✓ BAB 22 - Sebuah Harapan

2.2K 274 8
                                    

Aku benar-benar terpojok, tangan perempuan itu terus berusaha meraihku--meminta tolong. Tak ada yang bisa aku perbuat, ia takkan bisa ditolong lagi. Keadaannya begitu membuatku ingin lari--pergi menjauh. Namun, aku tak mungkin bisa melakukan itu, sebuah suara kecil akan menarik perhatian para makhluk itu dan membuat nyawaku terancam.

Aku bisa saja mati.

Perempuan itu berteriak lagi, kesakitan karena lengan yang berusaha meraihku, lengan itu kini juga tergigit, terkelupas kulitnya, terkoyak dagingnya.

Cairan kental merah itu berceceran.

Ada seseorang yang berteriak dan diikuti dengan suara besi yang diadu dengan benda padat lainnya--membuat perhatian para makhluk ini teralihkan, mengejar asal suara itu dan hanya meninggalkan beberapa makhluk yang masih asyik menyantap perempuan tadi.

Sabetan pedang tiba-tiba terdengar, dan saat kulihat, itu adalah perbuatan Darius dan yang lainnya, mereka membunuh makhluk yang tersisa--hanya aku yang tak melakukan apapun.

Anak berpakaian sekolah tadi rupanya yang kembali menyelamatkan kami, sejauh ini sudah sebanyak tiga kali.

"Sebelum mereka kembali, lebih baik kita pergi dari sini...." ucap Darius, "Ikuti aku...." lanjutnya sembari berlari dan kami semua mengikutinya.

Kami berhenti saat berada di depan rumah berlantai dua bercat hijau.

"Ayo masuk," ucap Darius sambil membuka pintu dan kami satu persatu masuk, ternyata ada satu makhluk yang mengikuti kami, ia menabrak pintu dengan keras--saat sesudah Darius menutupnya.

Rumah ini, seperti rumah yang mungkin belum tersentuh oleh makhluk itu. Bersih tak berbau. Malah wangi yang tercium. Ada sebuah tangga yang menuju lantai dua--sekaligus lantai teratas. Sebuah Sofa merah tertata rapi dan bagian jendela yang tertutup kain. Tidak ada penerangan di sini. Mungkin listrik sudah terputus, hanya sedikit cahaya yang masuk lewat cela-cela ventilasi udara, tepat di atas jendela.

Sophie dan resha langsung duduk di sofa itu, mereka terlihat kelelahan. Sementara Darius sedari tadi mengintip lewat jendela.

"Ke mana anak itu?" tanyaku.

"Sebentar lagi pasti datang," jawab Darius.

Rendy mendekati kami berdua, "Siapa dia? namanya?"

"Alam, ini rumahnya, aku sempat kemari sebelumnya." Darius terus mengintip lewat jendela.

"Kalian bertiga, lebih baik makan dulu," ucap Resha. Ia bersama Sophie sedang membuka ranselnya.

"Nanti," jawab Darius.

Lain dengan Darius, aku dan Rendy sudah sangat lapar. Kami duduk di Sofa, membuka isi ransel kami yang di dalamnya telah ada sebuah roti yang mungkin satu bulan lagi sudah kedaluwarsa.

"Dia datang," ucap Darius sembari membuka pintu. Makhluk itu terkapar dengan anak panah yang tertancap di kepala, membuat kami langsung berdiri. Kaget.

Anak yang bernama Alam segera menarik keluar mayat itu agar tak menghalangi. Setelahnya ia pun masuk dengan napas yang tak beraturan, keringatnya mengucur sampai pakainnya basah.

"Lebih aman kita kalau di atas," ucap Alam.

"Yasudah, cepat," jawab Darius.

Kami mengemasi barang-barang, menutup rapat pintu bawah dan mengganjalnya dengan kursi dan lemari.

Setelahnya, kami langsung naik ke atas. Lebih tepatnya adalah sebuah kamar yang cukup luas, pintu ruangan ini pun ditutup oleh Alam dengan segera.

Kemudian Alam menutup jendela kaca dengan kain, sesekali mengintip melaluinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan ke ranjang dan membanting tubuh di atasnya. Aku mendekatinya--bukan hanya aku, tapi kami semua termasuk Darius.

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang