PROLOG

82 8 6
                                    


“Aduh… Ampun…Tolong jangan sakiti aku,” keluh Bara menahan nyeri. Puluhan pukulan dan tendangan mengenai tubuhnya, membuat keningnya mengernyit dalam, menahan rasa sakit yang menyerangnya tiba-tiba.

Dalam sekejab, Bara yang biasanya tampil menawn berubah menjadi menakutkan. Kulit di sebagian tubuhnya termasuk wajah  mulai tampak ruam-ruam kemerahan, bahkan di beberapa tempat mulai tampak bengkak membutny tampak menakutkan.

Beberapa orang yang merisaknya terkejut melihat perubahan yang terjadi. Meski hal yang membuat mereka merisak adalah kelainan kulit  yang diderita Bara, namun ketika melihat kenyataannya mereka ketakutan. Suatu hal menakutkan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, membuat mereka kalang kabut melarikan diri.

Melihat musuhnya melarikan diri, keadaan Bara tidak semakin membaik. Tiba-tiba saja ia merasa nafasnya tersenggal-senggal, keringat dingin pun keluar. Menyadari keadaannya yang tidak semakin baik, Bara berusaha menyeret tubuhnya menjauhi lokasi yang tersembunyi, ia berusaha mencari jalan besar agar mudah baginya mencari pertolongan.

Dengan keadaan mengenaskan, Bara berhasil mendekati jalan besar, ia pun melihat Doni sahabatnya dan beberapa orang teman sekelas berlari mendekat. Doni melihat sahabatnya tersenyum melihatnya, namun tiba-tiba kegelapan melingkupi Bara. Tubuh Bara pun limbung jatuh ke trotoar, beruntung salah seorang dari mereka berlari sangat kencang dan menangkap kepala Bara agar tidak membentur sudut trotoar yang tidak rata.

“Bara…” teriak Doni dan teman-teman lainya. Mereka segera mengerumuni tubuh Bara yang tampak semakin mengenaskan.

“Tolong Edwin cepat telepon ambulan, aku akan mencoba melakukan pertolongan pertama. Aldo kamu bantu aku, perintahnya pada sosok yang tadi berhasil menangkap kepala Bara.”

Aldo dan Doni segera memindahkan tubuh Bara ke tempat yang lebih aman. Doni dibantu Aldo segera mempraktekkan ilmu yang sudah ia pelajari di PMR sejak kelas satu SMA.

“Budi, tolong minta orang-orang jangan berkerumun terlalu dekat dengan Bara,” perintah Doni tak sabaran melihat keadaan Bara yang tidak semakin membaik.

Ia segera melonggarkan kerah baju Bara untuk memastikan jalan nafasnya terbuka. Selain itu, Doni juga memposisikan kepala Bara lebih rendah, agar suplai darah dan laju oksigen lancar. Ia dan teman-temannya berharap Bara segera sadar dari pingsannya.

Namun ketika hampir dua puluh menit berlalu dan Bara tidak menampakkan tanda-tanda akan segera sadar, Doni segera merangsang kesadaran bara dengan menepuk-nepuk ringan pada pipi Bara sambil mengarahkan minyak wangi kearah hidung Bara.

“Gimana Win? Ambulannya sudah berhasil kamu hubungi?” teriak Doni mulai tak sabaran, ia tampak sangat kesal dengan keadaan. Bara yang keadaannya tidak semakin membaik membuat kacau emosinya.

“Sudah sedari tadi, mereka sbentar lagi sampai. Tenanglah Don, kamu membuat kami semua semakin takut,” ucap Edwin sambil menepuk bahu Doni yang dilihatnya tegang. Meski begitu Edwin sadar, Bara adalah sahabat Doni, tentunya bila terjadi hal yang tidak diinginkan pada Bara, Doni lah yang pertama kali akan menyesal.

Tidak beberapa lama kemudian, terlihat mata Bara mulai bergerak-gerak. “Aku di mana?” ucap Bara lirih. Ia terlihat belum menyadari sekelilingnya.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar,” Doni menepuk tubuh keras-keras.
***

“Aw…sakit tahu!” teriak Bara sambil membuka matanya.

“Nak, bangun sudah sore. Katanya mau menemani Ayah…”

Bara pun terduduk, ternyata ia kembali bermimpi. MImpi yang selalu menghantui hidupnya. Telah tiga tahun berlalau sejak kejadian itu, namun ternyata kejadian itu terus terngiang-ngiang dalam ingatannya, bahkan alam bawah sadarnya. Akibatnya ia sering memimpikan kejadian itu berulang-ulang.

“Kamu mimpi lagi Nak?” tanya ibunya dengan wajah prihatin.

Bara tidak menjawab pertanyaan ibunya itu, ia hanya mengangguk lemah. Meski telah mendatangi psikiater, namun hasilnya mimpi itu tidak mampu hilang sama sekali.

Tak mau melihat ibunya sedih, Bara berusaha mengalihkan perhatian, “Ayah di mana sekarang Bu?”
“Ada di bawah menunggumu. Cepat sana siap-siap.”

Dipeluknya wanita yang sangat menyayanginya itu, “Baik, Bu.”

Kekasih yang Tak TersentuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang