22. Random

71 17 3
                                    


Malam ini terlihat pemandangan yang jarang terjadi. Biasanya, selesai makan malam I Putu Abirama- kakeknya akan langsung bergegas ke ruang kerjanya meninggalkan Vaden dan Ariti berduaan di ruang keluarga.

Tak ada yang tau pasti apakah Abirama habis terbentur atau mulai lupa akan kebiasaannya itu, sehingga ia ikut berkumpul dan melupakan pekerjaannya.

"Rumah makan kamu bagaimana, gus ?," tanya Abirama setelah duduk di sofa depan televisi.

"Lancar, kak. Pemasukan stabil." Vaden memang biasa memanggil kakeknya dengan sebutan pekak yang ia singkat menjadi 'kak'.

Abirama mulai mengganti saluran televisi, mencari tayangan berita yang menarik untuk disimak. "Kamu enggak berniat buat buka cabang baru ?."

Sebelum menjawab pertanyaan kakeknya, Vaden menyempatkan diri untuk mengambil segelas susu yang di sodorkan oleh neneknya.

Sedangkan kopi untuk Abirama, Ariti letakkan diatas meja.

Vaden mencium pipi Ariti yang duduk tepat di dekat nya sambil mengucapkan terima kasih.

Vaden yang merasa Abirama masih menunggu jawabannya pun memperbaiki posisi duduknya. "Vaden ada rencana buat buka cabang di Bandung, kak. Cuma belum sekarang. Mungkin nunggu Vaden selesai ujian dulu."

"Kamu harus pintar-pintar liat peluang, gus. Lihat kondisi sekarang, orang-orang lagi senang-senangnya ke kafe. Coba kamu pikirkan itu. Kalau kamu jadi buka kafe nanti peresmiannya undang beberapa artis terkenal supaya jadi daya tarik."

Vaden mengangguk setuju. Kalau urusan seperti ini, memang kakeknya lah jagonya.

"Menurut pekak, Vaden bagusnya buka rumah makan dulu atau kafe ?."

"Terserah kamu, gus. Kalau modal kamu cukup, kamu bisa rancang itu secara bersamaan. Lagian, kan, setiap cabang kamu sudah tunjuk manager area. Jadi kamu bisa fokusin diri dulu buat rencana kamu."

Lagi-lagi Vaden menyetujuinya. "Vaden pikirkan dulu, kak."

Abirama menyesap kopinya yang masih panas. "Kamu harus pandai mengelola keuangan dan belajar bisnis, gus. Supaya perusahaan bisa kamu ambil alih nanti dan enggak perlu dipegang orang lain."

"Iya, kak. Vaden akan berusaha."

●●●

Sekolah dibubarkan lebih cepat hari ini. Bukan tanpa alasan, sekolah mereka akan dipakai untuk melaksanakan rapat antar sekolah mengenai rencana akan diadakannya olimpiade beberapa mata pelajaran untuk kelas X dan XI.

"Aku ikut ke rumah kamu, ya, Ni. Umi sama Abi lagi ikut Tabligh Akbar hari ini," kata Shalwa.

Walaupun kemarin Shalwa sempat bersedih, namun perempuan itu memilih melupakannya. Karena biar bagaimanapun ia dan Aini sudah lama berteman. Shalwa tidak mau jika pertemanan nya sampai rusak.

Aini mengangguk antusias. "Boleh, abi juga kebetulan lagi enggak di rumah. Jadi, umi sendirian."

Tanpa pikir panjang, Aini dan Shalwa meninggalkan sekolah mengendarai motor. Tentu saja, Aini yang membonceng karena Shalwa tidak bisa mengendarai motor.

Tak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya Aini dan Shalwa sudah sampai di pekarangan rumah Aini.

"Assalamu'alaikum umi," ujar Aini membuka pintu dan mempersilahkan Shalwa masuk.

"Wa'alaikumussalam. Eh nak Shalwa, masuk, nak."

"Iya, tante," ujar Shalwa.

"Kalian kok pulang cepat ?," tanya Farida lagi.

BimbangWhere stories live. Discover now