Bab XIII

9 3 0
                                    


Setelah hari itu, hubungan Arad an Bara pun terputus. Hal itu ditambah dengan libur semesteran yang membuat mereka semakin tidak bisa bertemu. Bara merasa kecewa dengan keputusan Ara, namun ia menyadari dan mengerti alsan mengapa Ara memutuskannya.  Bara berusaha memberi ruang bagi Ara untuk kembali memikirkan keputusan yang telah diambilnya, Bara tidak berusaha menghubungi Ara sampai Ara menghubunginya lagi.
Keheningan yang terjadi diantara kedua orang itu membuat teman-teman mereka bereaksi. Sahabat Bar, Doni meminta Bara untuk tidak terlu sedih, Ia berusaha mengalihkan perhatian sahabatnya itu agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
“Bara, kenapa wajahmu? Sudah beberapa hari ini tampangmu keliatan kusut. ” tanya Doni begitu dibukakan pintu oleh Bara.
Bara diam tidak menanggapi perkataan Doni. Dengan wajah kusutnya dipersilahkan Doni untuk masuk ke kamarnya. “Kamu mau minum apa?” tanya Bara sekilas.
“Apa ajalah,”
“Soft drink?”
“Ok.”
Dibukanya lemari pendingin berukuran kecil yang ada dikamarnya, segera dikeluarkannya dua botol soft drink, salah satunya diberikannya pada Doni. “Dari mana? Rumah?” tanya Bara yang dijawab dengan angukan kepala oleh Doni.
“Ada undangan rapat dari senat untukmu, kamu diundang mewakili angkatan kita.”
“Tumben, dalam rangka apa ya?” tanya Bara kebingungan.
“Tahun ini acara Dies Natalis akan diselenggarakan dengan tema yang berbeda, jadi setiap angkatan ditunjuk perwakilan menhadiri acara tersebut dan angkatan kita, kamu yang terpilih.” Jelas Doni panjang lebar. “Tapi kalau melihat kekusutan wajahmu apa bisa kamu datang?” sindirnya.
Bara memandang Doni dengan mata berkilat-kilat, lama-lama kesal juga ia mendengar ucapan nyinyir sahabatnya yang bak perempuan sedang PMS itu. “Aku akan datang.”
Ucapan Bara membuat Doni yang mendengarnya kaget. Doni mengira pasti ini ada hubungannya dengan Ara, karena sudah beberapa hari ini, ia tidak melihat sahabatnya itu sibuk dengan kekasihnya. Namun ia akan menunggu hingga Bara menceritakan sendiri penyebab kekusutannya. “Bara, kamu sudah mulai mengajukan judul untuk KTI belum?”
Mendengar Doni mengganti topik pembicaraannya, Bara tersenyum. Ia bersyukur memiliki sahabat yang begitumengerti akan dirinya. “Sudah, punyaku sudah di acc, tinggal melakukan penelitiannya.”
“Yah, kamu mah selalu cepat. Ketinggalan lagi aku, oh iya kamu ambil apa?”
“Biasalah, microbiologi.” Ucap Bara dengan percaya diri seperti biasanya.
Doni mengangguk-angguk, dilihatnya Bara berubah menjadi menyenangkan bila membicarakan tentang kuliahnya. Ia pun segera mengambil film DVD yang dibawanya, hari ini ia ingin menghibur sahabatnya itu dengan menghabiskan waktu bersama.

****
Ara memandangi gedung kampusnya yang menjulang megah, bangunan jaman belanda yang telah  mengalami renovasi beberapa kali itu, tetap berdiri dengan tegaknya, meski usianya telah berpuluh-puluh tahun. Setelah menghela nafas panjang, Ara segera melangkahkan kakinya menuju laboratorium Mikrobiologi. Ia memang salah karena telah memutuskan Bara secara sepihak, dan kini ketika harus bertemu kembali dengan Bara karena Karya Tulis Ilmiah mereka yang mengambil sampel yang sama membuatnya takut.
Beruntung pagi ini, Ara datang pagi-pagi, ia memang berusaha menghindari Bara. Meskipun sampel percobaan mereka sama, ia akan berusaha untuk sebisa mungkin mengerjakan sampel itu bersama Bara. Ara merasa bila ia benar-benar telah menyukai laki-laki tampan itu, namun ia akan mencoba melupakannya demi kebaikan mereka bersama.
Setelah Ara selesai konsultasi dengan dosen pembimbing laboratorium, dosen keduanya, ia segera keluar dari laboratorium. Karena merasa begitu senang, Ara lupa bila ia masih harus menghindari Bara demi hatinya. Tiba-tiba, sembari bersenandung karena rencana penelitian sampelnya telah di setujui, Ara yang tidak memperhatikan jalan bertabrakan dengan Barabergegas masuk ke dalam ruangan karena namanya dipanggil.
Keduanya terpaku dan saling memandang, Bara yang lebih dulu sadar dari kagetnya segera menyapa Ara. “Hai Ra, gimana kabarnya?”
“Baik, Alhamdulillah.” Jawab Ara dengan kepala tertunduk, ia tak mampu menatap wajah lelaki yang sangat disukainya itu.
“Syukurlah kalau begitu, kamu terlihat lebih baik, daripada keadaanku,” ucap Bara sambil meninggalkan Ara.
Mendengar perkataan Bara, Ara terpaku, lidahnya kelu. Wajahnya memerah, sudut-sudut matanya mengancam akan mengeluarkan butiran air mata, Ara pun segera berlalu. Setelah merasa agak jauh dari Bara, Ara segera berlari menuju taman di sekitar perpustakaan. Ia pun menumpahkan segala perasaannya pada bunga-bunga yang bermekaran di sekitarnya.
Entah berapa lama, ia menangis tiba-tiba bahunya ditepuk dengan lembut. “Ra, sudah enakan?” tanya suara yang sangat dikenalnya, Elma sahabatnya.
Ara yang awalnya ingin mengusap air matanya, ketika menyadari bahwa sahabatnya itu telah lama memandanginya, segera memeluk Elma dan menumpahkan segala perasaan yang masih mengganjal dalam hatinya.
“ternyata aku sangat menyukai laki-laki itu Ma,” keluhnya sembari terisak.
Elma segera memeluk sahabatnya itu, gadis yang biasanya terkenal selalu gembira kini merasakan bagaimana sakitnya mencintai seseorang.
“Kalau kamu menyukainya, kenapa kamu memutuskannya? Kembalilah pada Bara, jangan kamu sakiti dirimu sendiri.” Elma menasehati Ara sembari terus memeluk dan mengusap-usap punggungnya.
“Aku menyukainya, namun, aku tidak ingin melihatnya terluka karena sikapku dank arena aku belum bisa mengendalikan diri ketika bersamanya.” Sembari mengatakan hal itu, ARa pun kembali menangis, beruntung ketika itu, kampus sedang libur. Hanya beberapa gelintir orang yang masuk ke kampus, itupun tidak semua berjalan melewati tempat mereka duduk.
“Sudah, cup…cup..cup… Tenangkan dulu hatimu, urusanmu sudah selesai di kampus? Kita pulang yuk,” ajak Elma sambil menghapus air mata Ara dengan tissue. “Akhirnya kena batunya juga kamu Ra, dulu kamu gak mau jatuh cinta pada Bara. Kini sakit ya rasanya?” goda Elma yang dibalas dengan cubitan dipinggang oleh Ara.
“Kamu jahat ih, masa sahabatmu sedih, kamu godain?” kata Ara sembari cemberut.
“Ya, kamu sedih karena perbuatanmu sendiri sih. Ya nikmati saja. Yuk Ah kita pulang, jangan sampai ada yang melihat kamu menangis seperti ini di kampus.” Elma segera menarik tangan sahabatnya kea rah parkiran motor. “Mana kuncinya, aku boncengin dan antar kamu ke rumah,” pinta Elma sambil menyodorkan telapak tangannya meminta kunci.
Mereka berdua berlalu dari taman itu, tanpa menyadari bila sepasang mata sedari tadi telah mengintip dan mendengar pembicaran mereka. Bara segera berlalu dari tempat itu, setelah dilihatnya Ara berjalan terseok-seok ditarik oleh Elma menuju tempat motornya di parkir.

Kekasih yang Tak TersentuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang