Bab XXIII

7 2 0
                                    

Bab XXIII: Masa depan
Selama Ara menjalani terapi yang telah berjalan hampir satu setengah bulan ini, Bara hampir tidak pernah absen menemani dan mengantar Ara. Meski Ara juga selalu ditemani ibu atau ayahnya, namun selalu ada Bara disana. Hal itu membuat Papa dan mama Bara bertanya-tanya. Meski mereka tahu yang dilakukan oleh Bara merupakan kegiatan yang positif, tapi mereka tetap ingin tahu. Hingga suatu saat ketika Bara sedang berada di rumah, mereka pun mendekati Bara.
“Wah tumben kamu di rumah Nak, sedang tidak ada kegiatan?” tanya laki-laki paruh baya pada Bara yang terlihat sedang asyik nonton televisi. IA segera duduk mendekati Bara.
Mendengar hal tersebut, Bara segera tersenyum. “Tadinya mau nemenin Ara terapi Pa,tapi mendadak dokternya membatalkan sesi terapi kali ini, untung belum berangkat, jadi gak sia-sia kalau ke kliniknya.”
“Oh gitu, mengenai kasus percobaan perkosaannya sendiri bagaimana? Maaf papa tidak sempat mengikuti kasusnya, baru ada perluasan bisnis, ayah sedikit crowded,” keluhnya pada Bara.
“Alhamdulillah sudah hampir selesai Pa, semua saksi sudah dihadirkan di persidangan dan sudah memnerikan kesaksiannya. Sekarang tinggal menunggu keputusan hakimsaja. Kalu tidak salah sabtu ini, keputusan akan diambil Pa,” jelas Bara sambil tersenyum pada laki-laki yang selalu dikaguminya itu.
“Oh, bagus itu. AKhirnya selesai juga ya Nak, dan kamu sendiri masih menemani Ara menjalani terapi? Kuliahmu sendiri bagaiman? Katanya sudah selesai seminar KTI mu, tapi kami belum mendengar berita bahagia itu darii mulutmu sendiri,” desak mamanya.
Bara tersenyum simpul, menyadari sifat ibunya yang merasa tidak diperhatikan olehnya. “Iya Ma, aku masih menemani Ara terapi. Mengenai Karya tulisku sudah selesai seminarnya Ma, Alhamdulillah aku mendapat nila A. Insya allah juli ini aku wisuda ma, jangan khawatir,” jelasa Bara pada wanita cantic yang menatapnya dengan penuh sayang.
Mendengar hal itu, kedua orang tuanya tersenyum lega. Meski awalnya mereka sempat mengkhawatirkan kuliah Bara, namun setelah mendengar penjelasan dari putra mereka itumembuat kekhawatiran mereka hilang lenyap tak berbekas bagai ditiup angin. Kekhawatiran mereka lebih karena melihat Bara yng hampir setiap hari meminta ijin untuk mendatangi rumah Ara.
Seperti tersengat oleh sesuatu, tiba-tiba Papa menanyakan sesuatu,“Oh iya, mengenai rencanamu untuk melanjutkan s2 di Jerman bagaimana? Apakah tetap akan diteruskan atau gagal?”.
Mendengar pertanyaan Papanya yang terdengar mengkhawatirkan dirinya, Bara tersenyum lagi.
“mama, Papa, tenang saja. Insya allah setelah aku lulus langsung ambil s2 di Jerman. Aku sudah mendaftar melalui sebuah agen yang akan membantuku untuk kuliah. Meski bahasa Jermanku belum lancar, namun disana ada kok program s2 yang menggunakan bahasa pengantar bahasa inggris bukan bahasa Jerman. Meski begitu, aku tetap akan mengejar bahasa jermanku supaya tidak kesulitan ketika nanti di sana.”
“Syukurlah kalau begitu. Maafkan Mama dan Papa yang banyak bertanya seperti ini. Bukan karena meragukanmu nak, tapi lebih karena rasa bersalah kami yang akhir-akhir ini seperti membiarkanmu berjalan sendiri tanpa kami bantu. Sudah dua bulan lebih sejak kamu mulaisibuk menemani Ara terapi, kita jadi jarang ngobrol. Akibatnya, kami tidak tahu rencanamu ke depannya bagaimana, padahal hal ini sangat menentukan masa depanmuterutama kesehatanmu, Nak.” Jelasa papa pada Bara diiringi anggukan setuju mamanya.
“Gak apa-apa Pa, Ma. Maafkan aku juga Pa, Ma, yang sudah lama tidak menyediakan watu luang untuk sekedar mengobrol. Aku terlalu banyak mencurahkan perhatianku pada Ara sehingga melupakan kalian termasuk Ratih.” Bara segera memeluk kedua orang tuanya dengan sekali rengkuhan. Ternyata ia sangat merindukan pelukan mereka.
“Cie yang lagi pelukan, aku ikut dong.” Goda Ratih mengagetkan ketiga orang yang sedang berpelukan di ruang tamu dihadapan sebuah kotak persegi panjang yang memandangi mereka dalam keheningan.” Iya nih, gara-gara kaka sering sibuk, kita jadi jarang ngobrol deh. Aku kangen omelan kaka,” keluh Ratih sambil menaruh pizza yang dibawanya.
Ratih segera memeluk kakak laki-laki satu-satu yang ia sayangi. “Sepertinya feeling aku hari ini sedang bagus, jadi tidak rugi aku beli pizza untuk memperingati hadirnya kaka diacara makan malam hari ini,” lanjut Ratih sembari membukabox pizza dan membagi-bagikan pizza diatas piring lepek kecil-kecil.
“asyik, makasih adikku sayang. Kamu memang adikku yang paling cantiksedunia,”gombal bara sambil menggoda Ratih yang sedang sibuk memotong-motong pizza.
“Duh, sejak kapan kak Bara pandai merayu?”ejek Ratih dengan tatapan mata penuh selidik.
“hahaha….” Tawa pun menggema di ruang keluarga. Kehangatan suasana membuat mereka berempat tampak sangat bahagia. Sembari menghabiskan pizza yang terasa lebih nikmat kali ini, mereka saling bercerita mengenai banyak hal yang selama ini mereka sangat jarang bercengkrama karena kesibukan mereka masing-masing.

***
Sore keesokan harinya, ketika Bara sedang membahas mengenai perkembangan Ara selama mengikuti terapi bersama kedua orang tua Ara, tampak oleh Bara bila kedua orang tua ara tampak sangat bahagia. Mereka menyadari bila terapi yang dilakukan meski lama dan berulang-ulang ternyata membawa banyak perubahan baik pada ara.
Ara yang awalnya mengalami kesulitan tidur, selalu bermimpi buruk ketika tidur, ia sudah bisa memulai tidur bila kantuknya menyerang. Mimpi-mimpi buruk yang selalu mengganggunya, kini seakan tidak pernah lagi menghampiri.
Sikapnya yang menjadi mudah kaget, dan selalu ketakutan bila melihat orang lain telah bebeberapa hari ini mulai terlihat berubah. Bila ada tamu dari ibu-ibu dilingkungan rt dan rw nya menjenguk, Ara tidak lagi bersikap menghindar, meski belum bisa seperti dulu yang banyak tersenyum setidaknya ara tidak lagi menjauhi kerumunan orang.
Namun sikapnya yang berubah selalu terlihat rapuh, dan berubah menjadi pribadi yang lain, yaitu pribadi yang sangat tertutup dan pemalu belum lah dapat hilang. Ara yang sebelumnya membuat semua orang dalam keluarganya menjadi ikut menderita karena merasakan penderitaan Ara yang sangat dalam. Kini setelah menjalani terapi, semua gejala yang ara alami mulai menghilang satu demi satu.
Namun, meski belum sepenuhnya Ara kembali seperti sedia kala, tapi perubahan yang kearah baik itu membuat kedua orang tua ara menjadi lebih bersemnangat dan berpengharapan besar jika putri tunggal mereka akan dapat sembuh seperti sedia kala.
Ayah dan ibu ara merasa mereka berhutang sangat banyak pada Bara, mereka yakin bila tidak ada satupun yang bisa membayar segala kebaikan yang Bara berikan pada keluarga mreka.
“Ayah, ibu, jangan pernah dipikirkan untuk membalasa semua bantuan saya. Saya ikhlas, semua yang saya lakukan ini adalah semata-mata karena rasa sayang saya pada ARa,” jelas Bara pada mereka. Mendengar jawaban Bara itu, mereka sebagai orang tua hanya bisa berharap dan berdoa agar bara bisa menjadi menantu mereka dikemudian hari.

Kekasih yang Tak TersentuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang