Bab X

13 3 0
                                    


Pagi ini tidak biasanya Ara bangun tidur dalam keadaan tersenyum. Diingatnya ketika Bara berhasil membuatnya mengatakan hal yang selama ini selalu mengganggu tidurnya. Ternyata Bara juga mempunyai perasaan yang sama dengannya. Ara kembali tersenyum, jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan.
Setelah membersihkan diri, Ara pun segera menuju dapur, dilihatnya ibunya sedang sibuk memasak.
“Pagi Bu,” sapa Ara mengagetkan ibunya.
“Eh kamu Ra, tumben bangun sudah cantic. Mau kemana minggu begini?” tanya ibunya curiga.
“Ha? Emangya kalau mingu nggak boleh rapi ya Bu? Ya udah Ara tidur lagi aja, nanti sesudah makan,” rajuk Ara. Ia segera membuka kulkas untuk meminum susu cair kesukaannya. Ketika hendak mengambil gelas, tiba-tiba bel rumah berbunyi.
“Ra, coba kamu buka tuh siapa yang pagi-pagi bertamu,” perintah ibunya. “Sebentar lagi ibu sudah beres kok, nanggung,” lanjut ibunya.
“Baik Bu.” Ara bergegas menuju pintu melihat siapa yang datang. Ketika pintu dibuka, Ara terkejut, di hadapannya berdiri sesosok tubuh yang sejak kemarin membuatnya selalu tersenyum karena bahagia. Ya, Bara berdiri dihadapannya dengan menggunakan setelan olah raga, ia tersenyum melihat siapa yang membukakan pintu untuknya.
“Assalamu’alaikum Ra,”
“Wa’alaikumsalam, Bara. Ada apa kamu sudah pagi-pagi di sini?”
Bara tidak langsung menjawab pertanyan Ara, diamayi gadis yang sudah membuatnya uring-uringan selama beberapa minggu terakhir. “Kamu selalu cantic begini setiap pagi?” tanya Bara membuat wajah Ara memerah.
Mereka berdua hanya berpandang-pangan dan salim melempar senyum membuat ibu yang udah selesai memasak bingung, siapakah yang sudah bertamu namun belum dipersilahkan masukoleh Ara.
“Ra, kenapa tamunya belum kamu suruh masuk. Siapa sih tamunya?” tanya Ibu mengagetkan Ara yang masih tertunduk membuat Ara terlonjak.
“Oh Bu, ini teman Ara Bu,” jawab ara tergagap.
“Assalamu’alaiku, selamat pagi tante, saya Bara. Saya teman Ara,” Bara memperkenalkan diri.
“Oh, nak Bara. Silahkan masuk, Ra, kok kamu diam saja. Ayo sana ambilkan Nak Bara minum,” perintah Ibunya membuat Ara tersadar dari lamunannya.
“Baik Bu, Bara ayo silahkan masuk. Silahkan duduk, aku ambilkan minum dulu ya..” pintanya.
“Gak usah Ra,” tolak Bara. “Maaf Bu, boleh saya mengajak Ara berolah raga pagi ini?” pinta Bara pada Ibu Ara.
Ibu Ara segera menatap Bara, ia terlihat kaget mengetahui anak gadisnya memiliki seorang teman laki-laki yang begitu tampan dan tampak percaya diri. Wanita berusia hampir lima puluh tahun itu segera menatap wajah Bara yang tampak sungguh-sungguh.
“Ibu sih boleh saja, apakah Aram au atau tidak terserah Ara ya Nak. Tapi sepertinya Ara sudah tidak sabar,” goda wanita berambut sebahu itu. Ia segera tersenyum melihat putrinya memberengutkan wajahnya karena kesal telah ia goda.
“Sudah sana jangan cemberut gitu, minum dulu susu mu,” perintah ibunya. “ Nak Bara mau minum apa?” tanya Savitri lagi.
“Gak usah Bu, terima kasih banyak,” jawab Bara dengan sopan.
Tidak berapa lama kemudian Ara telah siap, ia merasa beruntung telah mandi pagi ini. “BU, aku pamit pergi dulu ya,” ucap Ara sambil mencium tanga ibunya. Hal itu juga diikuti oleh Bara, membuat ibu Ara semakin menyukai teman Ara itu.
“Assalamu’alaikum,” ucap Arad an Bara.
“Wa’alaikumsalam, hati-hati ya Nak Bara. Ibu titip Ara,” pinta wanita itu lagi.
“insya allah Bu.” Mereka berdua pun segera meninggalkan rumah sembari berlari kecil.
“Kita ke arah taman menteng yuk,” ajak Bara. Ara hanya menggangguk, ia yang jarang berolah raga tampak mulai kepayahan meskipun baru sebentar mereka berlari. Ara awalnya berusaha mengikuti kecepatan Bara berlari, namun baru sebentar Ara sudah menyerah. Gadis itu segera memperlambat larinya, Bara pun segera berhenti begitu mengetahui Ara agak tertinggal.
Melihat wajah Ara yang memerah, dan nafasnya yang terenggah enggah membuat Bara merasa kasihan, “Kamu jarang olah raga ya?”
“Iya, senin-sabtu belajar aja aku sudah cukup kelelahan. Hari minggu aku ingin beristirahat yaitu tidur seharian,” ucap Ara sambil mengurut kakinya yang mulai terasa pegal.
“maafkan aku, kita jalan saja kalau begitu.” Ajak Bara sambil menggenggam tangan Ara.
Ara memandang tangannya yang digenggam Bara, kehangatan mulai menjalar. Jantungnya semakin berdebar kencang, bara terlihat tidak peduli. Ia berjalan dengan santai sambil terus menggenggam tangan Ara, seakan-akan takut Ara akan hilang darinya bila tidak ia pegang tangannya erat.
“Bara, kamu tidak apa-apa menggenggam tanganku seperti ini? Nanti penyakitmu?” tanya Ara khawatir.
“Jangankan hanya bengkak di tangan, bengkak di seluruh tubuh pun sanggup aku jalani asalkan bersamamu,” ucap Bara sambil tersenyum.
“Gombal,” sahut Ara tersenyum malu.
Tidak berapa lama kemudian sampailah mereka di Taman menteng, tampak ratusan orang memenuhi taman itu dengan segala macam kegiatan yang mereka lakukan. Ibu-ibu tampak sedang mengikuti instruktur senam yang memberi contoh dengan semangatnya. Anak-anak kecil asyik bermain dengan sepeda atau dengan sepatu roda mereka. Banyak pasangan muda seperti Ara dan Bara lebih memilih untuk menikmati makanan yang dijajakan oleh ratusan tenda. Ara dan Bara segera memilih  tenda makanan yang tampak tidak begitu penuh sesak, mereka memilih untuk sarapan ketoprak, makanan khas betawi.
Setelah selesai menikmati makanan, mereka terlihat asyik mengobrol hingga tidak menyadari bila sepasang mata tampak mengamati mereka dengan tatapan tidak suka.
“Assalamu’alaikum…Ayah, Ibu, aku pulang…” ucap Ara ketika sampai di rumah. Setelah pagi yang menyenangkan itu, Ara diantar pulang oleh Bara. Ketika Bara hendak masuk ke dalam rumah untuk pamit, tiba-tiba saja telepon Bara berbunyi. Ibu Bara mengabari bila nenek Bara masuk rumah sakit dan meminta Bara untuk segera pulang ke rumah karena akan segera berangkat ke Bandung mengunjungi neneknya.
“Wa’alaikumsalam…Lho temanmu tadi, siapa namanya Bara? Kemana dia?” tanya ibu sambil mengerutkan keningnya.
“Tadi bara mau pamit dulu ke ibu dan ayah, tapi tiba-tiba dia mendapat telepon dari ibunya. Neneknya di bandung masuk rumah sakit, ia harus segera pulang karena harus berangkat ke Bandung, Bu.”
Mendengar penjelasan Ara, ibunya mengangguk tanda mengerti. Ia segera menyuruh Ara duduk, tampaknya ibu sudah tidak sabar ingin menginterogasi Ara. Menyadari hal itu, Ara menjadi sedikit khawatir. Ia takut hubungannya dengan Bara yang baru beberapa hari tidak disetujui oleh ayah dan ibunya. Namun ternyata kekhawatirannya itu terlalu berlebihan, orang tuanya ternyata orang yang berpandangan luas. Menurut mereka, Bara terlihat sebagai sosok yang baik dan bertanggungjawab, sehingga kedua orang tuanya tidak takut bila Ara berhubungan dengan Bara.
“Terima kasih Bu, Ayah, sudah memberi ijin kami,” ucap Ara segera memeluk ibunya.
‘Hei, sudah sana. Kamu mandi dulu, sadar gak sih kalau kamu bau?” goda ibunya.
“Iya nih, pantas ada bau-bau asem.” Goda ayahnya membuat suasana menjadi ramai.
“Ya udah, aku mandi dulu ya Yah, Bu.”
Ara segera menuju kamarnya untuk bersiap membersihkan diri.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now