Bab XXII

6 1 0
                                    


Keesokan harinya, sore pukul dua mereka berempat diantar sopir Bara berangkat menuju dokter psikiatri. Setelah sebelumnya dengan bantuan ayahnya, Bara berhasil mendapatkan nomer antrian kedua sore itu. Selama dalam perjalanan Bara memberitahu ayah dan ibu Ara bila ia sudah mengurus ijin cuti bagi Ara hingga semester berakhir. Meski Ara bukan mahasiswa yang memiliki nilai sangat bagus, namun karena kerajinannya Ara sebetulnya bisa lulus semester ini karena hanya tinggal menyelesaikan tugas Karya Tulisnya. Namun, karena keadaan tidak memungkinkan, kelulusan Ara terpaksa harus mundur.
“Tidak apa-apa Nak, kami ikhlas bila Ara harus telat lulus S1 kedokterannya, karena siapa yang menyangka akan mendapat musibah seperti ini. Beruntung kamu dapat menyelamatkan Ara sehingga Ara belum betul-betul berhasil menjadi korban perkosaan. Bila kamu terlambat sedikit saja, entah apa yang akan terjadi pada kami Nak,” jawab ibu, suaranya terisak, ia kembali menangis mengingat kejadian kelam itu.
“Seandainya…” karena tangisnya semakin keras, ibu tidak dapat meneruskan lagi perkataannya. Dipeluknya Ara yang terlihat menatapnya dengan tatapan mata kosong.
“terima kasih Nak Bara, entah apa yangharus kami lakukan untuk membalas semua kebaikanmu.” Jelas ayah Ara sambil berusaha menenangkan istrinya yang masih terisak.
“Pak, saya sudah menganggap bapak seperti bapak saya sendiri. Saya melakukan ini dengan senang hati dan ikhlas, jadi saya mohon, jangan  bapak merasa banyak mempunyai hutang budi kepada saya,” jawab Bara sambil mencium tangan ayah Ara.
“Panggil saya Ayah, seperti Ara memanggil saya anakku,” pinta ayah ara.
Tiba-tiba terdengar suara rintihan Ara, “Ayah…” . sontak ketiga pasang mata menatap Ara terkejut, terlihat lelehan air mata mengalir membuat ibu segera memeluk Ara.
“Ara anakku,” isak ibu.
***
Tak lama kemudian, mereka telah sampai di sebuah klinik Utama di bilangan Jakarta Utara. Bara sengaja mencari tempat prktek psikiatri yang terkenal itu yang bukan di rumah sakit. Ia ingin memperoleh lebih banyak waktu dan privasi agar hasil terapi ARa sesuai dengan yang diinginkan.
“Ayah dan ibu serta Ara di sini dulu, saya daftar ulang dulu, nanti kalau sudah daftar ulang baru dipanggil.” Jelas Bara meninggal ketiga orang itu.
“Baik Nak,” jawab savitri sambil memberi Ara minum.
Tidak banyak pasien yang menunggu, mungkin karena masih sore, sehingga pasie yang datang masih sedikit, hal itu membuat tempat menjadi lebih nyaman.
Tak berapa lama kemudian terdengar nama Ara dipanggil. Segera Bara membantu Arad an kedua orang tuanya masuk keruang pemeriksaan. “Ayah, ibu, Bara di luar saja ya,” ucap Bara sambil meninggalkan ruang periksa setelah mengantar hingga ke dalam sebuah ruangan.
Sebuah ruangan bercat putih yang cukup luas dan hening, dengan dekor yang minimalis namun terkesan nyaman membuat betah semua orang yang masuk ke dalam ruangan itu. Di dalam ruangan itu telah menunggu seorang laki-laki berambut putih dengan senyum yang hangat membuat suasana tegang menjadi mencair.
***
Bara melirik jam tangan yang melingkar lengan kanannya, ternyata konsultasi dengan psikiater cukup memakan waktu. ‘Sebaiknya besok aku tidak memilih jurusan spesialis ini, karena berbicara lama cukup melelahkan,’ pikir Bara.
Ketika sedang membuka Instagram, tiba-tiba sebuah notifikasi wa dari kepolisian masuk ke hapenya. Segera Bara membaca pesan yang masuk, keluarga ara menyerahkan sepenuhnya penyelidikan masalah ini kepada pihak kepolisian melalui perantara Bara. Bara sebagai saksi yang menolong Ara tentunya memegang peranan paling penting, karena mengetahui keadaaan Ara pada saat itu. Oleh karena itu, Bara sering sekali diminta keterangannya oleh pihak kepolisian. Kini kasus percobaan perkosaan sudah sampai pada pemberkasaan dan sebentar lagi akan dilakukan sidang perdana. Arka sebagai terdakwa sudah ditangkap dan oleh pihak keluarga Ara meminta pada pihak kepolisian agar tidak memberikan ijin Arka menjadi tahan rumah.
TErnyata pihak kepolisian sudah menyelesaikan berkas perkara dan akan memulai sidangnya besok senin. Pihak kepolisian memberitahu jadwal persidangan dan bertanya pada Bara apakah bisa menghadiri persidangan dan apakah sudah menunjuk pengacara. Karena persidangan pertama masih sepuluh hari lagi, Bara menjawab bila ia akan segera mencari pengacara bagi nya dan Ara.
Tanpa terasa, ternyata waktu telah menunjukkan hampir pukul enam malam, entah apa saja yang dilakukan sang dokter memeriksa Ara, karena hampir satu setengah jam mereka belum juga keluar dari ruangan periksa. Tak berapa lama kemudian,  tiba-tiba pintu ruang periksa dibuka. Terlihat wajah kaku Ara, sedangkan wajah kedua  orang tuanya tampak lebih bahagia daripada ketika mereka masuk pertma kali tadi. Rupanya, didalam ruang periksa tadi, kedua orang tua Ara mendapat pencerahan yang membuat wajah mereka tampak lebih berseri-seri dan bersemangat.
“Bagaimana hasilnya Ayah, ibu?” tanya Bara dengan penuh ras ingin tahu. “bagaimana hasil pemeriksaan Ara? Apakah Ara bisa sembuh dan bagaimana prosesnya?” lanjut Bara seperti perempuan bawel yang terus menanyakan banyak hal tanpa bisa berhenti.
Dengan senyuman penuh arti, ayah Ara menjawab pertanyaan Bara yang bagai hujan itu, deras. “Alhamdulillah, sebelumnya ayah terima kasih telah membawa kami ke dokter ini. Meski belum menyembuhkan Ara dengan sekali datang, namun kita masih punya harapan untuk dapat menyembuhkan Ara.” Kata ayaha sambil menepuk-nepuk bahu Bara. Ia terlihat sekali sedang dalam mood tertingginya.
“Betul Nak, kalau tidak kamu rekomendasikan dokter yang tepat untuk penyakit Ara ini, kemungkina Ara sembuh akan semakin sedikit,” tambah ibu Ara sambil merangkul bahu Ara yang berjalan disampingnya.
“Mari lewat sini ayah, ibu. Tadi ak Beno sudah saya suruh pindah parki mobilnya sehingga kita  tidak terlalu jauh berjalan.” Kata Bara sambil menunjukkan jalan yang harus mereka lalui. “Maaf Ayah, Ibu kalau boleh tahu, Ara didiagnosis apa oleh pak dokter di dalam tadi?” tanya Bara lanjut. Ras ingin tahunya yang besar membuatnya ingin mendcecar banyak pertanyaan, namun Bara memiliki stok sabar yang banyak, hingga ia bisa perlahan menerima penjelasan dari pertanyaan yang ia tembakkan sedari tadi.
“Banyak sekali yang beliau tanyakan, sampai akhirnya diagnosis yang diambilnya adalah PTSD, ya, Ara mengalami PTSD (pst-traumatic stress disorder) Nak.” Jelas ayah.“Meski terdengar menyeramkan, tapi dengan penangan yangbaik, kata dokter tadi penderita PTSD seperti Ara dapat sembuh dalam waktu enam bulan bila mendapat penanganan dan selalu diberi dukungan dari orang-orang disekitarnya dengan baik,” lanjut ayah.
“iya, kata pk dokter tadi, PTSD tergolong dalam gangguan kecemasan yang membnuat pengidaapnya sulit melupakan atau tidak ingin mengingat kembali eristiwa traumatis yang ia alami. Akibatnya Ara memiliki pikiran negatif terhadap diri sendiri serta lingkungan disekitarnya. Para pengidap PTSD sering mengalami mimpi buruh, memiliki perasaan bersalah, sulit konsentrasi, bahkan gangguan tidur.” Kata Ibu ikt-ikutan menjelaskan.
“semoga dengan psikoterapi dan obat-obatan, Ara bisa segera sembuh. Selain itu kami juga mengharapkan bantuan Nak Bara agar bisa mendukung Ara agar segera lekas sembuh.” Pinta Ayah diiringi dengan anggukan dan senyum ibu Ara.
“Iya ayah, ibu, Insya allah bara akan selalu menemani sampai Ara sembuh,” ucap Bara pasti, yang diiringi rangkulan oleh kedua orang tua ARa.
“Mari kita pulang, namun sebelumnya kita makan malam dulu ya bu?” pinta ayah pada istri tercintanya.
“Iya, kita makan dulu sebelum sampai rumah. Kegiatan tadi menghabiskan banyak energy dan tenaga, sehingga perlu kita ganti dengan makan yang banyak.” Jawab Ibu.

Kekasih yang Tak TersentuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang