25. Menyesal

69 17 10
                                    


Walau Vaden sempat menyesali perbuatannya pada Aini, tapi ia tetap menemani Natha untuk, ya, setidaknya menghirup udara segar.

Vaden memutuskan untuk mengunjungi cafe outdoor di dekat kota. Sangat pas untuk mengobrol, tidak terlalu ramai dan tidak juga sepi.

Mereka duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja bundar yang di atasnya sudah ditempati kopi panas dan jus mangga sesuai pesanan mereka.

Vaden menurunkan penutup kepala hoodie itu yang hampir menutupi sebagian wajah Natha.

Laki-laki itu lalu menyingkirkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah Natha ke belakang telinga perempuan yang sedang duduk dihadapannya itu.

"Nath..." ujar Vaden. Namun, Natha sepertinya masih enggan mengeluarkan suara.

"Luka kamu parah," ujar Vaden lagi. Ibu jarinya mencoba mengusap dengan lembut pipi Natha membuat sang empunya meringis.

"Awhh... Sakit," rintih Natha.

"Aku tau. Dari keliatannya udah bisa ketebak."

Vaden sedikit memajukan tubuhnya. Memperhatikan dengan seksama bekas tamparan di pipi sebelah kiri Natha. Kemudian beralih pada jidat Natha yang meninggalkan darah kering.

"Ayah tiri kamu udah keterlaluan, Nath. Dia harus dilaporin ke pihak berwajib." ujar Vaden sungguh-sungguh.

"Jangan. Aku enggak mau." Natha menggeleng. Tentu ia tidak akan melakukannya.

"Nath..."

"Vaden, kamu tau alasannya, 'kan?" ujar Natha setelah memegang tangan lebar Vaden yang masih betah memegang pipinya.

"Ibu kamu lagi?," tanya Vaden. Tentu Vaden tau. Semua yang terjadi pada Natha, Vaden tau.

Natha menunduk. Sedetik kemudian perempuan itu menangis lalu mengangguk lemah.

"Aku enggak mau dibenci ibu aku." ucap Natha terisak.

Natha menarik salah satu kursi di dekat Vaden, ia memutuskan untuk duduk disana. Sedetik kemudian perempuan itu memeluk Vaden dari samping. Sangat erat. Seolah Vaden adalah sumber kekuatannya.

Vaden membalas pelukan itu. Ia menepuk pelan punggung Natha.

Bersama Vaden, Natha merasa aman. Natha merasa terlindungi.

Vaden adalah segalanya bagi Natha. Vaden adalah sumber kekuatannya.

Hanya Vaden yang selalu ada ketika Natha membutuhkan bahu untuk bersandar. Hanya Vaden yang selalu mengusap rambutnya kala ia lelah. Hanya Vaden yang bersedia meluangkan sebanyak apapun waktunya untuk mendengarkan Natha berceloteh. Hanya Vaden ... yang menyayangi nya dengan tulus.

Setelah Natha sudah cukup tenang, perempuan itu mendongakkan kepalanya. Matanya bertubrukan dengan mata sayu Vaden.

"Tetap seperti Vaden yang aku kenal. Jangan tinggalin aku, ya?"

"Aku janji."

●●●


Farih, Altan, Bian, dan Angga sedang berjalan di koridor. Seperti biasa, mereka akan ke kantin untuk mengisi perut.

"Prajurit Bian ada tebak-tebakan nich sahabat." Oke, kali ini Bian sedang mode alay.

"Wah... Apaan tuh sahabat ?," timpal Angga.

"Efek abis liat mv nya Kekeyi nih pasti," ujar Altan sambil terkekeh.

"Iri bilang sahabat," kata Farih membuat ketiga temannya melongo.

BimbangWhere stories live. Discover now