37. Dejavu

49 13 4
                                    


"Pokoknya ninik harus ketemu sama perempuan yang kamu suka, gus. Enggak ada alasan lagi!" Ujar Ariti.

"Nanti pasti Vaden segerakan, kok, nik."

"Nanti-nanti mulu. Nantinya kapan?"

"Kapan-kapan," jawab Vaden usil.

"Jangan bercanda! Ninik serius."

"Ya ampun, nik. Beberapa hari ke depan Vaden enggak bisa. Vaden ikut turnamen jadi latihan terus sampai sore," ucap Vaden.

"Izin sehari kan bisa," ujar Ariti enteng.

"Enggak di izinin pasti sama Pak Yanu."

Ariti meraih remot yang ada di dekatnya, lalu mematikan televisi.

"Mana sini nomor pak Yanu. Biar ninik yang bicara."

Vaden terbelalak. Niniknya ini kalau sudah mau sesuatu, harus diturutin.

"Yaudah iya lusa Vaden ajak Aini kesini," ujar Vaden pasrah.

Dahi Ariti mengkerut. "Aini? Bukannya Natha?"

Vaden berdecak. "Emang Vaden pernah bilang Natha? Nik, udah berapa kali sih Vaden bilang. Natha itu udah Vaden anggap adik sendiri. Enggak mungkinlah Vaden suka sama dia. Suka sebagai adik mah iya."

Ariti menghela napas. "Kamu enggak usah ajak dia kesini. Kita makan malam diluar aja, gus" ujar Ariti sebelum bangun dari duduknya.

"Kok tiba-tiba berubah nik tempatnya?"

"Kamu enggak usah protes, gus. Udah sana kamu tidur udah malam."

●●●

"Jadi kamu mulai belajar kelompok untuk persiapan UN ?" Tanya Vaden usai memasukkan sate ke dalam mulutnya.

Aini mengangguk. "Bian yang ngasih tau?" Tebak Aini.

Setelah Vaden mengangguk, Aini menghela napas. Bian benar-benar mulut rombeng. Hal tidak sepenting itu pun ia laporkan kepada Vaden.

"Ada siapa aja?" Tanya Vaden.

"Banyak."

Vaden meletakkan satu tusuk sate yang tadinya ia pegang.

"Kamu kenapa? Kok jadi jutek. Aku ada salah?" Tanya Vaden sangat hati-hati. Namun hanya dibalas gelengan oleh Aini.

"Aku mau tanya sesuatu sama kamu," ujar Aini.

"Tanyain semua yang mau kamu tau. Aku bakal jawab."

"Kemarin kegiatan kamu apa aja?" Tanya Aini berpura-pura santai sambil terus memakan sate yang ada di hadapannya.

Vaden terkekeh. "Aku kira kamu mau nanya apa."

"Sama seperti dua hari yang lalu. Latihan, terus istirahat," jawab Vaden.

Aini hanya mengangguk.Vaden tidak jujur kepadanya.

"Tapi pas aku mau pulang, Natha nelpon terus nangis-nangis. Kondisinya sama seperti waktu itu kamu liat aku di taman bareng Natha. Dia itu sering dapat tindak kekerasan oleh ayah tirinya, jadi aku harus selalu ada buat dia," jelas Vaden setengah menerawang kira-kira hal apa saja yang ia lakukan kemarin.

Aini kembali mengangguk. Walau hatinya masih sakit, apalagi saat Vaden mengatakan ia harus selalu ada buat Natha. Tapi, setidaknya Vaden berkata jujur. Itu yang membuat Aini sedikit tenang.

Saat perempuan bertanya, sebenarnya sembilan puluh sembilan persen fakta telah ia genggam. Tujuannya bertanya bukan untuk mencari jawaban, tapi kejujuran.

BimbangWhere stories live. Discover now