5. Ada yang rindu, tapi bukan Dilan.

265 43 7
                                    


Pagi ini, murid kelas XII IPA 1 sedang berada di lapangan, karena saat ini memang jam pelajaran olahraga.

Materi kali ini adalah voli. Setelah pak Ahmad mencontohkan gerakan passing atas dan passing bawah, masing-masing siswa diberi satu bola voli untuk berlatih

Aini yang memang dasarnya kurang dalam materi voli harus berusaha keras.

Walau tak jarang saat ia melakukan passing bawah, bolanya melambung kebelakang atau terlempar sangat jauh.

"Mukulnya gak usah terlalu kencang, Aini. Lengannya diayunkan cukup sampai setinggi bahu," jelas pak Ahmad pada Aini.

Aini mengangguk "iya pak. Saya coba lagi"

Aini terlalu bersemangat, hingga pada saat mencobanya kembali, bolanya malah melambung kebelakang dengan keras.

Untung saja bolanya tidak sampai mencelakai orang-orang yang sedang berjalan disekitar lapangan, karena seseorang telah menangkapnya lebih dulu

"Fa--Farih ?" Aini bertanya pada dirinya sendiri

Farih terlihat menyodorkan bola itu ke arah Aini, lantas membuat perempuan itu sedikit berlari ke tempat Farih berdiri sekarang.

Saat berdiri di depan Farih, Aini mematung ditempat, ia tidak maju ataupun mundur. Farih yang melihat sikap Aini pun hanya terkekeh geli.

"Bolanya, kan ?," tanya Farih sambil menyodorkan bola itu kedepan

Aini hanya mengangguk "iya" katanya. Lalu mengambil bola itu dari tangan Farih tanpa menyentuh tangan laki-laki itu sedikitpun.

Farih mungkin belum terlalu dekat dengan Aini sampai gerak geriknyapun sudah hafal. Tetapi, Farih tentu tau bahwa sikap Aini yang sekarang disebabkan oleh perbincangan mereka kemarin di Mushollah.

Farih terkekeh. "Kalau sama aku kok kamu jadi pendiam gitu ?" Tanya Farih usil

"Bukan pendiam. Tapi malu" jawab Aini jujur

Farih terbahak "Gausah malu kali. Misteri helm itu kan cuma ALLAH, aku sama kamu yang tau"

"Itu kan, kamu ngetawain" cicit Aini

"Yaudah yaudah maafin aku, ya ?"

Aini hanya mengangguk

"Jadi sekarang kita berteman ?" Tanya Farih penuh harap

Aini lalu mengangguk. "Kalau gitu, aku ke lapangan dulu yah. Assalamu'alaikum" Pamit Aini lalu segera berlari ke lapangan.

Lagi. Aini berhasil membuat Farih tersenyum dengan tingkahnya. Berhasil sedikit demi sedikit membuat tempat sendiri dihati Farih.

Tanpa mereka tau, dibalik pembicaraan singkat yang mengundang tawa mereka, ada hati yang sedang terluka. Shalwa melihat keakraban mereka dan entah kenapa matanya memanas. Ia ingin menangis.

●●●

Setelah pulang dari Tabligh Akbar, Aini dan Shalwa memutuskan untuk singgah disalah satu rumah makan.

Mereka makan dengan tenang, sambil sesekali bercerita tentang ilmu yang mereka dapatkan tadi

"Shal, aku mau cerita sesuatu" ujar Aini ketika mereka selesai makan

"Cerita aja nanti aku dengerin kok"

"Aku temenan sama Farih. Engga apa-apa, kan ?" tanya Aini

Shalwa termangu mendengar pertanyaan Aini. Diantara banyaknya topik yang bisa mereka bahas, kenapa harus Farih ?

"Shal..." Aini melambaikan tangannya di depan muka Shalwa. "Kamu kok malah melamun ?"

"E-ehh engga, kok. Kamu nanya apa tadi ?"

"Farih"

"Oh itu. I-iya engga-papa kali. Justru bagus kan kalau kita semua temenan" jawab Shalwa justru mengingkari kata hatinya.

Aini mengangguk. "Anaknya baik, kok hehe"

"Engga usah dijelasin. Aku lebih kenal dia" kata Shalwa diiringi tawa.

Namun, Aini tak paham bahwa itu merupakan tawa yang dipaksakan. Sehingga ia juga ikut tertawa dan menganggap itu hanyalah gurauan.

●●●


Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian malam itu, saat Vaden bertemu dengan Aini. Entah kenapa, Vaden merindukan senyum perempuan itu.

Malam itu, ia tak sempat menanyakan alamat Aini. Hingga beberapa hari ini ia merasa uring uringan sendiri. Ia selalu menyempatkan dirinya untuk melewati tempat saat ia bertemu dengan Aini. Tapi mustahil perempuan itu kesana lagi.

Memang benar kata orang, obatnya rindu adalah jumpa. Namun jika tak bisa jumpa, apa tidak ada penawar lain ?

Vaden pun merasa heran dengan dirinya sendiri. Mengapa ia bisa merindukan perempuan yang baru sekali ia temui ? Vaden bukan penganut teori cinta pada pandangan pertama tapi mengapa seolah itu yang terjadi padanya.

Padahal, jika dipikir ada banyak perempuan cantik di sekolahnya. Ia pun tak usah merasa khawatir atau bersusah payah mendekati mereka satu persatu. Toh, mereka sudah lebih dulu menyukai Vaden.

Dering telepon membuyarkan lamunannya malam ini.

"Halo"

"......"

"Iya bro. Besok pulang sekolah aku datang"

"...."

"Yoo"

●●●

Seusai sholat maghrib, Aini, Umi dan Abinya berkumpul di ruang keluarga. Kebiasaan mereka memang, menunggu waktu shalat Isya.

"Gimana sekolah kamu, Ni ?," tanya abinya

Saat ini mereka duduk di sofa yang sama, Aini duduk ditengah-tengah antara umi dan abinya seraya memeluk pinggang uminya dari samping

"Alhamdulillah baik, Bi. Abi bagaimana pekerjaannya ?"

"Alhamdulillah baik juga sayang. Oh iya, abi mau ngucapin terima kasih sama Aini," tutur Abi Haris

Aini menyernyitkan keningnya, bingung. "Terima kasih buat apa abi ?"

"Karena sudah konsisten sampai sekarang tidak pacaran"

Aini yang mengerti betul arah pembicaraan abinya, memilih untuk mengangguk patuh "Insya ALLAH, abi. Doakan Aini, yah"

"Pasti sayang, abi dan umi akan selalu mendoakan yang terbaik untuk putri besar yang masih manja ini" Kali ini Umi Farida yang berbicara sambil mencubit gemas hidung Aini. Aini membalas perlakuan Uminya dengan memeluknya erat.

"Gak mau peluk abi ? Dari tadi perasaan umi terus yang dipeluk ?"

Aini terkekeh "apaansih abi cemburuan deh". Lalu beralih memeluk pinggang abinya dari samping.

"Umi gak diajak pelukan ? Umi juga cemburuan loh," kata umi Farida dengan bibir yang sengaja di monyong monyongkan

"Iya umi, iya. Ayo sini," kata Haris

Mereka berpelukan dengan sayang, seperti menyalurkan perasaan masing-masing.

"Abi engga ngelarang Aini buat dekat dengan siapapun. Asal Aini bisa jaga diri dan tau batasan" kata Haris menasehati Aini lalu mencium pucuk kepala putri semata wayangnya.

"Tetap seperti ini, ya. Aini sayang sama umi dan abi"

●●●

TBC
VOMENT NDEEEE

BimbangTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon