Bab XI

9 2 0
                                    

Bab XI:
Saat ini Ara sedang bersama Bara, makan malam berdua di sebuah restoran cepat saji di bilangan menteng. Ketika Bara meninggalkannya ke kamar kecil, Ara melirik pasangan yang duduk di sampingnya. Ia terlihat tampak iri dengan kemesraan yang diperlihatkan oleh pasangan itu. Sang wanita sembari menunggu pesanan datang menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya, dengan tangan yang memegang erat lengan seakan ia tidak ingin berpisah dan jauh dari kekasihnya itu.
Selama mereka berpacaran, lima bulan ini, kedekatan fisik mereka hanyalan berpegangan tangan. Ara berusaha menghindari bersentuhan dengan Bara berlebihan, ia takut bila ia menyentuh Bara maka penyakit Bara akan kumat. Ara tidak sanggup melihat kekasihnya celaka karena ketidakmampuannya menahan keinginannya.
Ara tidak sadar bila tingkah lakunya diperhatikan oleh Bara dari kejauhan. Ketika melihat kekasihnya sedang memperhatikan pasangan lain, Bara merasa terenyuh. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Ara. Ara yang seperti buku terbuka baginya terlihat begitu ingin seperti pasangan yang sedang ia amati. Menyadari hal itu, Bara sebagai kekasih sebetulnya ingin bisa seperti pasangan yang lain. Namun ia takut bila nantinya hal itu akan melukainya.
“hai, sedang apa kamu sayang? Aku lama ya? Kamu kelihatan bosan,” ucap Bara berusaha mengalihkan perhatian Ara.
“Eh, gak…aku gak bosan, malah asyik mengamati orang-orang disekitar kita.”
“termasuk mengamati pasangan di dekat kita ya?” goda Bara. Membuat Ara memerah wajahnya, ia malu ternyata Bara mengetahui apa yang sedang dipikrkannya.
“Ah gak kok. Eh ini makanannya sudah datang, yuk makan, aku sudah lapar,” ajak Ara mencoba menenangkan diri.
Menanggapi sikap Ara yang terlihat grogi, Bara segera mengiyakan ajakan Ara untuk mulai makan. Ia tidak ingin membuat kekasihnya itu menjadi salting. “Yuk, sebelum jadi dingin.”
Mereka makan dalam diam, keheningan yang terjadi diantara mereka membuat acara makan malam mereka lebih cepat dari rencana. Untuk mencairkan suasana, Bara segera mencari bahan pembicaraan lain.
“Ra, kamu akhirnya bagaimana? Mau ambil tugas akhir temanya apa? Sudah ada bayangan belum?” tanya Bara sambil memandangi Ara yang tengah asyik menghabiskan burgernya.
Ara hanya menggelengkan kepalanya, ia masih sibuk mengunyah sembari membuang rasa tidak nyamannya dengan godaan Bara tadi. Mereka pun terdiam, akhirnya setelah Ara menyelesaikan burgernya, ia pun menatap Bara sembari menyesap minuman bersodanya.
“Aku belum punya ide nih, apakah aku kira-kira bisa ikut kamu? Maksud aku, aku nebeng idemu,” pinta Ara sambil malu-malu.
“kenapa wajahmu seperti itu? Malu? Kamu gak usah malu sama aku, aku tahu nilai-nilaimu kok,” goda Bara semakin membuat wajah Ara semakin memerah karena malu.
“iya, kamu kan memang lebih pintar. Buktikan dengan membuat tugas akhirku juga dong,”  rengek Ara, membuat Bara tertawa.
“Duh, kamu tuh emang paling bisa merayu aku. Bila sudah begini, aku harus bagaimana? Gak kuat aku,” keluh Bara pura-pura kesal sambil melirik Ara yang terlihat memperlihatkan wajah tidak bersalahnya.
Mendengar perkataan Bara, Ara berpura-pura merajuk,”ya udah kalau nggak mau ngebantu aku. Biarkanaku lulus lama, biar kamu malu punya pacar bodoh dan telat lulusnya.”
Bara pun tertawa, ia segera menoel hidung Ara karena gemas. “Ah kamu, aku jadi lemah kalau begini,” keluh Bara. Membuat Ara tertawa terbahak-bahak, Ara pun tanpa sadar memeluk lengan Bara dengan erat. Bara pun terlihat tidak berusaha menghindar seperti biasanya, membuat Ara semakin mendekatkan badannya pada Bara.
Bara mencium ujung kepala Ara dan menghidu wangi rambut Ara, wangi peach merangsek Bara membuatnya semakin menginginkan kekasihnya itu. Tib-tiba hape Ara pun berbunyi, tertulis ‘Ibu’ di layarnya. Arad an Bara segera sadar, mereka segera menarik diri. Ara yang merasa seperti telah melakukan suatu hal yang kurang baik segera mengalihkan perhatiannya dengan menerima telepon dari ibunya.
“Assalamu’alaikum, ya Bu, ada apa?” kata Ara sambil melirik kearah Bara yang memerah wajahnya.
Bibir Bara mengatakan sesuatu yang namun tidak terdengar oleh Ara, Ara mengernyitkan dahinya tanda tidak mengerti.
‘Wa’alaikumsalam, nak maaf ganggu. Nanti kalau pulang, ibu titip obat di apotek bisa?’
“Ibu sakit apa?” tanya Ara dengan wajah khawatir. Mendengar perkataan Ara, Bara segera menoleh dan menatap wajah Ara penuh tanda tanya.
‘Ibu dari pagi tadi bab mencret, sudah hampir 4 kali. Bab cair dan agak mual juga nih. Titip ya Nak, terima kasih. Wassalam.’
“Baik bu, wa’alaikumsalam.” Ara segera memutus hubungan dan menatap wajah Bara.
“Kamu tadi bicara apa? Aku gak ngerti,apa?” Tanya Ara sambil menatap Bara. Mendengar pertanyaan Ara, Bara terlihat berpura-pura melupakan apa yang tadi ia katakana pada Ara.
“Ehm, bukan apa-apa kok. Oh iya, tadi ibu kenapa?”
“Ra, kamu tadi mau ngomong apa?” tanya Ara sekali lagi, ia terlihat agak kesal pada Bara yang seperti ini.
Melihat wajah Ara yang serius ditambah pertanyaannya, Bara segera menyadari bila Ara tidak sedang bercanda dengannya. Bara segera menjawab pertanyaan Ara tadi dengan wajah tertunduk, “tadi aku bilang aku suka bau mu, peach. Kamu wangi, aku suka.”
Mendengar jawaban Bara yang tidak pernah terpikirkan olehnya, Ara menjadi malu sendiri. Ia segera mengalihkan perhatian Bara dengan mengatakan bahwa ibunya diare dan meminta dibelikan obat. Mendengar hal itu, bara segera mengajak mereka pulang.
Ketika sedang mengendari mobil, Bara terlihat meringis. Ara yang duduk di sebelahnya segera menyadari bila Bara sedang menahan rasa nyeri.
“Kamu kenapa?” tanya Ara Khawatir. Bara tidak menjawab pertanyaan Ara. Ia menghentikan mobilnya ketika sudah sampai di sebuah apotik. Bara kembali meringis nyeri, Ara melihat lengan Bara yang tadi ia peluk tampak memerah, wajah Bara pun terlihat agak tersenggal-senggal. “maafkan aku,” Ara menyadari apa sedang terjadi pada Bara. Ia segera keluar membeli obat. Tidak berapa lama kemudian, Ara telah kembali sembari mmbawa obat dan sebotol air minum.
“Minumlah, nanti kalau kamu ngantuk, biar aku yang bwa mobilnya. Kamu percaya aku kan?” tanya Ara pada Bara yang dijawab anggukan dari Bara.
Setelah Bara meminum obat yang ia bawa, Ara kembali menuju apotikuntuk membeli obat pesanan ibunya. Loperamid Hcl, domperidon, copma dan levofloxazin telah ia dapatkan dengan menunjukkan kartu mahasiswa kedokteran miliknya. Sebagian apotek memang menerapkan peraturan bila antibiotic tidak dapat dijual bebas terkecuali untuk orang-orang tertentu, seperti Ara yang memperlihatkan kartu As nya itu.
Ketika ia telah sampai mobil, dilihatnya Bara telah tertidur di kursi penumpang. Ara segera memasang safety bealt pada tubuh Bara dan membawa mobil meninggalkan apotek. Tidak beberapa lama kemudian, mereka telah sampai di rumah Ara. Ara segera menaruh mobil di garasi rumahnya, Bara terlihat masih tertidur dengan nyenyak, Ara seger meninggalkan Bara dan masuk untuk memberi obat pesanan ibunya.
“lho Nak, kenapa kamu bawa mobil NAk Bara. Nak Bara kemana?” tanya ibunya penuh tanda tanya. Beruntung ayahnya sedang berada di luar kota, membuatnya lebih mudah dalam menghadapi orang tuanya.
“Bara ada di mobil Bu, ia sedang tidur, tadi tiba-tiba sakit dan aku beri dia obat, akhirnya dia tertidur akibat obat.” Ara menjelaskan pada ibunya disertai permintaan maaf karena telah membawa laki-laki kerumah.
“Oh gak apa-apa kalau begitu. Segera telepon rumahnya untuk menjemptnya. Kasihan Nak Bara,” perimtah ibunya.
“Baik bu,” Ara segera menghubungi ratih memberitahu bila kakaknya sedang ada dirumahnya dan memintanya menyuruh sopirnya menjemput, karena Bara mendadak kumat.
Setelah menelepon Ratih, Ara mengangguk kearah ibunya yang melihatnya dengan penuh tanda tanya. “Nanti aku jelaskan Bu, mengenai Bara.”  Perkataan Ara dijawab oleh ibunya dengan anggukan tanda mengerti.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now