Bab IV: Dermatographia

18 4 0
                                    


Ratih mengangkat wajahnya dari botol berisi the, dilihatnya seraut wajah cantic yang mengamatinya dengan penuh tanda tanya. Diamatinya gadis yang sering disebut-sebut oleh kakaknya itu. Kakaknya selalu mencertiakan gadis yang ada di depannya itu sebagai gadis yang membuatnya kebingungan dan terlalu ramah, kini ia sadar mengapa kakaknya begitu terpengaruh oleh keberadaan gadis itu.
Bagi Ratih, Ara adalah seorang gadis cantic dengan pribadi yang hangat. Ratih yang tidak memiliki seorang kaka perempuan segera menyukai gadis itu. Cerita mengenai keadaan Bara pun mengalir dari mulut Ratih. Sebagai seorang pendongeng yang baik, Ratih sudah terbiasa menceritakan segala sesuatunya dengan terinci. Termasuk ketika menceritakan mengenai penyakit yang diderita kakaknya, dan mengapa kakaknya bara berubah menjadi seorang laki-laki yang sekarang dikenal orang, dingin dan sulit dijangkau.
“Jadi tadi Kak Bara celaka karena kesalahanku Kak. Kalau saja aku tidak ngambek dan berusaha untuk pulang sendiri, tentu kejadiannya tidak seperti ini.” Isak Ratih tertahan, air matanya mengalir membasahi pipinya yang mulus.
Ara yang menyadari betapa sayangnya Ratih pada kakak laki-laki satunya, Bara segera merengkuh bahu Ratih. Ditariknya Ratih ke dalam pelukannya. Tiba-tiba suasananya lengang diantara mereka pun terdistrak dengan kehadiran Doni yang mengejutkan mereka.
“Kak Bara??” tanya Ratih, ia tidak berkata lagi hanya tatapannya pada DOni menjelasakan kekhawatiran itu.
“Kakakmu sudah sadar, syukurlah dia kuat dan tidak telat membawanya kerumah sakit.”
“Alhamdulillah.”
“Alhamdulilah,” Ara merasa ikut bersyukur, ia merasa bersalah karena selama ini  telah memiliki prasangka buruk pada bara. Hatinya merasa sakit mendengar apa yang selama ini ternyata diderita oleh Bara.
“Yuk, mari kita temui Bara. Tadi dia sudah sadar, matanya seperti mencari-cari keberadaanmu, dia menanyakanmu,” ajak Doni pada Ratih.
Ratih pun menangis, “kakak selalu seperti itu, padahal dia yang celaka, namun selalu memikirkan orang lain.” Isaknya sambil menarik tangan Ara. “Kak Ara ikut kami ya,” pintanya sambil menggenggam tangan Ara. Ara yang merasa tidak enak harus bersikap pada Bara, karena kesalahan bodohnya selama ini sejujurnya tidak ingin segera bertemu dengan Bara, tapi melihat Ratih yang menggenggam tangannya, Ara pun sulit menolak.
“Baik, ayo kita temui kakakmu.” Mereka pun melangkah bertiga menuju ruang perawatan yang terletak di sebelah ruang UGD.
***
“Salam…” Ucap Ratih setelah mengetok pintu kamar ruang perawatan. Ketika pintu dibuka, tampak sebuah tempat tidur lengkap dengan segala peralatan medis terletak ditengah ruangan berukuran lumayan besar yang diberi cat terang.  Bau carbol menyengat ketika pintu ruangan dibuka, Ratih yang tidak menyukai rumah sakit mengernyitkan hidungnya, dengan berhati-hati, ia segera mendekati tempat tidur yang berisi kakaknya. Wajahnya tampak sedikit memucat melihat kakaknya yang masih dipasang tabung entrakeal di mulutnya. Alat itu dipasang untuk membantu melonggarkan pernapasan Bara yang tadi sempat terjadi.
Melihat Bara yang tampak menghawatirkan, Ara terenyuh. Ia teringat ayahnya yang sama keadaannya dengan temannya itu. Hanya penyebabnya saja yang berbeda. Bila keadaan ayahnya terjadi karena darah tingginya tidak terkontrol, sedangkan Bara hampir saja kehilangan nyawa karena membela adiknya. Ia teringat merasa berdosa karena tadi sudah membuat Bara telat menjemput adiknya, akibat ia terlalu memaksakan diri agar tugas kelompok mereka harus selesai paling dulu seperti biasanya.
Ara melihat Ratih yang memeluk Bara dan mencium punggung tangannya. Tampak oleh Ara, bila Ratih sangat menyayangi Bara dan menghormatinya. Ia tersadar bila selama ini anggapannya pada sosok Bara salah, hal itu membuat Ara tidak nyaman.
“Kak, bagaimana keadaanmu? Maafkan aku ya Kak? Aku yang salah…”rengek Ratih, air matanya mulai berjatuhan kembali.
Bara yang belum bisa berkata apapun hanya menggelengkan kepalnya dan mengelus rambut Ratih berusaha menenangkan adiknya itu.
“Kak, ini ada Kak Ara. Aku tadi ngobrol dengan dia di luar, ayah Kak Ara sedang dirawat di UGD karena stroke.” Ratih segera menarik tangan Ara untuk mendekati Bara, tampak wajah Bara yang kaget melihat Ara yang mengetahui keadaannya.
“Hai Bara, maafkan aku tadi ya. Aku yang menyebabkan ini semua, besok tidak akan aku ulangi lagi.” Isak Ara sambil memegang tangan Bara. Mendengar perkataan Ara, Bara hanya tersenyum. Meski akhirnya ada orang lain yang mengetahui penyakitnya, namun entah mengapa bila Ara yang mengetahui, Bara merasa tidak ada yang salah.
“Maafkan aku.” Ara mengulangi lagi perkataannya, membuat Doni tersenyum dan berusaha menggodanya.
“Yah kalau anjing dan kucing gencatan senjata, gak asyik lagi dong kelompok diskusi kita, sepi…” Sesal Doni sambil memanyunkan wajahnya, membuat Ara kesal karena merasa disindir Doni.Segera dicubitinya lengan Doni hingga sang pemilik mengeluh kesakitan.
“Ampun Ra…Ampun….panas banget cubitanmu.” Keluh DOni sembari mengusap-usap lengannya yang memerah kesakitan. Ara yang melihat DOni meringis kesakitan merasa puas karena telah berhasil menyiksa Doni yang sudah menyindirnya tadi.
“Sudah? Sakit kan?”
“Ampun gak mau lagi, sakit.” Keluh Doni.
Melihat hal itu Ratih dan Bara hanya tersenyum-senyum. Ratih memandangi wajah Ara yang cantik, pantas kakaknya yang belum pernah menyukai seorang wanita menjadi jatuh hati pada wanita ini. Ratih berjanji dalam hati, ia akan membantu kakaknya untuk mendapatkan hati Ara.
“Kalau begitu, aku pamit undur diri dulu ya. Aku akan menengok bapakku. Kasihan ibuku menenmani sendirian sedari tadi. Aku ke ruangan  sebelah ya,” pamit Ara, ia merasa tidak enak berlama-lama diruangan Bara. Ada suatu perasaan baru yang tiba-tiba muncul membuatnya bingung dan kaget.
“Iya kak, terima kaish tadi sudah mau menemani aku. Nanti sebentar lagi ayha ibu datang kok,” kata Ratih sambil memberikan pelukan perpisahan, Ara pun membalas pelukan Ratih dengan kasih.
Melihat hal itu, DOni yang selalu menggoda seperti mendapat angina segar. “Wah kalau sudah mendapat persetujuan dari calon adik ipar gampang nih. Tinggal pesetujuan calon mertua, betul gak Tih?” Perkataan Doni membuat wajah Ara memerah, ia tampak malu dan kaget mendengar wacana yang baru saja ia dengar.
“Apa sih kamu Don, ngomong gak jelas. PAntes di kelompok eror terus. Sudah ya Tih, aku pamit.” Ucap Ara dengan bergetar, ia segera memengan tangan Ratih dan memberikan anggukan serta senyum manisnya pada Bara. Untuk Doni, yang sudah berhasil membuat hatinya kacau, Ara memberikan pukulan pada lengan Doni.
“Aduh!”
“Syukurin, mulanya hati-hati kalau bicara. Assalamu/a’alaikum.” ARa bergegas keluar, ia tidak ingin berlama-lama diruangan itu. Jantung mendadak terasa tidak nyaman.
‘Berdekatan dengan Bara, tidak baik untuk kesahatan jantungku.’ Pikir Ara sambil bergegas menuju ruangan ayahnya.  Ia pun melangkh dengan langkah lebar-lebar menjauhi ruangan tempat Bara dirawat tanpa sadar bila perilakunya masih diperhatikan oleh tiga pasang mata yang ia tinggalkan.
“Kak, aku suka sama kak Ara,” ucap Ratih mengagetkan Bara.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now