✓✓ BAB 15 - Messacre

2.5K 308 1
                                    

Sesaat sebelum aku dan Darius pergi, Reth keluar dari rumah Ibu dan dari arah lain, Ben bersama Rendy juga menghampiri kami.

"Ada apa?" tanya Rendy. Sepertnya ia juga penasaran.

"Ikut saja, kalian akan tahu sendiri ...," jawab Darius sembari melirik tajam Ben. "Reth lebih baik pergi ke rumah dr. Deri ..., bawa juga ibu Letter."

Kami berempat bergegas menuju gedung Nomor Satu, dari empat gedung yang dihuni orang-orang kaya. Gedung ini adalah tempat di mana Zara dan Nob tinggal dan untuk ke tempat itu, kami hanya perlu membuka pintu dari pagar besi sebagai batas wilayah penjaga.

Gedung yang tidak terlalu tinggi, hanya tujuh lantai. Itupun hanya gedung nomor satu sementara yang lain hanya lima lantai.

Aku ingat tentang hal ini, bangunan ini sama sekali tak tersentuh oleh media. Wajar saja, sih. Tempat ini seperti sudah dipersiapkan untuk hal ini, untuk hal aneh yang katanya menyelamatkan nyawa manusia.

Saat kami sampai di depan Gedung, dua orang penjaga tergeletak di depan pintu. Luka di kepala karena tusukan benda tajam terlihat jelas.

Suasana tak seperti biasanya. Seharusnya tempat ini cukup ramai, ada penjaga, penghuni, dan mereka yang berjalan untuk keperluan lain.

Siapa yang melakukan ini?

Kami bergegas ke lantai dua melalui tangga, lift sudah tidak berfungsi--kemungkinan ada yang merusaknya. Apa ini perbuatan satu orang? Kurasa ada beberapa manusia yang terlihat, tapi sekali kali aku tak mau menyimpulkan sebelum semuanya terungkap dengan jelas.

Di sini, di lantai dua. Dua penjaga tergeletak lagi dengan luka yang sama.

Mungkin ini bukan tindakan satu orang, tapi kelompok. Atau satu orang dengan kemampuan yang luar biasa.

Kemampuan membunuh yang tak ada manfaatnya sama sekali. Maksud dari pembunuhan ini pun sangat tidak jelas.

Kami lanjutkan dengan memeriksa satu-persatu kamar hotel, semua penghuni mati dengan kondisi yang sama.

"Hei kalian, cepat kemari!" seru Ben yang berada di salah satu kamar dan kami langsung menghampirinya, "Lihatlah," Ben menunjuk ke arah tembok dalam kamar ini.

Kami melotot memandanginya. Sebuah tulisan dengan tinta darah.

Kalian semua akan mati, kami akan datang! Ini adalah peringatan! Kami akan merebut tempat kalian dalam waktu dekat.

"Bangsat!" umpat Darius sembari meninju kaca jendala dengan kerasnya sampai pecah, tak berdarah karena ia menggunakan sarung tangan.

Entah kenapa aku juga sedikit kesal. Walau aku juga punya rasa kesal terhadap tempat ini, tetapi aku juga ingin mengetahui siapa yang membunuh dengan cara yang sudah terorganisir, rapi ini.

Semua orang mati di lantai berikutnya dan terdapat tulisan yang sama pula. Darius memeriksa satu persatu mayat, aku hanya bisa melihat dan menutup hidungku.

Kami berada di lantai teratas saat ini, Darius menyuruh kami mengikutinya sampai di sebuah kamar. Di sana, Nob yang membelakangi kami. terisak--menangisi seseorang di depannya yang aku tahu--itu adalah Zara. Ia terbujur kaku dengan luka yang parah. Perlu diketahui, Zara adalah Ibu dari Nob.

"Sudah Nob ..., lebih baik kita segera menguburkan Ibumu dan yang lainnya ...." kupegang pundaknya dari belakang dan setelah beberapa saat ia kelihatan lebih tenang, ia melangkahkan kaki, keluar dari kamar ini.

Penghuni gedung lain belum mengetahui kejadian yang menimpa gedung satu. Kami menguburkan semua yang telah tiada tanpa sepengetahuan yang lain.

Dengan matinya Zara, kepemimpinan diambil alih oleh Darius. Tentu tanpa sepengetahuan dari penghuni gedung yang lain. Kalau mereka tahu, mungkin mereka akan memaksa untuk keluar dari Tallessa, dan kita tak tahu apa yang ada di luar sana, ya, kami tidak tahu.

Sementara sang pembunuh belum terungkap identitasnya. Kami masih diselimuti oleh rasa takut, karena jelas ....

Pembunuh itu ada di antara kami. Mungkin saat ini ia sedang merayakan, tersenyum dalam hatinya. Bahwa, rencananya berjalan lancar tanpa celah yang berarti.

Jika ditanya pendapatku soal ini semua. Aku hanya bisa diam. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun.

"Rikaz," ucap Darius atau bisa kupanggil Grem saja? Terserah. Yang jelas kali ini, setelah kami menguburkan semuanya, Darius menyapa dengan mengulurkan tangan kanannya.

Aku tentu menjawabnya langsung. Menerima uluran tangan yang ingin berjabatan itu.

"Mohon maaf, aku seperti selama ini sudah keterlaluan."

Aku sedikit terkejut dengan ucapan Darius barusan. Syukurlah ia menyadari sifatnya, tetapi aku sudah menebaknya dari awal, sih.

Aku hanya tersenyum.

"Tapi, aku akan berkata seperti biasanya jika ada orang lain. Untuk menjaga kerahasiaan kita."

"Aku mengerti, kau tetaplah seperti itu agar tidak ada yang curiga," ujarku.

Darius duduk di bawah pohon. Ia mengelap keringatnya dengan punggung tangan kanan. Kuambil minuman yang sudah tersedia, dalam kardus dan di dalamnya ada air mineral dalam kemasan botol.

"Tetap saja, di sini tempat paling aman," ucap lagi Darius.

Karena penasaran aku pun bertanya, "Memang, ada apa di luar sana?"

Ia menatapku beberapa detik, lalu menggeleng. Kurasa ia juga tak tahu sepenuhnya, kurasa ia hanya mendengar kabar itu dari Zara Maria.

"Di sini sudah tidak aman." Seseorang berucap, dia si Nob. Terlihat dari kantung mata yang besar itu sepertinya ia sehabis menangis.

Wajar, ibunya meninggal dengan kondisi yang begitu mengerikan. Kemudian ia duduk bersama kami.

"Hidup itu singkat," ucap lagi Nob, "Ditambah dengan masalah yang ada di luar sana, jadi lebih singkat dan mengerikan."

"Maaf atas semuanya." Darius kembali meminta maaf, kini kepada Nob.

"Ah, tak perlu. Kau hanya mengambil peranmu agar kau bertahan."

Kami diam di sini. Hingga semuanya pergi satu persatu.

***

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang