✓✓ BAB 46 - Penyerangan

2.2K 247 23
                                    

"Kalian tahu, kenapa kami harus memisahkan kepala dengan tubuh kalian?" Tanya Gio.

Kurasa, dia sudah gila.

Kami tak bisa menjawabnya, memang keadaan kami tak mungkin untuk melakukan itu.

"Oh ... aku lupa kalau kalian masih terikat. Akan kujelaskan fakta lain, kalian ... jika mati akan berubah menjadi mayat hidup tanpa harus tergigit ... jadi ini adalah cara agar kalian benar-benar mati." ucap Gio, mungkin aku tak terlalu terkejut, tapi lain halnya dengan Jara dan Ganta, mereka terdiam bingung dengan fakta itu, "lanjutkan Ney...."

Wanita bernama Neya kini kembali dalam posisinya, menggenggam erat gagang pedang itu.

Aku masih saja melihatnya, sebuah ayunan pedang menuju ke leher Sophie, namun...

Ada seseorang masuk ke ruangan ini, membuatnya berhenti sejenak. Membuatnya tak jadi membunuh Sophie.

"Kita diserang pak!" ucap orang itu dengan wajah penuh keringat. Pucat.

Ganta, entah bagaimana ia dapat melepas ikatan di lengannya, tanpa pikir panjang ia berdiri dengan kaki yang masih terikat. Maju dan berniat menghantam wajah Gio dengan kepalan tinjunya, namun usahanya sia-sia, satu ayunan pedang melesat begitu cepat, memisahkan kepala dari badannya. Darah mengalir tanpa jeda, tubuh tergeletak tengkurap menghantam lantai kayu. Kepalanya-pun jatuh menggelinding di depan Jara.

Keterlaluan.

"Kita harus segera pergi pak!" ucap lagi orang itu setelah terdiam melihat korban tanpa kepala.

"Apa kalian tidak bisa menanganinya, hah!?" bentak Gio, "lagi pula kita belum selesai menghabisi para anak ini...." Gio meminta pedang yang di pegang Neya.

Tapi sebuah suara senjata api yang ditembakkan membuatnya berhenti dan ...

"Menunduk!" teriak orang ini.

Rentetan tembakan membabi buta dilesatkan dari luar menuju ke jendela ini, ke arah kami. Orang-orang yang berteriak di luar-pun terdengar jelas.

Kami semua menunduk, begitu pula orang yang berada di belakang kami, sekitar beberapa detik tembakan itu berhenti.

"Apa yang kalian lakukan!? balas mereka! gunakan senjata kalian!" Gio masih tiarap.

Lima orang penjaga maju dan bersiap menembak dari jendela namun kembali, rentetan tembakan dari luar mendahului, mereka berlima tumbang secara berurutan.

Lima orang masih ragu-ragu untuk maju, Gio kembali memerintah dan rentetan tembakan itu kembali dilesatkan saat mereka mencoba membalas, membuat tumbang lima orang lagi, semua penjaga mati bersimbah darah.

"Lebih baik cari aman pak!" teriak orang yang baru datang tadi, masih dalam keadaan menunduk, tiarap, "tempat ini sudah dikepung oleh tentara!" Perlahan mereka merangkak menuju tangga, dan segera turun dari lantai ini. Beberapa tembakan juga melesat ke arah kami. Lagi.

Resha berdiri, dia sudah melepaskan ikatannya; entah dari kapan ia berusaha melakukan itu. ia mengambil senjata api milik salah satu penjaga yang telah mati, ia merangkak sebelum akhirnya berlari ke arah tangga dan melepaskan tembakan secara beruntun ke bawah, terdengar sebuah teriakkan sebelum akhirnya Resha berhenti menembak. Ia menjatuhkan senjata api itu. Menghampiri kami, dan melepaskan satu persatu tali yang mengikat lengan kami.

Satu orang yang belum dilepaskan oleh Resha, yaitu Jara... ia ragu. Tapi Diaz menghampiri Jara dan perlahan membuka ikatan itu.

"Jika ingin tetap hidup, maka ikutlah bersama kami," ucap Diaz. Jara menanggapinya dengan anggukkan.

Baiklah, inilah jalan yang terbaik.

Sebelum menuruni tangga, terlihat mayat Gio dan orang yang datang untuk memperingatkan tadi. Berlumuran darah karena peluru yang bersarang (hampir) di seluruh bagian tubuhnya. Dengan cepat kami menuruni tangga, melompati mayat itu sebelum akhirnya sampai di lantai dua.

"Ke mana larinya Neya sialan itu?" Darius heran, memang di sini tak ada mayat dari wanita kenalannya. Kurasa ia sudah melarikan diri.

"Sekarang jangan pedulikan wanita itu, kita harus bergegas!" Jara membentak. Dan kupikir si botak ini ada benarnya juga.

Sewaktu akan menuruni tangga untuk menuju lantai bawah, sebuah suara ledakan terdengar beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Mereka jelas mengebom tempat ini, entah di pihak kami atau di pihak mereka yang selalu berbuat seenaknya saja.

Terdengar pula suara orang berbicara di lantai bawah. Tak ada habisnya, mereka tak mau menyerah.

"Sembunyi!" ucap Resha. lirih.

"Di mana?" tanya Sophie.

"Lumbung padi," sahut Darius.

"Sial, ayo!" aku ingat tentang itu, tepat setengah dari ruangan lantai dua ini terdapat ruang untuk menyimpan padi.

Perlahan kubuka pintu lumbung padi dan beruntung tak terkunci sehingga kami-pun bisa masuk dengan mudah. Syukurlah,

"Ayo cepat!" perintahku pelan, Resha, Sophie, Darius, Diaz dan Jara-pun masuk terlebih dulu. Lalu aku mengikutinya sembari kututup secara perlahan agar tak terlalu menimbulkan suara.

Kami berharap orang-orang itu tak tahu kalau kami di sini, diam adalah cara terbaik yang bisa kami lakukan saat ini. Diam menjadi hal yang bisa membuat kami tetap hidup.

Namun, derap langkah kaki terdengar samar-samar, semakin mendekat ke arah kami.

Ini akan berdampak buruk jika kami tak bisa bekerja sama. Beberapa keparat itu kenapa juga masih ada yang tersisa? Merepotkan saja.

Kini mereka terdengar berbincang dan sedikit berdebat, ada yang bilang mereka 'lebih baik kita keluar, tak ada apapun di sini', namun di sisi lain menolak dan bersikeras ingin melihat sekitar. Mereka juga terkejut akan mayat yang berada di tangga yang menuju lantai tiga.

----

"AAAHHH!"

Sial, Resha entah kenapa malah berteriak sangat kencang, Sophie berusaha membungkam mulutnya... namun itu sudah terlambat. kini mereka malah tahu kalau ada seseorang di dalam sini.

Mereka mendekat sampai berada di balik pintu ini. Sementara Resha malah tak mau diam, ia berontak walau sudah dipegang erat oleh kami... yah, aku juga telah memegang kakinya.

"Siapa di dalam!?" teriak orang itu.

Kami masih diam memegangi Resha yang terus berontak. Tolong diamlah, ini demi keselamatan kita.

"Arrrggghht!" Diaz melepaskan tangannya yang membungkam mulut Resha, ia mengibaskannya, kesakitan. Kurasa Resha telah menggigitnya.

"Hei! siapa di dalam!? cepat keluar!" teriak lagi orang itu.

"Kau kenapa Resh?" tanya Sophie. Berbisik.

"Ada kecoak masuk ke pakaianku!" teriak Resha.

Astaga, kukira apa. Ternyata cuma kecoak, serangga menjijikkan itu.

Brught! orang itu mendobrak pintu sampai terbuka.

Seolah seperti harimau buas yang menerkam mangsanya, tanpa jeda dan dalam hitungan detik, Darius menabrakkan dirinya ke salah satu dari tiga orang di hadapan kami. Dengan sukses membuat orang itu jatuh menghantam lantai kayu.

Dia tak bisa kami hentikan. Napsu membunuhnya sudah terpendam lama.

###

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang