Bab 26

10 3 0
                                    


Sejak akhirnya mereka bersama, dunia terasa lebih indah bagi Ara. Ia menyadari bila Bara memang laki-laki yang ia inginkan, meskipun awalnya membenci, tapi jodoh tidak kemana.
Ara memandang wajah tampan Bara yang sedang serius membaca di hadapannya. Meski mereka sering sekali seperti ini, bediam diri tanpasepatah katapun menemani pertemuan-pertemuan mereka, namun Ara menerima itu. Ia merasa hal ini lebih baik, daripada mereka berpisah.
Akhirnya setelah sekian lama berdiam diri, sambil membaca sebuah buku berbahasa Jerman, Bara pun mengangkat kepalanya. Ia tersenyum,”Kenapa memndangiku? Ganteng ya aku?” goda Bara sambil tersenyum penuh percaya diri.
“Ih siapa yang bilang kalau kamu ganteng, GR,” elak Ara dengan kesal. Sejak mereka kembali bersama lagi beberapa minggu terakhir ini, ia baru tahu akan ke narsisan kekasihnya itu. Meski dalam lubuk hatinya mengakui bila Bara memang sosok yang tampan dengan wajah bersih, alis tebal, hidung mancung, bibi dengan senyuman bak malaikat, dan ditambah dengan tatapan setajam elang tidak ada seorangpun yang akan mengatakan bara buruk rupa. Namun, mengakui hal itu di depan Bara langsung, tentu akan membuat kekasihnya itu besar kepala. ‘Huh…’pikir Ara kesal.
“Ehm kamu sejak kapan belajar bahasa Jerman?” tanya Ara berusaha mengalihkan perhatian.
Bara yang ditanya segera menyadari maksudnya mengajak Ara bertemu siang ini di café favorite mereka itu. Ditatapnya wajah cantic di hadapannya itu, “Ra, aku ingin berbicara serius kali ini. Aku harap kamu jangan memotong dulu apa yang akan aku sampaikan.” Bara segera meminum air putih yang tersedia di meja, setelah merasa kerongkongannya tidak lagi kering, ia pun mulai berbicara.
“Ra, sebelumnya aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membohongimu apalagi membuatmu terluka. Ketika kamu sakit, aku juga berusaha agar aku bisa sembuh dari keadaanku sekarang. AKu merasa tidak berarti bila nanti kamu sembuh dan kita bersama lagi, keadaanku masih seperti ini, tidak bisa kamu sentuh. Aku sadar dan aku sendiri pernah mendengar pembicaraaanmu dengan Agnes mengenai bagaimana hubungan kita bila kita sedang berdua seperti ini. Kamu ingin kita seperti pasangan normal lainnya kan? Paling tidak saling bergandengan tangan?” tanya Bara sambil memandang lurus pada Ara yang tampak memerah wajahnya ketika mendengar ucapan Bara itu.
“Aku juga ingin kita seperti pasangan normal lainnya. Aku ingin memeluk dan menciummu hingga kita berdua kehabisan nafas karena kita saling berebut oksigen.” Kata Bara sambil terus menatap Ara. Kali ini dilihatnya wajah Ara benar-benar telah seperti udang rebus, Ara segera menundukkan kepalanya karena malu.
“Nah, oleh karena itu. Aku berusaha agar aku bisa sembuh. Berkata bantuan salah satu kolega papaku, akhirnya aku disarankan untuk berobat di jerman. Waktu itu, aku berpikir bila akan berobat saja dan langsung pulang kembali ke Indonesia. Namun, setelah aku berhasil menghubungi professor yang akan membantuku sembuh. Aku harus tinggal lama di Jerman agar bisa melakukan banyak rangkaian test sebelum dilakukan terapi dan setelah dilakukan terapi. Akhirnya, atas saran mamaku, aku akan berobat di Jerman sekalian melanjutkan kuliah s2 di sana. Hanya dua tahun Ra,’ ucap Baramengakhiri pidatonya yang panjang lebar. Bara kembali meminum habis air putih yang ada di dekatnya, ia merasa lega telah mengeluarkan segala unek-unek dalam pikirannnya, baginya ia akan menerima apapun segala keputusan Ara kali ini.
Ara terdiam mendengar penjelasan Bara, ia merasa harus berpikir dengan tenang dulu dan mengunyah satu-persatu informasi dari Bara sebelum mengambil keputusan. Karena ia tahu bila ia gegabah dan memututskan sesuatu dalam keadaan marah, hasilnya tidak baik. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. “Kamu melakukan itu semua karena mencintaiku?” tanya Ara sambil berusaha mencerna perkataan Bara. Ditatapnya Bara yang langsung mengangguk-angguk menyetujui apa yang ditanyakannya.
“Iya, semua aku lakukan karena aku mencintaimu.” Ucap Bara mantap.
Mendengar hal itu, Ara mengangguk-angguk. “Berarti, kalau kamu ke Jerman dan itu pasti, kamu akan meninggalkan aku selama setahun, setahun hubungan kita akan LDR? Sampai aku lulus dan bisa mengikutimu ke sana?” tanya Ara sembari terus berpikir. Bibirnya mengerucut tanda ia betul-betul sedang berpikir membuat Bara ingin menyentuh bibir Ara yang membuatnya gemas.
“Aku masih harus menyelesaikan apa yang telah aku tinggalkan selama ini terlebih dulu, sebelum bisa mengikutimu, hem…aku berarti harus belajar bahasa Jerman,” ucap Ara tanpa sadar.
Mendengar perkataan Ara, Bara pun tersentak kaget, ia segera tersenyum menyadari perkataan Ara itu. “Ra, kalau aku sudah berhasil menjalani pengobatan dan hasilnya memuaskan. APakah kamu mau menikah dengan ku?” tanya Bara tiba-tiba.
“APaan sih Ra? Kok jadi ngajak nikah begini?” tanya Ara terkejut, wajahnya tampak memerah kembali. “Kalau ngajak nikah tuh ya, dimana-mana bawa cincin dong, masa gak baw apa-apa…” ejek Ara sambil terus menennagkan hatinya yang berdebar-debar tak menentu mendengar lamaran Bara.
“Aku kan belum pernah memegang tanganmu dengan benar dan belum pernah pacaran dengan orang lain. JAdi wajar dong aku tidak tahu harus berbuat apa ketika melamar seorang gadis cantic sepertimu,” elak Bara malu. “Kalau soal cincin, ila kamu setuju dengan permintaanku, kiat beli cincinnya sekarang juga,” tantang Bara lagi.
Ara tanpa berpikir panjang segera mengganggukkan kepalanya.
“Apa itu maksudnya? Kok cuman ngangguk, aku gak ngerti Ra,” ucap Bara menggoda.
Ara dengan wajah memerah segera menjawab, “Ya Ra, aku mau menjadi istrimu, kapan kamu siap.”
Mata Bara segera berpendar bahagia, “Yuk ah, kita ke toko berlian di di jalan sabang, sekarang,” ajak Bara sambil melambaikan tangan tak sabar kea rah pramuniaga meminta bil pesanan mereka. Setelah membayar dan memberikan tips yang cukup besar Bara segera mengajak Ara menuju parkiran mobil. “Ayo sayang, kita beli sesuatu yang bisa mengikat hatimu padaku selamanya,” ucap bara.
Ra, jangan keras-keras bicaranya. Aku malu, tuh banyak yang melihat kita,” ucap Ara sambil terus tersenyum bahagia, wajahnya yang memerah menambah canti ara sore ini.
“Biar, senmua orang harus tahu, bila kita sedang berbahagia,” elak Bara tidak ingin kebahagfiannya hilang.

***
Ara memandangi cincin di jari mnisnya sebelah kiri, sebuah cincin cantic bertatahkan berlian 2 karat pemberian Bara melingkari tangannya itu. Meski sempat menolak karena merasa terlalu mewah, namun, pemberian Bara tidak mampu ia tolak. Karena menurut Bara, hati Ara bahkan masih lebih berkilau daripada cincinnya.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now