✓ BAB 27 - Infections And Threats

2.2K 259 8
                                    

Lena mengacungkan pistol di kepalaku, aku terdiam sambil meliriknya. Kuangkat kedua lenganku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Kau tergigit," ucap Lena. Kini ia bersiap menembak.

"Apa masalahnya? ini cuma luka kecil, kan?" Aku belum sadar akan apa yang telah terjadi.

Sesaat aku memejamkan mata dan berpikir akan mati. Namun, tak lama terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga. Membuat sebagian makhluk ini teralihkan perhatiannya. Suara klakson dan alarm mobil juga terdengar setelahnya. Sangat keras.

Lena menjadi tidak fokus, dengan cepat kurebut pistol di genggamannya dan juga pedangku yang di pegang oleh Ari. Mereka entah kenapa menjadi terlihat takut terhadapku, tak berbicara sedikitkpun.

Setelah semua makhluk pergi menuju asal suara itu, kubuka pintu mobil ini, dan aku disambut oleh satu monster. Tapi tak masalah, kupotong tangan dan kakinya, makhluk ini terjatuh tak berdaya. Kuakhiri dengan menusuk kepalanya.

Ari dan Lena keluar, kutatap sesaat mereka berdua, lalu kualihkan pandanganku ke arah makhluk-makhluk ganas yang kini telah pergi menjauh.

Ari secara tiba-tiba menempelkan telapak tangannya ke dahiku. Spontan kusingkirkan dengan melintir tangannya ke belakang. Ia meringis kesakitan, lalu kulepaskan tanganya. Kucengkeram kancing baju atasnya, "Apa maumu!?"

"Itu, gigitan tadi, seharusnya kau demam setelahnya," Ari terlihat bingung.

"Demam apa!?"

"Ya, demam, itu yang terjadi, sehabis itu kau kejang-kejang dan tak sadarkan diri, beberapa detik kemudian kau seharusnya menjadi monster itu!" Jelas Ari dengan penekanan pada kata terakhir.

Perlahan kulepaskan cengkeramanku, dan aku sedikit teringat akan dua orang saat aku di penjara oleh Johan. Namun, kenapa aku tidak berubah? setidaknya aku sudah mati saat ini.

Namun, jujur aku merasakan lelah yang teramat sangat mengalir dari ujung atas hingga bawah tubuhku.

"Lena, di mana dia?" tanyaku saat tiba-tiba teringat dengannya. Ari juga terlihat teringat akan Lena.

Kami melihat ke sana-ke mari dan akhirnya menemukannya tepat di belakang kami, dia sedang menangisi Johan yang sudah terkapar penuh darah. Ari langsung mendekatinya dan menarik lengan Lena, tapi ia tak mau berdiri. Entah apa hubungannya dengan Johan.

Kuhampiri mereka dan saat kulihat Johan, mata yang tadinya terpejam tiba-tiba terbuka lebar, secara langsung menyerang Lena dan menggigit lehernya secara brutal. Aku dan Ari berusaha menarik dan memisahkan mereka. Lena berteriak histeris. Johan tak mau melepaskan gigitannya.

"Cepat! gunakan pedangmu!" teriak Ari yang menyadarkanku. Langsung kutancapkan tepat di Dahi Johan, ia terkapar lemas.

"Ini yang kumaksud," ucap Ari.

Johan berubah jadi makhluk itu langsung menyerang Lena, Sesuatu yang telah menyadarkanku akan gigitan di tangan dan kakiku ini, apa aku akan berubah jadi seperti mereka?

Apa aku akan mati?

Lena juga telah terkapar di aspal ini, kududukkan dia, sementara darah terus mengalir di lehernya.

Ari menempelkan telapak tangannya di dahi Lena dan langsung menatapku sembari menggelengkan kepala. Aku mengerti, sudah tak ada harapan.

"Dia demam, itu gejala utama," ucap Ari.

"Kita bawa dia ke tem--"

"Kita harus membunuhnya! atau dia berubah!" Ari memotong ucapanku dengan nada keras.

Di sela-sela kami berdebat, para makhluk itu malah berbalik lagi ke arah kami, Sial! memang tidak sebanyak tadi, tapi kami tetap kalah jumlah.

"Kita harus meninggalkannya," ucap Ari dan aku kini setuju dengannya. tanpa aba-aba, aku berlari  ke belakang--arah kami datang tadi. Ari juga ikut berlari mengikutiku.

Kami berlari sejauh dan sekencang mungkin, sesekali kutengok ke belakang, mereka masih saja mengejar kami. Sesekali kami berhenti untuk mengatur napas.

Jelas kami akan kelelahan, sedangkan mereka takkan merasa lelah sekalipun berlari sampai ujung dunia. Kami dirugikan akan hal ini, terlebih dengan luka di kakiku yang membuatku sedikit pincang.

Kami berhenti, bukan karena menyerah, tetapi karena dari belakang para gerombolan itu ada satu mobil merah menerobos serta dibarengi suara tembakan.

"Siapa mereka?" tanya Ari.

"Tidak tahu, lebih baik kita sembunyi."

Di tepi jalan ini terdapat sebuah mobil box putih. Sebenarnya hampir disepanjang jalan ini terparkir mobil dengan sembarang. Namun, hanya satu yang bisa untuk bersembunyi.

Kami segera bersembunyi di balik mobil box dan menunduk, berharap kami takkan ditemukan.
Entah mereka mengetahui kami atau hanya kebetulan, mereka berhenti di balik mobil ini.

Sesaat tak ada suara, dan beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki yang turun dari mobil. Perkiraanku ada dua orang. Aku sedikit mengintip  dari sini, terlihat satu orang berbadan kekar dengan rambut acak-acakkan dan satunya lagi adalah seorang perempuan dengan rambut pendek memakai kacamata. Tidak lupa mereka juga menggenggam senjata laras panjang. Mereka memperhatikan kanan-kiri untuk memastikan. Aku dan Ari terdiam berusaha agar tak terlihat. Aku kembali bersembunyi tak melihat mereka.

Di tengah kesunyian ini, langkah kaki mereka terdengar jelas. Mereka mendekati kami, gawat! kalau salah satu dari mereka melihat kami, entah apa yang akan mereka lakukan.

Pikiranku campur-aduk, saat satu langkah lagi mereka akan melihat kami ....

Satu langkah lagi ....

Aku bersiap dengan menggenggam erat pedangku ini dan kalau salah satu dari mereka melihat kami, tusukan pedangku atau tembakan pistol Ari akan menghabisinya. Itu pasti yang akan terjadi.

"Cepat kemari! ada lebih banyak lagi yang datang ...!"

Teriakan itu membuat kami menarik napas lega. Langkah cepat terdengar dan tak lama kemudian, mereka pergi menggunakan mobi. Menghilang di kejauhan.

"Untung-untung," ucap Ari sembari mengelus-elus dadanya.

Mereka pergi bukan tanpa alasan, makhluk itu datang dari segala arah, mereka sekarang masih cukup jauh, tetapi takkan butuh waktu lama untuk mencapai tempat kami berdiri.

Ari bergerak ke belakang mobil, "Tidak terkunci, ayo masuk." Ia membuka box mobil ini, dan kami segera naik. Di sini gelap, walau kami hanya berdua, tetapi suara makhluk yang berlarian terdengar jelas, bahkan ada yang menabrak bagian belakang mobil.

Begitu gelap, aku bahkan tak bisa melihat sosok Ari.

"Ar?"

"Aku di sini, di sampingmu."

Kuraba-raba samping kanan-kiri, tak sengaja kupegang muka Ari dan ia malah menggigit jariku, "Apa kau gila!?" seruku sambil kukibas-kibaskan tanganku dan Ari tertawa dengan puas.

Sesaat kemudian kami berdua terdiam, sebuah pistol menempel di kepalaku, dan orang yang menodongkannya-pun berbicara mengancam, "Diam! atau kepala kalian hancur ...!"

****

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang