44. Ikhlas

60 14 6
                                    


Seluruh pasien dan pembesuk yang berada di lorong rumah sakit sontak terkejut dan membekap mulut lantaran baru saja menyaksikan seorang laki-laki yang terkulai lemas diatas brankar dorong dilarikan masuk ke rumah sakit dengan tubuh berlumur darah. Sepanjang perjalanan darahnya tak henti mengalir mengotori lantai putih bersih rumah sakit.

Wajahnya yang tegas kini menampilkan warna pucat pasi. Pasien kecelakaan lalu lintas dengan luka berat di bagian dada dan perut membuat tim medis dengan cepat menangani pasien akibat perdarahan yang tidak kunjung berhenti.

Suara peralatan medis mulai memenuhi ruangan operasi. Para dokter terlihat fokus pada tugas masing-masing.

Dari ujung lorong, derap langkah dengan irama cepat memenuhi indera pendengaran.

"Sus, korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi kisaran pukul 11 pagi dibawa ke ruangan mana sus?" Tanya Bian dengan napas memburu.

"Sebentar ya pak kami cek dulu."

"Korban kecelakaan lalu lintas atas nama Janandaya Vaden dibawa ke ruangan operasi pak karena mengalami luka serius."

Bian mengusap kasar wajahnya lalu menghela napas berat.

"Terima kasih, sus."

●●●

Sedikit demi sedikit cahaya mulai menerobos masuk ke matanya yang sayu. Dinding berwarna putih menjadi fokusnya membuat perempuan yang tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit itu menyernyit.

"Aini ada dimana umi?"

Farida yang baru saja sadar bahwa putrinya telah sadar pun tak henti mengucap syukur.

"Alhamdulillah sayang kamu sudah sadar. Aini sekarang ada di rumah sakit. Tadi Aini pingsan jadi Abi langsung bawa Aini kesini."

"Alhamdulillah, kamu sudah baikan, nak?" Tanya Haris yang baru saja datang.

"Iya abi."

Memegang kepalanya yang sedikit masih terasa pusing. "Vaden gimana keadaannya umi?"

"Kamu engga usah khawatir sayang. Bian udah kesana buat nengokin Vaden," jawab Farida.

"Terus kuliah Aini gimana Abi?"

"Engga gimana gimana kok anak cantik nya abi," tangan Haris perlahan mengusap kepala putrinya dengan lembut.

"Maafin Aini karena udah ngecewain abi dan umi," ujar Aini.

"Engga ada yang kecewa sayang. Tadi abi sudah menghubungi pihak penyelenggara beasiswa, katanya Aini diberikan kesempatan untuk berangkat gelombang kedua pekan depan."

"Alhamdulillah ya ALLAH. Terima kasih abi."

"Sama-sama sayang. Hari ini Aini harus banyak istirahat, abi mau ke bawah urus administrasi dulu."

Aini menggenggam tangan Haris yang baru saja akan beranjak.

"Kenapa, nak?"

"Aini mau jenguk Vaden abi. Aini mau liat kondisi dia," pinta Aini.

Haris menggeleng. "Kesehatan Aini lebih penting."

"Tapi Aini engga kenapa-napa abi. Aini cuma kaget aja. Sekarang udah sehat, kok. Aini mohon abi," pinta Aini.

Haris terseyum lalu mencoba bernegosiasi. "Besok aja yah nak. Hari ini istirahat dulu, besok baru boleh jenguk Vaden."

Aini menghela napas pasrah. Walau ia sangat ingin bertemu dan memastikan kondisi Vaden, Aini tetaplah seorang anak yang harus mendengarkan perkataan orang tuanya.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang