Bab XIV

9 3 0
                                    

Bab XIV:
Wajah Bara terlihat pucat, sesampainya di rumah ia langsung masuk ke kamarnya tanpa berkata apapun pada anggota keluarga lainnya. Beruntung kali ini, hanya ada bi Inem, asisten rumah tangga yang telah puluhan tahun mengabdi pada keluarga Bara. Melihat Bara datang dengan wajah seperti melihat sesuatu yang menakutkan, Bi Inem segera mengejarnya.
“Mas Bara, ada apa? Kenapa wajahnya pucat? Apakah Mas sakit? Bibi ambilkan apa?” tanya Bi Inem sembari mengikuti Bara yang berjalan menuju kamarnya.
Meski merasa terganggu dengan kecerewetan Bi Inem, namun demi menghormatinya, Bara hanya tersenyum. Setelah akhirnya lelah dengan perkataan Bi Inem yang menyuruhnya makan, akhirnya Bara mengiyakan perintah bibi yang disayangi oleh seluruh keluarga itu. Diiyakannya perkataan Bi Inem, akhirnya dengan senyuman, Bi Inem bergegas pergi ke dapur dan menyiapkan makanan.
Tok…tok…tok…
“Mas Bara, ini bibi bawa makanan untuk Mas…”
Bara segera membuka pintu kamarnya mendengar teriakan Bi inem, diambilnya nampan berisi makanan dari tangan Bi Inem. “Makasih Bi,”
***
Sejak pulang dalam keadaan kacau, Bara tidak pernah menampakkan wajahnya di kampus, beruntung mahasiswa semester delapan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyelesaikan KTI nya. Awalnya ketika mendengar perkataan Ara, Bara sangat marah dan menganggap Ara egois dan tidak betul-betul mencintainya. Ara hanya merasa kasihan padanya. Hingga suatu saat, Savitri, ibunda Bara mempertanyakan keadaannya.
“Nak, kamu kok tidak pernah kuliah? Bolos atau bagaimana?” selidik wanita berumur mendekati 50 tahun yang masih terlihat cantic itu.
“Semester delapan banyak mengerjakan KTI Bun, jadi tidak banyak kegiatan di kampus Bu. Setelah seminar KTI, ngurus wisuda dan langsung mengurus coassisten Bu,” jelas Bara. “Memangnya kenapa Bun?” bara balik bertanya.
“kamu akhir-akhir ini sering di rumah dan wajahmu terlihat lelah. Ibu kira kamu bolos karena lelah,”
“Hahaha…gaklah. Ini pusing bikin laporan KTInya, aku harus cepat selesai supaya bisa mengejar wisuda juli ini, September semoga aku sudah bisa coass Bu, aamiin.”
“Aamiin, Oh iya ngomong-ngomong teman wanitamu, Ara bagaimana kabarnya? Kalian masih berhubungan?” selidik ibu. Sebagai seorang ibu filling Savitri kuat, ia merasa bila anaknya sedang ada masalah dengan Ara. Hal itu terbukti ketika mendengar nama Ara disebut, wajah Bara sontak berubah seratus delapan puluh derajat. Bara yang awalnya terlihat berbinar-binar ketika membicarakan kemajuan penelitian untuk KTI nya mendengarnya menyebut nama Ara menjadi kusam. Tampak kesedihan dan kemarahan terpancar dari wajah tampannya.
Bara tidak segera menjawab pertanyaan ibunya, lidahnya kelu. Baru kali ini, ia tampak menderita, membuat ibunya semakin bertanya-tanya ada apa dengan putera semata wayangnya itu.
“Nak, ada apa? Coba ceritakan, ibu ingin mendengar,’ pinta ibu sambil merengkuh kepala anaknya kedalam pelukannya.
Merasa nyaman dengan hal itu, Bara segera menceritakan seluruh masalah yang dihadapinya. Di ceritakannya bagaimana sikap Arad an perkataan terakhir Ara yang ia dengar di taman medika yang membuatnya hancur.
Mendengar cerita puteranya, Savitri terdiam sejenak. Ia berusaha mencerna segala perkataan Bara dan sikap Ara pada Bara. Setelah berhasil memahami masalah yang terjadi, Savitri pun tersenyum dipandanginya wajah Bara yang tiba-tiba tidak bersinar lagi, sinar matanya menjadi redup seperti tidak bersemangat, raut wajahnya memancarkan kesedihan yang mendalam.
“Sekarang kamu bagaimana Nak? Masih tidak menerima perlakuan Ara? Mengapa tidak kamu balik saja jika kamu menjadi Arad an Ara menjadi kamu? Bisakah kamu bayangkan?” ucapa Savitri berusaha bijak. “Ibu tidak membela Ara dan juka mau meski kamu anak Ibu. Tapi kalau kita berpikir secara jernih, tentu permasalahan yang awalnya terasa berat dan menyesakkan akan terlihat lebih terang.”
Bara menanggapi perkataan ibunya dengan menganggukkan kepalanya, sebagai seseorang yang memiliki intelegensia cukup tinggi, Bara akhirnya dalam waktu sekejap mampu memahami apa maksud perkataan ibunya. Wajahnya yang suram kembali bercahaya, ia merasa telah tercerahkan oleh perkataan ibunya itu.
Melihat wajah Bara yang kembali bersinar, Savitri pun tersenyum. “Gimana? Sudah mengerti maksud ibu? Sekarang, Bara bisa mengambil langkah yang baik untuk melakukan apa yang sebaiknya Bara lakukan dalam menyikapi permasalahan ini. Ibu tidak ingin ikut campur terlalu dalam. Ibu percaya Bara bisa menyelesaikan dan mengambil sisi positifnya. Sekarang kamu fokus ke kuliah kamu dan sembari berusaha mencari cara untuk dapat menyembuhkan penyakitmu, atau paling tidak mengurangi efeknya. Ibu percaya, jodoh tidak kemana. Bila Ara memang jodohmu dan mencintaimu, ia akan kembali dan akan menjadi milikmu.” Nasehat Savitri panjang lebar.
Wajah Bara terlihat lebih ceria setelah mendengar nasehat panjang lebar ibunya. “Iya Bu, terima kasih. Ibu memang the best deh,” ucap Bara sambil memeluk erat ibunya. “Mengenai penyakitku, aku sudah pernah menghubungi seorang profesor dari jerman Bu, doanya saja Bu,” jelas Bara membuat mataibunya terbelalak.
“Betul? Kamu bisa disembuhkan?”
“Insya allah bu, paling tidak seperti yang tadi ibu katakan. Dikurangi efek nya, yak an Bu?” elak Bara sembari tersenyum ceria.
“Alhamdulillah.”
“Alhamdulillah, Bu.” Senyum keduanya terkembang bagai mentari bersinar terang.
“Hayuk kita rayakan kebahagiaan ini. Ibu ajak Ayah dan Ratih dulu. Kamu siap-siap ya Nak,” ajak Savitri sembari keluar dari kamar Bara.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now