✓ BAB 38 - Intata Island

2.1K 247 13
                                    

Kini kami telah meninggalkan Jakarta dan tak lama lagi akan sampai.

Helikopter ini menurutku cukup cepat. Sekitar, mungkin lima sampai tujuh jam, yah itu cuma tebakanku karena tak ada alat untuk menunjukkan waktu.

Sepanjang perjalanan udara-pun tidak terlihat sama sekali aktivitas manusia yang masih hidup dalam artian sebenarnya dan kini kami telah sampai di atas tepi laut Sulawesi.

Air laut biru tanpa sampah, setidaknya itu dulu. Sementara kini sangat berbeda, bahkan lebih buruk dengan pantai dipenuhi oleh mayat, ada yang mati maupun hidup.

Satu hal lagi yang keluar dari mulut Darius, katanya jika menuju pulau Intata lewat jalur laut menggunakan perahu akan memakan waktu lima sampai enam jam. Namun, dengan menggunakan heli ini terasa lebih cepat. Setidaknya itulah yang kurasakan.

Sekarang kami tepat berada di atas Pulau Intata, terlihat dari atas sini--yang kembali kata Darius bahwa dulu sebelum semua ini terjadi bahwa Pulau Intata dulunya dipenuhi oleh Pohon kelapa yang kini memang telah ditebang dan mungkin telah digunakan sebagai bahan bangunan dan dinding yang mengelilingi tempat ini.

Entahlah bagaimana mereka membuat dinding yang cukup tinggi dengan batang-batang pohon. Mereka hebat bisa membangun tempat ini, pulau Intata.

Helikopter ini akhirnya mendarat tepat di tengah-tengah pulau, dan sewaktu kami turun, suasana yang sunyi pun menyapa kami. Kutatap sekitar dan yang lain juga melakukannya. Hanya terlihat  bangunan yang terbuat dari kayu batang pohon besar dan berdiri di setiap sudut.

Rudi menyuruh kami untuk tetap di sini dan menunggu sampai ia kembali dan dari apa yang kulihat, ia pergi menuju bangunan berlantai tiga di ujung utara.

Hanya satu bangunan itu yang bertingkat, sementara lainnya terlihat biasa saja.

"Kurasa memang di sinilah seharusnya kita, jauh dari daratan yang berbahaya, tapi sayang teman-teman sekelasku tak bisa menikmati hal ini," ucap Alam yang terlihat bernapas lega.

Kami hanya terdiam tak menanggapi apa yang diucapkan Alam, bukan tak peduli, tapi lebih menjaga perasaannya. Aku pun menyadari bahwa tak mungkin ia dari awal hanya sendiri. Pasti Alam bersama teman-temannya dan kini mungkin telah tiada.

"Rikaz," panggil Darius, "Bagaimana menurutmu tentang dinding kayu yang mengelilingi pulau ini?"

"Bagaimana,  maksudmu?"

"Ayolah, dinding kayu ini cukup tinggi dan tak mungkin seorang manusia akan bisa melewatinya dengan memanjat dan sepertinya ini dibangun sebelum wabah menyebar."

Ah, Darius ada benarnya juga. Namun, sekarang hal itu tak terlalu penting, jadi ....

Aku maupun Darius dan yang lainnya tak melanjutkan obrolan kami karena suara langkah kaki dan memang kami melihatnya, dari Utara ada empat orang berjalan ke arah kami yang kini telah berhenti dan berdiri di depan kami, salah satu dari mereka adalah Rudi.

"Maaf telah lama menunggu," ucap Rudi memulai pembicaraan.

"Kenapa begitu sepi di sini?" tanya Darius, "Tak ada yang kalian sembunyikan, kan?"

"Darius, apa yang kau tanyakan itu tak beralasan dan tidak sopan," ucap Alam menyela yang kini berdiri di depan, membelakangi Darius dan berhadapan dengan Rudi, "Maafkan teman kami, sekali lagi maaf." lanjutnya sembari menundukkan badan.

"Tak apa, jangan meminta maaf," ucap Rudi.

"Kau dengarkan, Lam? tak perlu meminta maaf," ucap lagi Darius.

"Pasti Darius dan mungkin kalian semua penasaran kenapa sepi, ke mana yang lain, kan?" ucap Rudi bertanya.

"Tak usah berbalik tanya, jawab saja apa yang ditanyakan Darius," ucapku, aku berusaha tegas.

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang