✓ BAB 36 - No Longer Stars Appears

2.1K 254 15
                                    

Rudi, kami membawanya ke dalam tenda perawatan dan Resha serta Sophie-pun terpaksa mengobati lukanya. Hanya mereka berdua yang sedikit bisa dalam hal ini.

Sementara hari semakin bertambah gelap, listrik telah mati total di sini. Yang perlu kami lakukan adalah membuat api unggun agar suhu badan tetap stabil dan supaya ada penerangan.

Kami duduk di antara api unggun. D dalam selain Sophie dan Resha, Darius-pun juga berada di sana--katanya ia ingin berjaga-jaga.

Dan Darius-pun memanggilku, "Dia sudah sadar." ia langsung masuk lagi tanpa menunggu.

Aku dan Ari juga langsung berdiri dari sini kecuali Alam yang masih terduduk di luar.

Kedua mata Rudi telah terbuka dan menatapku saat aku telah berada di dekatnya.

"Sudah agak enakkan?" Ari bertanya dengan menyentuh dahi Rudi.

Sementara Rudi hanya terdiam dan Dariuslah yang menjawabnya, "Dia tidak tergigit."

Perlahan Ari mengangkat telapak tangannya, "Mereka," Ari menunjuk ke arah luar, "Mereka juga tidak tergigit, kan?"

"Ya," jawabku, "Benar dan kurasa harus ada yang menceritakan atas semua hal ini."

"Jika kau berbelit-belit lagi, kujamin satu jariku akan membuatmu tersiksa, lalu kemudian kehilangan nyawa." Ancam Darius sambil mmengacungkan jari telunjuk ke arah mata Rudi.

"Dan aku takkan mencegahnya." Aku mendukung Darius.

"YA!" sahut Ari dengan penuh semangat memecahkan ketegangan. Ia langsung menggaruk kepalanya saat kami dan bahkan Sophie serta Resha menatapnya.

"Sepertinya,lebih baik aku keluar." Ari tertawa dengan terpaksa, lalu mundur dua langkah yang kemudian berbalik badan dan berlari keluar.

"Bagaimana orang seperti dia bisa bertahan?" tanya Rudi.

"Sudah, jangan bertanya yang tidak penting, sekarang, apa yang ingin kau ucapkan tadi sore sebelum aku menginjak mukamu itu?" tanya Darius.

"Aku tidak tahu akan terjadi hal seperti it." jawab Rudi dan langsung dipotong oleh Darius.

"Kami tak ingin mendengar ucapanmu yang itu lagi, coba jelaskan apa yang ingin kau ucapkan sesudah itu?"

"Yang jelas, kalian pasti membutuhkanku."

"Membutuhkanmu? Apa malah bukan kau yang membutuhkan kami?" tanya Sophie.

Perlahan Rudi mencoba duduk, "Adakah di antara kalian yang bisa menerbangkan pesawat?"

"Di mana ada pesawat?" tanyaku heran.

"Ah, maksudku, helikopter, di antara kalian ada yang bisa menerbangkannya?"

"Wah, wah, kurasa dia kehilangan sedikit ingatannya akibat kaki Darius," ucap tiba-tiba seseorang yang berada di belakang kami dan saat kami menengok, dia adalah Ari.

"Kenapa kau masuk lagi!?" tanya Sophie sedikit membentak.

"Maaf maaf, aku hanya mau mengajak kalian untuk makan bersama di luar, Alam sudah menunggu," Ari menggaruk kepalanya.

"Kami akan bergabung sebentar lagi," ucapku dan Ari kembali berjalan keluar.

Rudi kembali bertanya, "Bagaimana? ada yang bisa atau pernah?"

"Dulu ada salah satu teman kami yang bisa menerbangkannya, tapi sekarang ia ...," ucap Sophie yang sepertinya mengingat Rendy.

"Dia sudah mati, kan? Ayolah aku bertanya dengan kalian yang masih hidup, untuk ap--" Rudi terkena bogem mentah Sophie sebelum dia melanjutkan ucapannya.

"Boleh aku membunuhnya sekarang?" tanya Sophie.

Sambil memegangi hidung yang bengkak, Rudi dengan segera mencegah upaya Sophie, "Aku akan membawa kalian semua ke tempat pengungsian!" ucapnya tegas, "Pengungsian! tempat di mana kalian hidup dengan tenang dan nyaman, setidaknya lebih terjamin daripada di sini atau di luaran sana."

"Apa kau bilang? apa masih ada tempat seperti itu?" tanya Darius.

"Ada dan aku pernah tinggal di sana."

"Di mana itu?" tanyaku.

"Pulau tak berpenghuni," ucap Rudi.

"Ya, pulau apa? tepatnya di mana? di daerah mana? banyak pulau tak berpenghuni di negara ini, jelaskan langsung dan jangan bertele-tele!" tanya Darius.

"Kau benar, semua pulau yang tak berpenghuni telah menjadi tempat pengungsian. Namun, kita akan menuju ke salah satu pulau. Kau tahu pulau Intata?" tanyanya lagi.

"Intata? ya, aku tahu," ucap Darius yang terlihat sangat mengetahui pulau tersebut, lain halnya aku yang sangat asing mendengar nama pulau itu.

"Di mana itu?" tanyaku pada Darius.

"Sulawesi Utara, tepatnya di laut sulawesi yang berbatasan langsung dengan Negara Filipina." jelas Darius.

"Yap, apa yang diucapkan temanmu yang kejam ini benar, tapi mungkin sekarang telah di bangun sebuah dinding di setiap pinggir pulau tersebut dengan batang pohon serta dibuat sedemikian rupa," jelas Rudi yang kini kembali membaringkan tubuhnya.

"Sudah jelaskan? aku mau beristirahat dulu, tolong tinggalkan aku sendiri." ucap lagi Rudi yang kemudian ia memejamkan mata.

Resha dan Sophie berjalan keluar dan begitupun Darius yang mengajakku, "Ayo keluar, kau tidak lapar?" tanpa kujawab, kulangkahkan kakiku mengikuti Darius.

Entah kenapa saat aku keluar dari tenda ini, kutatap langit, kini ia tak pernah lagi menunjukkan sesuatu yang indah, tidak setelah semua ini terjadi. Bintang pun tak menampakkan sinarnya lagi. Cuma sebuah langit hitam kelam penuh misteri. Udara malam yang dingin. Hujan-pun hanya turun satu kali, seingatku pada waktu itu dan setelahnya hanya sebuah matahari yang menyengat kulit.

Semuanya terlihat mati, sepi, dan terkadang hanya terdengar suara langkah kaki dan erangan aneh yang tak pernah ingin kami menemuinya.

"Hei! Rikaz! kalau kau tidak segera makan dan hanya berdiri melamun di sana, kau tidak akan kebagian karena Ari makannya banyak!" teriak Alam yang membuatku tersadar dari lamunanku.

Aku berlari pelan ke arah mereka yang sekarang tengah duduk mengelilingi api unggun, entah kenapa mereka berpindah tempat agak jauh dari tenda ini.

Setelah aku sampai dan duduk di samping kananku Ari dan kiriku ada Alam. Entah apa yang mereka makan, tapi itu terlihat enak.

"Ri, kau sudah habis berapa?" tanya Alam.

"Tiga kalau aku tidak salah," jawab Ari sambil mengunyah. Mulutnya penuh akan makanan.

"Yang lain baru mau makan, kau sudah habis tiga? kau lapar apa rakus? bagikan ke yang lain," Darius menggeleng.

Ari tertawa setelah meminum satu tenggakkan air dalam botol, "Aku sudah lama tak memakan daging dan ini terasa enak di mulut."

"Bodoh! tertawa disaat seperti ini." ucap Darius setelah memakan satu daging. Dan malah membuatku tersenyum melihat sikapnya yang selalu kaku.

"Silakan," ucap Resha sambil memberikan daging yang sudah dikeluarkan dari kalengnya.

Kuterima sambil kulemparkan senyum padanya, "Terima kasih ya...." ucapku, "Tapi, siapa yang membawa daging kaleng ini?"

"Ari," ucap Alam.

"Masih banyak diranselku hehe," ucap Ari sembari mengunyah.

Perlahan mulutku mengunyah dan kutelan saat terasa sudah sedikit hancur. Namun, ada hal yang ganjil, bukan hal yang membahayakan. Hanya, daging ini tak ada rasanya, alias hambar.

Namun, tak apa, aku dan yang lainnya tetap harus makan agar tenaga kami tetap terjaga.

####

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang