Bab XX

9 2 0
                                    


Ara membuka hpnya, dilihatnya penunjuk waktu yang tertera dalam hp nya itu. Desahan kesal keluar dari bibir mungilnya, ‘betul-betul menyebalkan,” erangnya.
Ara segera menekan tuts pesan, ‘sudah sampai di mana?’ tanyanya
Terlihat pesannya hanya centang satu, berarti sinyal sedang tidak bersahabat dengannya. Tiba-tiba pikirannya menerawang, sejak kejadian di café sebulan yang lalu, ia dan Arka menjadi lebih dekat. Meski belum sekalipun Arka memintanya untuk menjadi pacarnya, tetapi kedekatan mereka nyata dan membuat beberapa orang menjadi iri padanya. Meski Ara sendiri bingung denagan status nya.
“hai, sudah lama?” tanya Arka yang tiba-tiba sudah ada disebelahnya menepuk bahunya.
Ara yang sedang sibuk memikirkan tugas akhirnya kaget mendapat tepukan tiba-tiba di bahunya. Diliriknya peananda waktu dihpnya, setengah jam sudah ia menunggu Arka, waktunya habis percuma. Namun ia tidak mampu menumpahkan kekesalannya, karena ia merasa bukan siapa-siapa. Wangi musk dan cigarette mengampiri penghidunya, wangi yang berbeda.
“Lumayan, cukup bagiku untuk menyelesaikan membuat kata penutup bagi karya tulisku, ujar Ara sinis.
“Maafkan, tadi tiba-tiba saja ada rapat BEM untuk pelaksanaan opspek tahun ajaran mendatang. Aku didaulat sebagai ketua pelaksana OPSPEK, gak mungkin kan aku kabur ditengah-tengah rapat.”
Ara terdiam, mungkin ia memang bukan siapa-siapa bagi Arka, namun ia pun butuh pengertian dari Arka. Dihelanya nafas panjang, kesal akan keadaan yang kini menjeratnya.
Melihat Ara yang masih diam, Arka pun menjadi merasa bersalah. “Karena kesalahanku, besok malam ikut aku ke pesta ulang tahun teman yuk. Mau ya?” pinta Arka dengan tatapan tak bersalah.
Ara menatap Arka tidak mengerti, maksud Arka mengajaknya nanti malam. Bila mereka pergi ke tempat pesta ulang tahun teman Arka, berarti mereka akan memproklamirkan diri sebagai sepasang kekasih? Padahal sampai detik ini, Arka belum memintanya untuk menjadi kekasihnya.
Menyadari  tatapan Ara, Arka segera memegang tangan Ara. “Setelah sekian lama bersama. Apakah kini kamu sudah bisa menerimaku dengan segala kekurangan aku?” 
Tanpa bisa berkata banyak, Ara memandang tangannya yang berada dalam genggaman tangan Arka. Meski ia masih ragu akan ketulusan Arka, namun ia akan berusaha menerima laki-laki itu agar ingatannya pada Bara hilang. Ara segera mengangguk, “Iya,” jawabnya sambil tersenyum.
“Makasih Ra, besok aku jemput kerumahmu ya? Kini aku sudah boleh kan kerumahmu?” pinta Arka.
“Boleh,” seiring anggukan Ara.

***
“Hari ini temanmu siapa namanya yang ulang tahun?”
“Boby namanya, kenapa?” tanya Arka sembari mengerutkan keningnya.
“Gak ingin tahu aja, kan aku belum pernah berkenalan dengan temanmu. Tenang nanti ada Agnes kok, dia kan temanku juga,” ucap Arka.
“Bukan kenapa-kenapa sih, hanya belum pernah pergi selain dengan Agnes aja, jadi agak kikuk.” Jelas Ara.
Arka menoleh kea rah Ara ketika lampu lalu lintas menyala merah. Ia tersenyum pada Ara, dipegangnya tangan Ara berusaha menenangkan. Melihat wajah Ara yang blushing, ingin rasanya ia menyentuh pipi Ara, namun suara klakson mobil di belakangnya mengagetkan Arka, ternyata lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau.
“huh, ganggu aja,” umpat Arka kesal.
Ara yang menyadari kekesalan Arka segra tersenyum simpul.
“Nah, gitu dong. Kamu cantik kalau banyak tersenyum,” ujar Arka sambil membelai rambut Ara.
“Udah, nyopir aja yang bener, nanti nabrak lho.” Ara memperingatkan Arka agar fokus ke depan. “Eh kita sebetulnya mau kemana sih? Kok jauh banget?”  tanya Ara lagi.
“Kita ke Union nih, maklum anak orang kaya, mainannya beda.” Ucap Arka sembari tersenyum penuh arti. “Kamu tahu kan Union?”
“Tahulah, tempat favorit Agnes tuh,” jawab Ara sembari mengangguk.
“Bukan tempat favoritmu juga?” tanya Arka menyelidik.
“Gak, aku gak suka.” Jawab Ara pasti.
Jawaban Ara itu membuat Arka menoleh. Ia tidak percaya pada pendengarannya, bila sahabat Agnes yang ia kenal suka menghabiskan malam di bar ternyata tidak seperti yang ia bayangkan.“Ha?”
Ara mengangguk-angguk dengan pasti. Membuat ARka menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.
***

Waktu telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ara merasa dirinya sudah mulai tidak nyaman akan keberadaannya di tempat itu. Meski ia tadi sempat bercengkrama dengan Agnes sebelum akhirnya ditinggal gadis berambut sepundak itu untuk ke lantai dansa. Ara melihat kearah penanda jam di hpnya, ia telah beberapa kali dihubungi oleh ibunya dari menanyakan keberadaannya hingga kapan ia akan pulang.
Setelah berusaha mencari Arka ditengah kerumunan orang-orang yang semakin menggila, Ara akhirnya menyerah, ia memutuskan untuk pulang sendiri dengan menggunakan taksi, karena baik Arka maupun Agnes tak seorangpun yang bisa ia mintai tolong mengantarnya pulang. Sebelum pulang, Ara memutuskan ke toilet terlebih dahulu, di sanalah akhirnya ia bertemu dengan Arka yang sedang dalam keadaan mabuk.
Ara yang tidak menyadari akan adanya bahaya, segera mendekati Arka. “Ka, bisa anterin aku pulang? Sudah malam nih,” pinta Ara tanpa memperhatikan bila Arka sudah dalam keadaan tidak lagi menjadi dirinya.
“Eh kamu Ra, nanti aku anter kok. Tapi temani aku dulu yuk, keruangan itu.” Ajak Arka setengah menyeret ARa. Setelah mereka berdua masuk kedalam sebuah ruangan, tiba-tiba saja Arka mengunci ruangan itu. Ara yang tiba-tiba menyadari akan adanya bahaya, segera berteriak meminta Arka membuka pintu.
“Teriaklah sesukamu, tidak aka nada yang mendengar teriakanmu.” Ucap Arka dengan senyum yang terlihat mulai menakutkan.
“Ka, tolonglah. Kamu mau apa, ayuk kita pulang, sudah malam. Ibuku sudah menyuruhku pulang.” Pinta Ara dengan perasaan mulai takut.
“Ha? Siapa yang mau pulang? Kita nikmati saja mala mini di sini, kamu kan kekasihku. Nggak apa-apa dong kita bersenang-senang sedikit?” racau Arka mulai mendekati Ara. Tangannya mulai menggerayangi Ara.
“Please  Ka, jangan Ka,” rintih Ara semakin ketakutan.
Entah setan apa yang membuat ARka semakin hilang kendali, mendengar suara Ara, ARka tidak menghentikan tindakannya, tapi ia seperti semakin menggila. Ara yang semakin ketakutan segera mendorong Arka yang mendekatinya. Meski Arka terlihat sempoyongan, tapi ternyata kekuatannya tidaklah berkurang. Arka menarik tangan Ara dengan keras, sehingga baju Ara bagian depan robek memperlihatkan kulit Ara yang mulus.
Melihat Ara yang terlihat menggiurkan, Arka semakin bernafsu, didorongnya Ara kearah sofa sembari merobek bajunya. Ara pun berteriak minta pertolongan, meski sepertinya hal itu sia-sia. Dengan sisa-sia tenaganya, Ara berusah mendorong tubuh Arka yang berusaha menindihnya, tiba-tiba terdengar suara keributan diluar ruangan.
Ara seperti mendengar namanya disebut oleh seseorang dari luar ruangan. Ara segera berteriak-teriak memanggil nama bara tanpa sadar.
Bruk..
Tiba-tiba terdengar pintu ruangan itu didobrak, “Ra…Ara…” samar-samar terdengar suara Bara sebelum kesadaran Ara menghilang. “Ra…” kegelapan tiba-tiba menyelimutinya.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now