Bab XXI

7 2 0
                                    


“Nak Bara, sudah pulang dulu, biar ibu dan ayahnya Ara yang menjaga Ara di sini. Nanti kalau istirahatmu kurang bisa sakit, ibu dan ayah jadi merasa bersalah bila terjadi apa-apa dengan kamu Nak,” pinta Savitri pada lelaki muda yang berada di depannya.
“Saya ingin melihat Ara bangun bu, sudah seharian dia tidak bangun. Ara diam saja Bu,” tolak Bara sambil menggelengkan kepala.
“Pulanglah Nak, nanti kalau Ara sadar, bapak yang memanggil kamu. Saya berjanji,” tambah Ayah Ara sambil memegang lengan lelaki itu.
Bara dengan keras kepala menggelengkan kepalanya, dengan senyuman yang lemah, Bara kukuh pada keinginannya. “Bara sudah menelepon ke ayah dan ibu Bara, minta ijin untuk menemani Ara hingga sadar.”
Mendengar perkataan Bara, kedua orang tua Ara hanya bisa menggelengkan keala mereka. Rasa bersalah menghantui keduanya, terutama setelah menyadari betapa besar cinta Bara pada anak mereka, Ara.
“nggak apa-apa bu, aku ingin menunggu hingga Ara sadar. Semoga Ara lekas kembali, supaya aku bisa pulang dengan tenang,” lanjut Bara lagi.
Keheningan kemudian melanda mereka, ketiga orang itu duduk mengelilingi tempat tidur dimana Ara sedang tertidur.  Akhirnya satu persatu dari ketiga orang itu tertidur, hanya Bara yang masih berusaha bertahan tidak tertidur. Bara terlihat berusaha keras mempertahankan kesadarannya, setelah kembali dari memcuci mukanya, Bara kembali terlihat segar.
Ditengah keheningan, tiba-tiba Bara melihat ujung jemari Ara bergerak. Bara yang melihat hal itu, segra membangunkan ayah Ara perlahan, ia tidak ingin mengagetkan lelaki paruh baya itu.
Ketika akhirnya terdengar rintihan dari mulut Ara, sontak ketika orang yang menjaganya, segera berkata meneriakkan namanya bersamaan. “Ra…”
Bara segera keluar ruangan untuk memanggil dokter dan perawat, ia ingin Ara segera diperiksa kembali setelah dia sadar. Tak lama kemudian, masuk tiga orang kedalam ruangan, membuat tiga orang yang menjaga Ara terpaksa minggir untuk memberi keleluasaan pada mereka yang akan memeriksa Ara. Terlihat Ara masih dalam tatapan kosongnya, ia terlihat seperti hidup dalam dunianya sendiri, membuat kedua orang tuanya mulai khawatir.
“Dok, bagaimana keadaan Ara?” tanya ayahnya cepat.
“Untuk kesehatan fisik insya allah Ara menuju keadaan yang lebih baik, mengenai tatapan kosongnya, besok kami konsulkan ke dokter spesialis psikiatri dulu Pak,” jelas sang dokter sembari memberikan senyuman.

