✓ BAB 35 - Mercilessly

2K 248 18
                                    

Sebelum kami masuk untuk memeriksa--siapa yang berteriak tadi--yang sekarang telah tak terdengar lagi suara itu. Seseorang keluar, yang tak lain adalah Resha, ia berdiam diri menatap kami. Muka, tidak, bahkan hampir seluruh badannya berlumuran darah. Kayu runcing digenggamannya.

Kami segera mendekatinya, terutama aku yang kini berada tepat di hadapannya. Perlahan kupegang kedua pundaknya.

"Ada apa?" tanyaku. Namun, bukannya menjawab, ia malah langsung mendekap--memelukku erat dan melepaskan tangisan.

"Tak apa, kami akan melindungimu, apapun yang terjadi. Oke?" ucapku, tetapi Resha masih saja menangis. Entah apa yang membuatnya begini, ia terlihat begitu sedih.

Sementara itu, Sophie dan Alam langsung memeriksa ke dalam tenda ini. Dan tak lama mereka keluar. Tidak dengan tangan kosong, mereka membawa satu orang perempuan yang terlihat sudah tak bernyawa, Luka di kepalanyalah yang memastikan.

Tangisan Resha mulai mereda, ia melepaskan pelukannya dan menghadap ke arah mayat di depan kami.

"Siapa dia?" tanyaku.

"Dia, adikku."

"Ya, anak ini adalah adik Resha, itu yang ia ceritakan pada kami," ucap Sophie.

"Sebentar, terserah dia siapa--" ucap Darius memotong pembicaraan kami sembari berjalan mendekati mayat adik Resha, dan memeriksa luka di kepala, "Ini kau yang melakukannya, kan?"

"Aku terpaksa melakukannya, dia berubah saat aku memeriksanya," jawab Resha pelan, penuh penyesalan dan masih terlihat sedih.

"Tunggu? kamu bilang, dia berubah menjadi mayat hidup?" tiba-tiba aku menyadari dengan apa yang diucapkan Resha.

"Ya, ia terlihat seperti mereka, aku takkan melakukan hal ini jika ia tak menyerang."

"Ia tak mempunyai luka gigitan," ucap Darius setelah memeriksa.

"Jadi, dia berubah begitu saja ketika telah mati?" kini Ari ikut dalam obrolan.

"Teman-teman, sepertinya kita punya pekerjaan berat," ucap Alam yang bersiap melepaskan anak panahnya.

Tepat saat aku berbalik badan, anak panah terlepas dan menancap dengan tepat di kepala salah satu orang yang telah berubah.

Tepat di sana, tempat kami mengumpulkan para mayat yang kami yakini mati akibat makanan kedaluwarsa. Kini mereka bangkit kembali.

Sial! apa yang terjadi?

"Sial!" seru Darius dan mendekati Rudi, ia mencengkeram kerah atas bajunya, "Cepat! suruh penembak jitumu bekerja!"

"Sayangnya, mereka juga telah mati," ucap Rudi santai.

Darius melepaskan cengkeramannya sembari mendorong Rudi, "Kau! setelah semua ini selesai, bersiaplah menjawab pertanyaanku!" lanjutnya yang kini menodongkan pistol, dan Rudi hanya merespon dengan memiringkan kepala sembari mengangkat kedua tangannya.

DOR!

Kami tersentak kaget akan tindakan Darius, tetapi bukan Rudi yang ditembaknya, melainkan Adik Resha yang belum benar-benar mati. Akibat suara ribut di sini dan tembakan, para mahkluk itu kini benar-benar tahu akan adanya mangsa di sini.

"Semua! tembak atau potong kepalanya!" Teriak Darius. Ia bertindak brutal menembak para makhluk itu.

Beberapa dari makhluk itu juga mati oleh panah Alam, untunglah di sini banyak senjata yang dengan jangkauan jarak jauh. Kugunakan pistol yang diberikan oleh Rudi.

Beruntungnya lagi, mereka tak berlari secepat yang kami hadapi saat di luaran sana. Jadi kami dengan mudahnya menghabisi para makhluk itu walaupun tetap membutuhkan waktu dan membuat berkeringat.

Ya, tak lama dan kami sudah menghabisi semuanya. Kini kembali Darius mendekati Rudi.

"Sekarang, bisa kau jelaskan apa yang terjadi!?"

"Kau bertanya padaku, lagi? sudah kujelaskan tadi, kan. Aku tak tahu apapun," jawab Rudi dan sembari memegangi telinganya. Kurasa telinganya sakit akibat suara tembakan tepat di sebelah kepalanya tadi.

"Darius, sepertinya dia memang tak tahu apa yang terjadi," ucap Sophie yang kini telah tenang walau terlihat jelas dari wajahnya bahwa ia masih bersedih.

"Memang, lebih baik kita membuang semua itu dan menguburkan Adik Resha," ucapku sembari kutatap Resha saat ia juga menatapku, lalu kuanggukkan kepala dengan sedikit senyuman.

"Yang jadi masalah, di mana kita akan menguburkannya. Kita tak bisa menggali di dalam sini," ucap Darius. Kurasa ia benar, dan aku tak terpikir akan hal itu.

"Tak apa, kita tinggalkan saja di tribun paling atas, asal jangan buang ia di luar," ucap Resha.

"Sebaiknya kau juga ikut membantu!" Seru Darius ke Rudi.

"Bair kubantu," ucap Alam yang telah bersiap memegangi kaki mayat Adik Resha. Rudi dengan segera membantu dengan memegang tangan. Mereka lamgsung membawanya menuju tribun paling atas.

Sementara mayat yang lain kami bawa menggunakan mobil yang ternyata ada di dalam sini. Semuanya kami muat dan Ari yang menyetir.

Gerbang kami buka dan mobil langsung melaju mundur--keluar dari Stadion ini, terlihat para mayat hidup langsung mengerubungi, tetapi sebelumnya Ari telah keluar dan berlari masuk ke dalam sini lagi. Dengan cepat, pintu gerbang kami tutup kembali.

Kami bergegas ke Alam dan Rudi yang telah selesai dengan urusannya.

Tiba-tiba Rudi menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, "Mereka mati karena salahku."

"Apa kau bilang!?" tanya Darius.

"Maaf, aku harus berterus terang, kami melakukan percobaan dengan darah kalian berdua. Namun ...."

"Gagal, kan!?" seruku.

"Ya," ucapnya yang memancing emosiku, kini tak bisa kutahan. kurebut pedang yang sedari tadi digenggam oleh Darius dan langsung kuacungkan ujung tajam ke leher Rudi.

"Dengar, aku tak ingin membunuh mereka," ucap Rudi sembari mendongak karena pedang yang kuacungkan.

"Kau ceroboh atau gila!? darah juga tak mungkin bisa langsung di satukan, apa kau sudah memeriksa golongan darah mereka!?"

"Dengar, aku tak bermaksud." sebelum Rudi melanjutkan perkataannya. Satu tembakan tepat di kaki kanan dilepaskan oleh Darius. Ia terjatuh dan menahan rasa sakitnya, "To-tolong dengarkan aku." kembali, satu tembakan melesat di kaki kiri sebelum Rudi melanjutkan ucapannya dan kini ia terbaring.

"A-aku." lagi dan aku tak sempat menghentikan Darius, Rudi yang terbaring dan langsung di injak-dihantam dengan kaki secara kuat sampai tak sadarkan diri.

"Terlalu banyak omong kosong," ucap Darius sembari meludahi wajah Rudi. Entah sudah berapa kali ia melakukannya dari pertama kami bertemu.

"Kenapa kita tak mendengarkannya dulu?" tanya Alam.

"Kita akan mendengarkannya saat ia sudah sadar, sekarang lebih baik kalian rawat dia," ucap Darius dan langsung meninggalkan kami menuju pinggir lapangan.

****

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang