2. Shalwa Izzatunisa Syiffa

482 53 31
                                    


Shalwa mulai membereskan beberapa perlengkapan menulisnya setelah mengerjakan makalah dengan banyak halaman sekitar tiga puluh-an di ruang keluarga bersama Aini.

Perempuan dengan piyama bercorak bintang-bintang itu melirik jam dinding. Ternyata sudah menunjukkan pukul 21.00.

Shalwa baru saja akan membawa laptop dan perlengkapan menulis lainnya ke dalam kamar, namun kehadiran Farih membuatnya terkejut.

'Sejak kapan Farih berdiri didekat Televisi ? Kok dia senyum senyum gitu ?Dia liatin apa ? Aku ?' pertanyaan itu seolah menari di pikiran Shalwa.

"Farih ? Kamu ngapain disana ? Ngagetin orang aja," tanya Shalwa dengan nada terkejut

"Maaf kalau kamu kaget. Aku cuman iseng keluar kamar aja, sih," jelas Farih.

Untuk malam ini, keluarga Farih memang akan menginap di rumah Shalwa. Berhubung karena mereka baru saja pindah dan belum sempat membereskan barang-barang. Lagian, orang tua Shalwa dan orang tua Farih adalah sahabat dekat. Jadi, tidak canggung lagi jika mereka saling berbagi.

"Kamu udah sholat isya belum ?," tanya Farih ketika ia sudah duduk di sofa

Shalwa hanya mengangguk mendengar pertanyaan tersebut

"Rih.."

"Shal.."

Seperti layaknya di film film memang, namun jujur saja, mereka betul-betul tidak sengaja bersamaan membuka suara.

Mereka sempat saling pandang, lalu tersenyum hingga suara Shalwa yang terdengar pertama kali menginterupsi.

"Kamu aja duluan yang ngomong," ujar Shalwa.

"Enggak enggak, kamu duluan aja ngomongnya," elak Farih.

Shalwa lalu mengangguk lagi.

"Kalau enggak merepotkan, anter aku ke minimarket depan, ya. Ada yang mau aku beli," pinta Shalwa

"Elah Shal, bahasanya. Santai aja kali hehe. Aku anter pokoknya kemana aja," canda Farih

"Ishh nyebelin Farih mah," rajuk Shalwa

"Gemes banget akutuh, Shal. Pengen nyubit pipi kamu sampe kamu nangis kejer kayak dulu lagi," ejek Farih dengan tatapan mengejeknya yang selalu sukses membuat Shalwa kesal bukan main

"Sekarang udah enggak boleh tau, aku udah gede. Gaboleh dicubit cubit," sergah Shalwa

"Iya aku paham, kok. Yaudah sana simpen laptopnya dulu. Katanya tadi mau pergi, aku tungguin disini," kata Farih

Shalwa lalu berjalan keatas kamarnya dengan membawa laptop. Tidak tau kenapa, bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum sejak tadi.

〰〰

"Mobil baru, Rih ?" tanya Shalwa begitu ia duduk didepan, bersebelahan dengan Farih

"Mobil abi. Aku masih nyaman pake motor kesayangan aku," jawab Farih

"Ohmmm," angguk Shalwa. "Oh, iya. Tadi kamu mau ngomong apa ?" tanya Shalwa begitu teringat bahwa tadi Farih sempat ingin berbicara sesuatu di ruang keluarga.

"Gak mau ngomong apa-apa, kok" jawab Farih

Karena Shalwa lagi malas berdebat, jadi ia hanya mengiyakan saja, lalu memalingkan wajahnya mengahadap ke jendela.

Lampu merah. Shalwa sedang sibuk mengamati wajah anak-anak malang dengan pakaian yang kurang layak menawari satu persatu mobil yang tengah berhenti untuk membeli tissunya.

Lamunan Shalwa terhenti tatkala suara Farih tertangkap oleh inderanya

"Eum... Yang tadi, teman kamu ?" tanya Farih

Shalwa masih enggan mengalihkan pandangannya. Bukan karena Shalwa malas menjawab ataupun tidak dengar. Melainkan hati kecil Shalwa merasakan sesuatu yang berbeda. Semacam rasa sakit, ah atau lebih tepatnya cemburu. Mungkin.

"Shal, kamu liatin apa sih ?" tanya Farih kembali ketika merasa tak di respon

"Eh gak liat siapa-siapa, kok. Tadi kamu nanya apa ?" tanya Shalwa dengan senyuman yang sangat lebar. Senyuman yang mampu mengelabui siapa saja yang melihatnya. Terlihat sangat tulus, namun hakikatnya terluka.

"Enggak nanya apa-apa, kok. Lupain aja, lagian gak penting juga," jawab Farih ikut tersenyum

"Oh, okey," jawab Shalwa malas

〰〰

Langit bertabur bintang. Angin menyapa lembut tiap tiap permukaan kulit. Saling melempar tawa, hingga tak terasa bulir air mata menetes saking bahagianya.

Farih dan Shalwa masih enggan mengakhiri cerita masa kecilnya yang konyol, kocak, tapi menyenangkan.

Masa pertama kali Farih bertemu Shalwa saat mereka masih Paud. Farih yang sejak awal gemas melihat pipi chubby Shalwa tak bisa menahan diri untuk tak mencubitnya.

Usai mereka berkenalan, Farih kecil dengan wajah polos tanpa dosanya dengan cepat mencubit kedua pipi Shalwa dengan tangannya, tak mempedulikan wajah Shalwa yang memerah menahan sakit.

Saat itu Shalwa sudah mengatakan sakit berulang kali. Tapi entah Farih tak mendengar atau justru memang tak peduli, bukannya menghentikan aksi tidak berperikemanusiaannya ia malah semakin keras mencubit pipi Shalwa.

Merasa teraniaya, Shalwa lalu menarik paksa tangan Farih untuk lepas dari pipinya. Dengan perasaan balas dendam yang menggebu gebu ia lalu membawa tangan Farih ke mulutnya. Lalu menggigitnya hingga Farih menangis sangat kencang. Apalagi setelah melihat tangannya yang menjadi korban gigi taring Shalwa. Bekas gigitan Shalwa sangat dalam ditambah kulit tangan Farih yang sedikit mengelupas membuat Farih semakin mengencangkan tangisnya. Tapi, Shalwa justru tertawa.

"Aduh perut aku sakit tau enggak ingat itu semua," kata Shalwa masih memegang perutnya sambil tertawa

Farih hanya menanggapinya dengan tawa.

Kalau saja penjual jagung itu tidak membawakan pesanan mereka. Mungkin mereka tidak akan berhenti tertawa.

"Mbak, mas. Ini pesanannya"

"Oh, iya pak. Makasih," balas Farih ramah

"Udah Shal, ketawanya simpen dulu. Ini makan dulu," tambah Farih

Shalwa lalu mengangguk, "Makasih ya, Rih"

Farih hanya tersenyum. Sangat manis. Sangat tulus. Membuat Shalwa tak bisa menahan senyumnya.

Farih meluruskan tangannya. Meletakkannya diatas kepala Shalwa yang tertutup hijab. Lalu mengelusnya pelan. Sambil tersenyum, Farih berkata "Aku seneng banget, Shal"

Shalwa hanya tersenyum, sangat lebar saking senangnya.

Dan malam itu, menjadi malam terbahagia untuk Shalwa. Dipertemukan kembali dengan sosok yang telah lama ia rindukan.

Akhtar Al-Farih. Sahabat masa kecilnya yang mampu membuatnya nyaman.

Hanya ALLAH dan Shalwa yang tau. Perasaan perempuan cantik yang tengah mengenakan piyama bercorak bintang-bintang malam itu.

TBC

BimbangWhere stories live. Discover now