***

Sudah dua hari sejak kepulangan Ara dari rumah sakit, dansejak hari itu, Bara setiap hari berada di rumah Ara. Dengan ijin dari kedua orang tuanya, Bara selalu menemani kedua orang tua ra dalam mengurus dan membesarkan hati kedua orang tua itu. Meski keadaan fisik ARa sudah kembali pulih, namun secara psikis Ara belum sembuh. Jangankan membaik seperti sediakala, psikis ARa tampak tidak ada perbaikan sama sekali.
Tiap kali matanya membuka tatapan Ara selalu kosong, pikirannya entah selalu kemana. Setiap kali kali namanya dipanggil, Ara tidak pernah menjawab. Jangankan menjawab, menoleh bila namanya dipanggil pun tidak.Ara tampak bagaikan manekin, duduk terdiam tanpa bergerak dan berkata apapun hingga berjam-jam.
Sedangkan bila malam hari, Ara selalu berteriak-teriak dalam tidurnya. Terkadang Ara terbangun dengan keadaan basah kuyup berkeringat disekujur tubuhnya. Ia seperti seseorang yang berlari dengan sekuat tenaga, seperti dikejar oleh orang atau sesuatu.
Melihat keadaan itu, Bara merasa sangat prihatin, terutama pada ibu Ara yang mencurahkan segalakekuatan tuanyauntuk mengurus anak semata wayangnya. Hal itu mengingatkan Bara pada ibunya sendiri.
“Bu, bagaimana kalau Ara kita bawa ke psikiater?”ucap Bara perlahan. Meskiiatahu,ia selalu melontarkan ide yang terbaik bagi kesehatan Ara, namun ide membawa ke psikiatri tidaklah hal yang biasa.
“Maksud Nak Bara?” jawab ayah Ara yang kebetulan hari itu lebih cepat pulang dari waktu yang biasa.
“Saya mengamati Ayah dan ibu yang terlihat kelelahan menjaga Ara. Meski bagi kalian, hal itu sudah sewajarnya dilakukan, tapi Bara juga ingin semua ini lebih cepat berakhir. Mengunjungi dokter psikiatri merupakan salah satu solusi yang bisa kita tempuh untuk mempercepat hasil yang kita inginkan.”
Mendengar penjelasan Bara yang panjang lebar dan memiliki tujuan yang baik, membuat kedua orang ara yang awalnya terlihat tidak setuju menjadi goyah  pendiriannya.
“Pak, bu, Ara bukan orang gila. Saya juga tidakingin Ara menjadi gila, tapi dengan mengunjungi psikiater, kita bisa tahu bagaimana cara menangai masalah Arad an solusi yang terbaik harus bagaimana.” Lanjut Bara dengan menggebu-gebu.
Keheningan pun tiba-tiba menyelimuti mereka bertiga. Tok…tok…tok…terdengar suara pintu kamar Ara yang diketuk tiba-tiba, membuat keempat orang yang berada di dalamnya tersentak kaget.
“Bu, ini ada tamu dari ibu-ibu Rt. Mereka mau menengok non ARa,” ucap Mbok.
“ya Mbok suruh tunggu sebentar, aku mau ganti baju dulu . Tolong beritahu tamunya, mbok tolong siapkan air minum ya…”pinta ibu pada si Mbok.”Aku setuju ucapan Nak Bara,Yah,” lanjut ibu bergegas keluar kamar.
Melihat istrinya menemui ibu-ibu yang datang untuk menengok keadaan Ara, ayah segera berpikir keras. Ia tidak ingin dicap sebagai ayah yang plin plan dan tidak bisa mengambil keputusan, namun juga ia tidak ingin terlalu gegabah karena semua menyangkut anak semata wayang yang sangat ia cintai.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ayah Ara pun mengangguk pada Bara menyetujui saran yang diajukan Bara.
“Baiklah, bapak menyetujui saran Nak Bara.Tapi apakah Nak Bara mengetahui psikiatri yang paling baik di Jakarta ini? Bapak kurang paham mengenai dunia psikiater,” tanya Ayah Bara sambil berusaha berpikir kereas dan menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.
Bara yang sebelumnya sudah mencari tahu mengenai psikiater yang paling handal di kota ini, segera memberitahu kepada ayah Ara.”Nanti saya yang mendaftarkan Pak, besok kalau sudah dapat nomer antriannya, kita berangkat,” ucap Bara meyakinkan.
Mendengar hal itu, ayah Ara menatap kagum laki-laki dihadapannya itu. Ia berharap semoga ada jodoh diantara Arad an Bara, sehingga ia bisa memiliki menantu idamannya itu, Bara. “Baik Nak, terima kasih banyak atas bantuanmu. Bapak tidak bisa membalas semuanya. Semoga Allah membalas kebaikanmu berlipat-lipat.” Ucapnya sambil menepuk bahu Bara.
Mereka tidak sadar bila sedang diperhatikan oleh sepasang mata yang mengamati mereka berdua dari luar kamar. Pintu kamar yang sedikit terbuka, membuat ibu dapat menengar dan melihat segala sesuatu yang sedang terjadi di dalam kamar Ara. ‘Terima kasih Nak,’ bisik wanita itu dalam hati. Air matanya turun membasahi pipinya yang putih, meski sedih melihat keadan putri satu-satunya, namun kehadiran Bara mampu mengurangi kesedihannya.
“Ayah, ini ibu-ibu tetangga kita ingin pamit pulang. Tolong ditemui dulu yah,” pinta ibu mengajak ayah untuk keluar dari kamar Ara.
“Baik bu. Sebentar ya Nak,” kata ayah pada Bara.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now