Bab XV

8 2 0
                                    


Dua minggu setelah keputusan Ara yang dilakukan secara sepihak itu, Bara mendatangi rumah Ara. Ia ingin memastikan apakah Ara mau menarik kembali perkataannya atau tidak. Bara datang sore hari, kebetulan hari itu kedua orang Ara sedang berada di rumah. Ayah Ara, Pak Kim yang membukakan pintu ketika Bara datang.
“Assalamu’alaikum, Pak, Bu,…”
“Wa’alaikumsalam, ohn Nak Bara. Silahkan masuk, sudah lama tidak main kesini Nak. Tapi Aranya sedang pergi dengan Agnes, semoga sebelum magrib sudah pulang. Apakah Nak Bara mau menunggu atau tidak?” jawab ayah Ara dengan senyuman khasnya ketika melihat Bara datang.
“Oh, pergi sudah lama? Pak, Ara perginya?”
“Lumayan lama sih, tadi sekitar jam 2 an dijemput Agnes,” sahut ibu Ara yang datang sembari membawa nampan berisi cangkir-cangkir the.
“Ah kalau begitu saya tunggu saja Pak, Bu, boleh?” tanya Bara dengan sopan.
“Boleh, kalau begitu temani bapak bermain catur ya. Kamu bisa?” tanya laki-laki berwajah oriental penuh harap.
“Bisa pak, mari saya siapkan,” kata Bara
Tak lama kemudian, kedua lelaki itu sudah asyik bermain catur. Bara yang sedang sibuk berpikir tidak menyadari bila ayah Ara sedang memandanginya.
“Nak, kenapa kamu jarang main ke sini. Tahu kalau kami sepintar ini bermain catur, ayah pasti akan ngajak tanding terus,” seloroh ayah Ara sambil terkekeh-kekeh.
“Yah itu kan maunya ayah, ayah senang bila punya orang yang bisa melawannya.” Kata ibu Ara dari seberang ruangan.
“Kenapa Nak? Kok diam saja,” desak ayah Ara lagi.
“Sebetulnya, kedatangan saya kemari untuk menanyakan pada Ara tentang perasaan dia kepada saya Pak,” jawab Bara dengan tenang.
Perkataan Bara yang memiliki arti ganda itu membuat ayah Ara kaget, pionnya yang hendak dimakan oleh Bara luput dari pengawasannya, akibatnya Bara berhasil memakan pion terakhir miliknya. “Maksud Nak Bara apa? Kenapa berkata seperti itu? Saya jadi bingung.”
“sebetulnya dua minggu yang lalu, Ara memutuskan saya Pak. Entah dengan alasan apa, saya kurang mengerti. Saya anggap perkataan Ara itu karena dia sedang lelah dan mulai bosan dengan saya, jadi saya beri dia kesempatan untuk berpikir, hari ini saya bermaksud menanyakan lagi pada Ara.”
Ibu Ara yang mendengar perkataan Bara dari seberang ruangan segera mendekati Bara. “Maafkan kami tidak tahu tentang masalah ini Nak, semoga Ara bisa melihat bahwa di hadapannya sudah ada mutiara. Jangan sampai ia membuangnya sia-sia,” ucap wanita cantic itu sambil menatap Bara dengan sayang.
Ayah dan ibu Ara terlihat menjadi agak sungkan pad Bara setelah Bara mengatakan tujuannya datang. Mereka terlihat menyesali sikap anaknya yang tidak berpikir dan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.
“Pak, Bu, maafkan saya. Sya tidak bermaksud membuat bapak dan ibu menjadi seperti ini. Meski mungkin nanti Ara menolak saya, ijinkan saya untuk tetap bisa menemani bapak main catur dan merasakan masakan ibu yang enak-enak,” pinta Bara dengan tulus.
Mendengar perkataan bara, kedua orang tua Ara segera mengelus punggung Bara sambil tersenyum mengiyakan. Mereka tidak menyadari bila sejak tadi Ara mendengar semua pembicaraan mereka. Ara sengaja tidak memberi salam, ketika melihat mobil Bara terparkir di depan rumahnya. Menyadari bila Bara ternyata sudah dianggap anak oleh kedua orang tuanya, membuat hati Ara terasa hangat. Namun, ia masih takut untuk kembali bersama Bara.
“Assalamu’alaikum…” ucap Ara mengagetkan tiga orang yang sedang berada di ruang tengah tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Ayah Ara tampak muram, ia tidak bernafsu lagi meneruskan permainan caturnya. Meskipun ia sudah yakin akan tetap kalah, namun mendengar perkataan Bara tadi ia sudah merasa kalah lebih dulu.
“Wa’alaikumsalam,” jawab ibu dan Bara bersamaan.
“Nak, saya ke kamar dulu ya. Sepertinya saya tiba-tiba kurang enak badan,” ucap lelaki paruh baya yang masih tampak gagah itu. Ia menepuk punggung Bara sebelum meninggalkannya tanpa sempat menjawab perkataannya.
“Baru pulang kamuRa? Mana Agnes?” tanya ibu sedikit gelagapan.
“Agnes langsung pulang bu, karena sudah malam katanya,” jawab Ara sambil menunduk tidak mau menatap Bara yang terus mengawasi tingkah lakunya yang mendadak kaku.
“Nak, ibu mau meneruskan membereskan masakan dulu ya, apa mau ditambah minumnya?” tanya ibu mengalihkan perhatiannya pada Bara.
“Oh tidak bu, gak usah. Kalau kebanyakan minum nanti saya kembung bu,” tolak Bara sambil tersenyum pada wanita berambut pendek itu.
“Ra, temani NAk Bara ya, dia sudah menunggumu lama,” perintah ibunya sambil berlalu kearah dapur.
“Silahkan duduk Bara,” pinta Ara dengan kakunya. Ia merasa tidak enak telah membuat semua harapan orang tuanya menjadi punah.
Bara dan Ara mengambil posisi duduk yang bersebrangan, keduanya tampak seperti orang yang tidak saling mengenal. Bara terus menatap Ara sedangkan Ara menunduk menatap meja di depannya. Sepuluh menit berlalu, keheningan menyelimuti mereka berdua.
Akhirnya Bara pun memutus keheningan itu, “ Kamu dari mana? Kenapa tidak minta aku antar?” tanyanya dengan lembut.
Suara Bara yang lembut, membuai angan Ara. Ia teringat kembali akan sikap dan perlakuan Bara selama mereka bersama. Meski sempat merasa goyah dan ingin kembali pada Bara, tetapi perasannya menolaknya. Ara kemudian mengangkat kepalanya, dipandanginya wajah dihadapannya, mata Bara yang sejuk selalu membuatnya ingin tenggelam disana.
“Untuk apa aku memintamu mengantarku? Bukankah kamu masih ingat status kita?”
“Ra, apa salahku hingga kamu menginginkan kita putus?” tanya Bara sedih.
“Salahmu adalah karena kamu tidak salah. Kamu selalu benar dan baik, hal itu membuatku seperti terasa tercekik..” teriak Ara tiba-tiba.
“Maaf bila aku membuatmu tidak nyaman Ra. AKu kira, aku mampu membuatmu nyaman bersamaku, ternyata aku salah,” Wajah Bara memperlihatkan kesedihan mendalam.
Melihat hal itu, Ara berusaha menahan butiran bening yang mengancam akan keluar dari sudut matanya. “Maafkan, terima kasih pernah mencintaiku. Beri aku waktu untuk dapat melupakanmu.” Terdengar suara Ara yang seperti tercekik ketika mengatakan hal itu, ia kemudian setengah berlari meninggalkan Bara yang termangu di ruang tengah rumahnya.
Sepeninggalan Ara, Bara masih tidak percaya bila Ara betul-betul meninggalkannya. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya, sorot matanya begitu menderita, membuat siapapun yang melihatnya mengerti penderitaan batin yang baru saja ia alami.
“Nak Bara, kamu baik-baik saja? Ini air putih, minumlah untuk menenangkan diri.” Perintah ibu Ara sambil menyodorkan segelas air putih pada Bara. Bara segera menghabiskan air itu, seakan berusaha menghilangkan dahaga yang tiba-tiba menyeruak hingga ketenggorokannya. “Kamu baik-baik saja Nak?” lanjut Wanita itu. “Maafkan Ara yang sudah menyakiti hatimu ya Nak, semoga Ara lekas sadar akan kesalahannya Nak, berdoalah.”
“Terima kasih Bu, saya pulang dulu. Rasanya tiba-tiba badan saya seperti tidak punya tenaga.” Keluh Bara tiba-tiba.
“Biar kamu diantar pulang sopir kami ya Nak, nanti dia bisa pulang pakai ojeg.”
“Iya bu, maafkan bila merepotkan.” Jawab Bara menyetujui saran yang diberi oleh perempuan dihadapannya itu.

Kekasih yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now