✓ BAB 34 - Disease

2.1K 254 13
                                    

Rudi tersenyum saat sudah berada di dekat ranjangku dan Darius. Sementara dua dari empat orang itu adalah Alam dan Ari, terlihat mereka sudah akrab dengan Rudi.

"Baiklah," ucap Rudi, "Teman kalian memberi tahu kalau kau tak bisa terinfeksi, singkatnya kau itu kebal, sebab itu aku memperbolehkan kalian masuk di sini, maaf juga soal perlakuanku terhadapmu tadi." lanjutnya sembari mengambil satu kursi dan menggunakannya untuk duduk.

Ia melanjutkan penjelasannya, "Sepertinya temanmu itu juga seperti kau, kan? kami berencana untuk meminta sedikit darah kalian, itupun kalau diperbolehkan."

"Darah untuk apa?" tanya Darius. Rudi langsung berbalik badan ke arah Darius yang kini bangun terduduk di ranjangnya.

"Hanya untuk diteliti, itu saja," jelas Rudi.

"Kalau kau ingin mengambil darahku, aku hanya minta satu hal...." ucap Darius.

"Apapun yang kau mau, apa itu?" tanya Rudi.

"Kebetulan, peluru sniperku telah habis, kalau kau punya. Kau boleh mengambil darahku."

"Oh, itu, kami akan memberimu SPR 2, kau tahu senjata buatan Indonesia itu, kan?" ucap Rudi yang sekaligus membuat Darius terlihat bersemangat. Ia bangun dari tidurnya dan mendekati Rudi.

"Kau punya Sniper itu? sungguh?"

"Ya, tapi kurasa kau tak memerlukankannya lagi. Kalian akan kami bawa ke tempat yang paling aman dan takkan ada makhluk buas itu, secara singkat yaitu ke sebuah pulau tak berpenghuni." Rudi terlihat tersenyum.

"Ya, tak masalah, setidaknya aku ingin menggunakannya sekali saja."

"Itu gampang, sekarang aku ingin mengambil darah kalian berdua terlebih dulu," ucap Rudi dan tak lama dua dokter masuk ke tenda ini.

"Langsung saja, dok," ucap Rudi ketika dua Dokter telah di sampingnya.

Darius kembali ke tempatnya dan berbaring, entah kenapa ia terlihat senang saat mendengar Sniper SPR 2. mungkin itu adalah senjata yang sangat ia inginkan atau entahlah, aku tak terlalu mengerti tentang jenis-jenis senjata api.

"Aku akan menunggu di luar saja," ucap Rudi sebelum akhirnya ia keluar dari tempat ini.

Sementara dua Dokter yaitu Joko dan Ilham sedang sibuk menyiapkan alat-alat yang akan mereka gunakan.

"Yap, ini takkan sakit," jelas Dokter Joko dan langsung melakukan prosedur melakukan pengambilan darah.

Ia meletakkan bantal di bawah lenganku sebagai penopang tambahan, "Jangan ditekuk, tetap lurus, oke?"

"Ya."

Ia mengikatkan alat yang tak kuketahui itu apa, dan setelah itu Dokter Joko menekan pembuluh darahku yang katanya agar semakin membesar. Setelah itu, ia mengusapkan sebuah tisu yang telah dibasahi dengan alkohol.

Sekitar 30 detik, ia mulai menyuntikkan jarum ke pembuluh darahku, dan saat itu juga aku merasa mual, terasa akan muntah. Namun, aku bisa menahannya agar tak mengacaukan hal ini.

"Kau mual? itu wajar. Beberapa orang memang akan merasakan hal itu," ucap Dokter Joko.

Tidak lama, pengambilan darah selesai dan sudah terisi satu kantong darahku dan satu lagi dari Darius.

"Beristirahatlah dulu," ucap Dokter Joko, "Aku akan membawa ini untuk menelitinya." lanjutnya yang kemudian keluar dari tempat ini.

Di sini, sekarang hanya ada aku dan semua teman yang kukenal, Alam, Ari, Sophie, Resha, Darius.

"Menurut kalian apa yang akan mereka lakukan dengan darah kami berdua?" tanyaku, membuat semua mata tertuju ke arahku.

"Kurasa kita jangan ikut campur dengan urusan mereka, kau tahu? kita seharusnya berterima kasih karena telah dipersilakan masuk dan mendapat perawatan, terutama kau dan Darius," ucap Alam sembari duduk dan mengelap anak panahnya.

"Hei Lam, panahmu itu, baru?" tanyaku penasaran.

"Mereka memberikannya," jawab Alam sembari berdiri, "Aku mau buang air dulu." lanjutnya dan melangkahkan kaki, tapi sebelum benar-benar keluar. Ia hanya berdiri di sana sembari menatap keluar.

"Ada apa lam? tak jadi buang air?" tanya Darius.

"Sebaiknya kalian melihat ini," ucap Alam tanpa berbalik badan dan hanya berdiri di sana.

Kami yang begitu penasaran akhirnya mendekati Alam, sesuatu yang aneh tengah terjadi. Mataku melihatnya sendiri, orang-orang tengah terbaring tak berdaya di luaran sana, entah apa yang terjadi, hampir semuanya kecuali Rudi dan satu orang terlihat panik dan kebingungan.

"Kenapa lagi ini?" keluh Ari.

"Kurasa aku harus mendapatkan jawaban," ucap Darius yang langsung berjalan cepat ke Rudi.
Kami juga ikut mendekatinya.

"Kenapa dengan mereka!?" tanya Darius.

"Entahlah, semua orang begitu saja jatuh dan tak bergerak, saat itu kami juga bingung," jawab Rudi.

"Pasti ada penyebabnya, kan?" tanyaku.

Namun, Rudi hanya menggelengkan kepala yang berarti tak tahu apa yang menimpa para penghuni di sini.

Salah satu orang yang terbaringpun kuperiksa denyut nadinya, dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Begitu pula orang kedua yang kuperiksa.

Lainnya juga ikut memeriksa satu-persatu, tetapi sama saja, semua telah mati dengan anehnya. Sesuatu hal yang janggal terjadi di sini. Tidak ada bekas luka dan hal lainnya.

"Kurasa, mereka keracunan," tebak Rudi, "Atau makanan yang mereka makan telah kedaluwarsa." lanjutnya yang terlihat penuh penyesalan.

"Kenapa kau tak jujur dari tadi? kalau memang begitu kejadiannya, berarti semua ini bukanlah kesalahanmu," ucapku.

"Tetap saja ini kesalahannya, Rudi adalah pemimpin dan itu berarti menjadi tanggung jawabnya." Darius menggeleng.

"Sepertinya kita harus membuang semua mayat ini sebelum membusuk dan menjadi penyakit," ucap Alam yang masih memeriksa tubuh salah satu mayat.

Seperti apa yang dikatakan Alam, kami mulai dengan perlahan mengumpulkan para mayat, menggotongnya adalah cara paling cepat. Dan kami melakukan itu.

Belum sampai selesai karena terlalu banyaknya mayat, terdengar suara perempuan dari salah satu tenda kecil. Berteriak dengan keras meminta tolong.

Saat itu juga kami menyadari; ada salah satu dari kami yang menghilang. Kuharap itu bukanlah dia.

Kuharap tak ada lagi kejadian mengerikan, karena kami harus pergi ke tempat itu, pulau yang katanya sangat aman.

****

OutbreaK (Wattys Winner 2018)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang