✓✓ BAB 17 - No Time To Grieve

2.5K 298 8
                                    

Sophie mengatakannya, Perempuan di dalam rumah Dokter Deri sedang tak sadarkan diri atau bahkan lebih buruk.

Sekarang, pikiranku sudah tak karuan.

Ibu, itu ibuku. Ia terbaring lemas tak bergerak sedikitpun. Aku mendekati tubuh yang tak berdaya itu.

"Ibu!?"

Kupeluk ibuku, perlahan air mataku mengalir. Entah apa jadinya aku tanpa ibu? hanya ia yang kupunya. Kukecup keningnya, tetapi itu tak membantu. Ia tak akan bangkit atau hidup kembali.

Karena ibuku sudah tak bernyawa lagi.

Selamat jalan bu ..., semoga ibu tenang di alam sana. Terima kasih ....

Kuusap air mataku dan perlahan aku berdiri sembari kuangkat jasad ibu. Kubawa keluar, aku akan menguburkannya.

Semua anak berada di luar sana, menatapku. Kuletakkan perhalan jasad ibuku dan aku kembali berdiri. Darius menghampiriku dan menggelengkan kepala, "Mereka semua keluar."

Ia tak berhasil mencegah para penghuni lain untuk tetap tinggal. "Biarkan, kita punya pekerjaan."

"Maaf, tapi aku turut berduka ..., biar kubawa ibumu." Darius mengangkat jasad ibuku dan membawanya di tempat yang sekarang sedang digali tanahnya.

"Maaf ...." Sophie kembali meminta maaf, walaupun ini bukan salahnya. Kuanggukkan kepala. Ia berjalan mendekati Grem dan yang lain.

Reth mendekatiku dan menatap wajahku, "Ayo ..., kita makamkan Ibumu."

"Ya ...."

---

Setelah kami selesai menggali dan menguburkan Dokter Deri, Ibuku, dan Ben--Ben, Ia tetap kami kuburkan karena walau bagaimanapun ia adalah seorang manusia.

Ben pantas mendapatkan perlakuan yang sama.

"Apa tidak sebaiknya gerbang kita tutup saja?" tanya Reth.

Benar sekali, sedari tadi gerbang tak ditutup.

"Biar kututup," ucapku sembari berjalan, tetapi sebelum aku sampai di gerbang itu. Gally menghentikanku.

"Biar aku saja, oke?" ucap Gally sambil tersenyum.

Aku kembali berkumpul bersama yang lain dan Gally yang akan menutup gerbang itu. Ia orang yang baik.

Setelah beberapa saat, entah apa yang dipikirkannya. Ia malah berdiri saja di sana tanpa melakukan apapun.

"Cepat tutup!" teriakku.

Ia menhadap ke kami, dan berteriak, "Kalian harus melihat ini, teman-tem--"

Sebuah tombak bersarang di dadanya sebelum Gally melanjutkan ucapannya. Ia terjatuh saat satu anak panah bersarang tepat di muka. Kami yang dari tadi duduk, langsung berdiri dan terkejut.

Siapa yang membunuhnya dari luar?

Apa itu ulah orang yang dibicarakan oleh Ben?

Butuh beberapa saat kami mencerna hal ini. Sampai ....

Segerombolan orang aneh masuk dan menatap kami dengan tajam, seolah ingin membunuh. Seolah mereka benci terhadap kami.

"Siapa mereka?" tanya Reth.

"Sial!" Darius berniat melawan mereka.

"Apa yang akan kau lakukan? kau tak mungkin bisa melawan mereka semua!" seru Sophie sembari menyiapkan anak panah.

"Kurasa kita harus segera lari," ucap Rendy.

"Ayo ...!" seruku sembari kutarik lengan Darius dan segera berlari.

"Kalian pergi dulu, kami akan menghambatnya!" seru lagi Sophie. Ia memanah beberapa orang itu.

Kami tak punya pilihan, hanya menggunakan senjata dengan jarak jauh saja--yang saat ini berguna. Aku, Darius, serta Reth berlari ke gedung satu. Sesekali kutengok ke belakang, Nob membantu Sophie dengan panah juga. Mereka memanah dan terkadang sambil berlari ke arah kami.

Setelah kami sampai di gedung dan segera masuk, "Tunggu mereka!" seruku.

Aku bisa melihat mereka yang sekarang sedang berlari ke arah kami.

Kami terus berteriak, "Cepat!"

Aku sedikit membuka pintu untuk memberi celah masuk kepada mereka berdua. Ayolah, sudah tidak ada waktu lagi.

Sophie segera masuk dan Nob ...,

"Kalian cepat ke atap gedung! di sana ada helikopter! gunakan untuk pergi, cepat!" serunya, ia membuang panahnya dan menghunus pedangnya, berdiri membelakangi kami, "Aku akan mengulur waktu ...!"

"Hei, Nob apa yang kau pikirkan, hah, cepat masuk!" aku tidak bisa membiarkan Nob menghadapinya sendiri, ia takkan sanggup. Namun, aku sekali lagi tak dapat berbuat banyak hal.

Kali ini, gantian Darius yang menarik lenganku, "Ayo Rik, dia sendiri yang membuat pilihan itu!"

Aku masih saja menatap Nob, saat orang-orang aneh itu mengepung Nob, ia dengan lihai menggunakan pedangnya, beberapa tumbang.

"Cepat pergi bodoh!" teriak lagi Nob, ia masih saja melawan mereka.

Darius kini benar memaksaku pergi, kami menggunakan lift untuk sampai di atap gedung. Tak butuh lama, akhirnya kami sampai, benar apa yang dikatakan Nob, di sini terparkir sebuah helikopter militer.

"Siapa yang bisa menerbangkannya?" tanyaku.

Sesaat kami saling tatap.

"Akan kucoba," ucap Rendy, "Tapi, bagaimana kita melewati kaca yang menutupi tempat ini?"

"Ini." Darius melemparkan sebuah benda ke arah Rendy dan langsung ditangkapnya. "Pencet tombol merah itu."

Kaca inipun terbuka setelah Rendy menekan tombol itu, setengahnya yang terbuka membentuk lingkaran.

"Bagaimana dengan udaranya?" kini Sophie yang bertanya.

"Kurasa, ini bukan karena udara. Mungkin kau akan tertular jika berhubungan langsung dengan penderita," jelas Darius, menyimpulkan.

Kami segera berlari masuk ke helikopter itu, Rendy dan Darius berada di depan, sementara aku, Reth dan Sophie di belakang.

Helikopter ini mengeluarkan suara karena baling-baling yang berputar dan perlahan terangkat terbang, lalu melewati kaca ini.

Terlihat beberapa orang berlarian ke dalam Tallessa.

"Kenapa mereka?" ucap Sophie yang menggunakan teropong.

"Maksudmu, orang yang berlarian itu?"

"Apa?" tanya Reth.

"Iya, apa maksudmu?" tanyaku.

Sophie memberikan teropongnya dan langsung kugunakan, pemandangan yang aneh. Orang yang mengejar kami tadi, mereka malah juga dikejar oleh beberapa orang dan yang paling tak kumengerti, kenapa mereka seperti memakan sesama manusia, mereka juga ada berkerumun seperti memperebutkan sesuatu.

Rumit, aku tahu dari sini bahwa kehidupan akan menjadi semakin sulit.

"Apa lagi yang belum kuketahui? kenapa dengan orang-orang itu?"

-------

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang