepas.

"Darius!" teriak kami bersamaan, ia terjatuh di antara para makhluk itu.

"Cepat turunkan helikopter ini!" pintaku yang tak dipedulikan oleh pria berpenutup muka.

"Ia tak mungkin selamat," ucap pria ini, "Kita tinggalkan dia." Lanjutnya yang langsung menyuruh pilot agar segera pergi menjauh dari sini menuju GBK.

"Kita harus melupakannya, betul ucapannya, Darius tak mungkin selamat," ucap Sophie sembari menenangkanku.

Kulihat lagi ke bawah. Memang Darius telah menghilang tak terlihat lagi di antara makhluk itu.

"Sial!" umpatku.

Entahlah, entah akan siapa lagi yang akan menjadi korban. Tinggal menunggu waktu.

"Dia orang baik," ucap Alam.

"Ya, itu jelas," ucapku sembari masih kuperhatikan ke arah mobil kami.

Darius benar-benar tak terlihat lagi. Ia sudah menghilang.

Sementara, helikopter ini telah sampai mendarat dengan lancar di tengah stadion. Kami turun dan langsung disambut banyak orang.

Lapangan ini, kini telah menjadi tempat pengungsian dengan tenda-tenda yang berdiri di setiap sisi. Tribun penonton-pun telah dialihfungsikan.

Orang berpenutup muka dan pilot-pun berdiri di depan kami bersama dua orang lagi yang memegang senjata api laras panjang. Penampilan mereka layaknya tentara.

"Buka pakaian kalian," suruh orang berpenutup muka.

"Untuk apa?" tanya Alam.

"Kami tak mau mengambil risiko, terutama kau!" orang ini menunjuk ke arahku, "Buka perban di kaki dan tanganmu! dan buka baju serta celana kalian!"

"Kau gila? menyuruh kami melepas pakaian di tengah orang sebanyak ini!?" Sophie berontak, ia dan Resha takkan mau melakukan itu.

"Untuk kalian berdua," ucap orang ini dan memanggil dua orang perempuan, "Silahkan buka di dalam sana." ia menunjuk ke arah salah satu tenda yang cukup besar, "Periksa mereka berdua, pastikan tak ada luka gigitan." suruhnya kepada dua orang perempuan.

"Baik," jawab bersamaan dua perempuan. Mereka memaksa Sophie dan Resha.

"Kalau kami tidak mau, apa yang akan kau lakukan, hah!" Sophie membentak.

Ia tertawa dan langsung mengambil pistol di pinggangnya. Menodongkannya ke kepalaku.

Aku berniat menghunus pedangku. Namun ....

DOR!

Lengan kananku tertembak, sial!

Aku meringis kesakitan, sementara Resha mendekatiku, lalu memegang lenganku yang tertembak, "Tidak apa, ini hanya menyerempet dan menggores sedikit, pelurunya tidak ada di dalam," lanjutnya sembari mengikat luka di denganku dengan kain.

"Sniper," ucapku sambil menahan rasa perih.

"Ya! di setiap sisi lapangan ini telah terdapat penembak jitu." ucap orang ini yang telah diketahui bernama Rudi dari tanda pengenal di bajunya. "Ayolah, kami hanya ingin menyelamatkan kalian, jangan mempersulit diri kalian sendiri, lakukan apa yang kami minta, lagipula ini demi keamanan."

"Kita lakukan saja perintahnya," bisik Alam padaku.

Kami terpaksa melakukan ini, Sophie dan Resha masuk ke dalam tenda itu. Mereka akan baik-baik saja.

Sementara kami bertiga, Aku, Alam, dan Ari tetap di sini untuk melepaskan pakaian. Kecuali pakaian dalam.

Mereka mendekati kami dan memeriksa setiap sisi. Aku dalam bahaya.

"Perbanmu," ucap Rudi sambil melirik tanganku.

"Ini hanya luka biasa." aku mengelak.

"Cepat buka!"

"Sudah kubilang, ini hanya luka biasa...." ucapku sembari kubuka perlahan sampai saat Rudi melihat bekas gigitan yang belumlah sembuh. Mereka mundur sembari menodongkan senjatanya.

Sepertinya mereka takkan percaya.

###

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang