Bab 27

13 4 0
                                    

Bab 27
Sembari memandang cincin yang melingkari jari tangannya, Ara tersenyum simpul. Ia ingin segera pulang dan memamerkan cincinnya pada ibunya. Ia teringat ketika tadi Bara mengatakan pada pelatyan di toko perhiasan tempat mereka membeli cincin.
“Mau cari apa Mas? Cincin, kalung atau gelang? Atau ketiga-tiganya?”
“Sekarang cincin dulu Mbak,” jawab Bara.
“Emas atau Berlian? EHm untuk siapa Mas?” tanya pelayan itu lagi sambil tersenyum genit pada Bara yang sore itu terlihat lebih tampan dengan kemeja putih dan celana hitam.
“Berlian Mbak, untuk calon istri saya Mbak. Ini dia,” kata Bara sembari memegang tangannya. Perilaku Bara yang lembut membuat Ara kaget, ia tersenyum malu. Senyuman Ara membuat sang pelayan sedikit kecewa, karena laki-laki yang digodanya ternyata memiliki calon istri bak gadis dari grup Blackpink. Sebuah grup girlbank terkenal asal korea selatan yang terdiri dari wanita-wanita cantik. Grup penyanyi perempuan yang dibentuk oleh YG Entertainment, terdiri dari para anggota seperti Jisoo, Jennie, Rose, dan Lisa.
Tanpa melepas pandangannya pada Ara, mbak pelayan kemudian bertanya pada Ara,” Mbaknya sudah punya gambaran ingin yang seperti apa?” tanyanya dengan sedikit kaku.
Mendapat pertanyaan itu, Ara segera tampak berpikir keras. “Aku ingin yang sederhana saja Mbak,” jawab Ara akhirnya.
“Iya sayang, kamu sudah cantic kok. Jadi pakai yang apapun akan tetap cantik,” ucap Bara dengan pandangan memuja yang tidak seperti biasanya. Bara yang jarang sekali memuji, ternyata mampu mengucapkan kata-kata yang penuh gombal itu.
Mendengar perkataan Bara yang gombal itu, membuat wajah Arad an mbak pelayan ikut memerah. Sambil memandang Bara dengan tatapan tak percaya, Ara hanya mengangguk mengiyakan. Mbak pelayan segera mencari cincin yang dimaksud. Disodorkannya sepuluh macam cincin berlian berbentuk sederhana dengan berbagai macam ukuran.
“Oh iya mau yang berapa karat berliannya Mas?” tanya sang pelayan lagi.
“Biar kekasihku pilih dulu, terserah dia mau berapa karat.” Bara menatap deretan cincin itu dengan mata berbinar. Ia yakin bila Ara akan menyukai semua cincin yang disodorkan pada gadis cantic itu.
“Kamu mau yang mana Ra? Semua cantic-cantik kok. Tuh yang tengah cantic sekali kayak kamu,” ucap Bara sambil menunjuk kearah cincin bermata tunggal dengan ukuran yang sedang memperlihatkan kilatan berlian.
Ara segera mengalihkan pandangannya pada cincin yang ditunjuk oleh Bara, “Iya, cincin itu tampak cantic sekali. Sederhana,”
Setelah agak lama berpikir, Ara segera mengambil keputusan bila ia mau cincin yang tadi dipilihkan oleh Bara. “AKu mau yang itu, tunjuknya.”
Mbak pelayan segera mengambilkan cincin yang dimaksud dan memberikan pada Ara. Ara segera menerima cincin itu dan memakainya. Pas sekali.”Yang ini aja Bara,”pinta Ara sambil memamerkan wajah cantiknya.
“Ok, ini aja Mbak.” Bara segera meminta kwitansi pembayaran. Sementara itu, cincin itu langsung ia pakaikan pada Ara sembari berkata,”Would you be mine?”
“Yes, I wil,” jawab Ara dengan tersenyum yakin.

***

Setelah menyelesaikan pembayaran, mereka segera masuk kedalam mobil untuk segera pulang. Sepanjang perjalanan keadaan di dalam mobil hening.
“kenapa kamu senyum-senyum sendiri dari tadi?” goda Bara meski ia bisa menebak apa yang sedang ada dalam pikiran Ara.
Ara tidak menjawab, senyumnya semakin mengembang. Sitatapnya wajah Bara dari samping, “Terima kasih atas kebahagiaan hari ini ya,” ucapnya sungguh-sungguh.
“Apakah aku hanya memberimu kebahagian hari ini saja? Sebelum-sebelumnya tidak?” tanya Bara dengan wajah cemberut. “Jangan-jangan hanya karena cincin mahal itu kamu gembira, berarti kamu…”
“Matre maksud kamu?” bentak Ara sambil cemberut.
“hahaha…gitu aja sudah ngambek lagi. Tadi katanya bahagia?” jawil Bara pada pipi Ara ketika mobil yang ia kendarai sedang berhenti di lampu merah.
Tidak seperti hari weekend, hari ini jalan Cikini Raya tempat Kenanga Gold Center berada tampak sepi. Parkiran di depan toko perhiasaan itupun tampak sedikit lengang. Hal itu membuat Arad an Bara lebih cepat pulang. Karena jalanan tidak macet. Tidak memerlukan waktu lama mereka telah sampai di depan rumah Ara.
“Ra, mampir gak?” tanya Ara ketika mobil telah berhenti.
“Kamu masih kangen aku ya?” goda Bara sambil tersenyum.
“Ih, gr. Tapi kalau besok aku kangen terus sama kamu gimana Ra?” jawab Ara dengan wajah mulai ditekuk. Ara tampak begitu sedih ketika mengatakan hal itu, membuat Bara termenung.
“Kana da skype, wa, dan zoom. Kalau kamu kangen, bisa kita gunakan semuanya sekaligus, gimana?” ucap Bara menenangkan Ara yang mulai berkaca-kaca. “Kalau kamu seperti ini, aku sepertinya ingin menunda kepergianku,” keluh Bara.
Ara pun tersenyum, diusapkan air mata yang sempat akan keluar dari sudut matanya. “Jangan Ra, kamu harus tetap ke Jerman demi kesembuhanmu dan demi kita. Soal aku, jangan iraukan. Aku akan masih tetap seperti ini hingga kita bertemu lagi, setahun lagi,” isak Ara akhirnya lolos juga.
Bara ingin sekali memeluk erat Ara, namun ia sadar aibatnya pada dirinya. Ia tidak ingin membuat Ara khawatir, sehingga ditahannya keinginannya itu sembari berharap tindakan pengobatan yang akan dia lakukan di Jerman berhasil sehingga ia akan bisa memeluk Ara selamanya.
“Iya sayang, aku akan tetap berangkat ke Jerman demi kita. Masa depan kita,” ucap Bara meyakinkan Arad an dirinya sendiri.
“Ok kalau begitu, I love you Ra,” bisik ARa malu-malu.
Bara terkejut ketika mendengar ucapan Ara, “I love you more, my darling. AKu langsung pulang ya?”
“Oke, hati-hati dan terima kasih banyak,” ucap Ara sambil memamerkan jemari manisnya yang dilingkari cincin berlian yang berkilauan.
“Cantik, bye…Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Bara pun pulang sembari diiringi senyuman Ara yang tidak lepas dari bibir mungilnya. Sepeninggalan Bara, Ara segera masuk rumah.
“Lho kok Nak Bara gak mampir Ra? Kalian gak marahan kan?” tanya ibunya dengan wajah khawartir.
“Aduh ibu, masa aku berantem sama Bara? Sedangkan tadi Bara baru saja membelikan aku ini,” ucap Ara sembari memamerkan jemari manisnya yang dilingkarai sebuah cincin berlian cantic.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now