32. Don't Be Afraid

76 16 7
                                    


Jika benar takut kehilangan adalah tanda mencintai. Maka aku telah mencintaimu.

🌸

Vaden baru saja selesai mengantar Natha ke rumah temannya. Seperti dugaannya, Natha kembali mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ayah tirinya.

Sebelum melajukan kembali motornya, Vaden menyempatkan untuk melihat ponselnya. Ia menghela napas panjang. Aini masih belum membalas pesannya. Bahkan, puluhan telpon tak sekalipun perempuan itu angkat.

Akhirnya, Vaden memutuskan untuk kembali ke masjid terakhir kali mereka bertemu. Mungkin saja Aini masih disana. Namun lagi-lagi sosok yang ia cari tak ada.

Bersamaan dengan rasa bersalahnya, motornya melaju dengan cepat. Vaden memutuskan untuk pulang, ia akan menghubungi Aini ketika ia sampai di rumahnya.

Walau sebenarnya hatinya berkata lain. Ia sangat ingin mengunjungi rumah Aini dan memastikan keberadaan perempuan yang tengah mengisi hatinya itu baik-baik saja.

Tetap saja, Vaden tidak harus mengikuti hatinya untuk saat ini. Sekarang sudah malam. Sudah hampir pukul 20.30 WIB, sungguh mustahil jika Vaden nekat menghampiri rumah Aini.

Terlebih, Abinya Aini sedang berada di rumah. Tentu Vaden tidak mau bila Haris berpikir macam-macam tentang dirinya.

Saat Vaden tengah asik mengendarai motor, matanya tidak sengaja menangkap pemandangan yang tidak baik-baik saja.

Tepat di depan matanya, seorang perempuan berhijab sedang berusaha menarik tasnya dari dua orang laki-laki berbadan besar yang Vaden duga adalah pencopet.

Walau wajahnya tak terlalu jelas, Vaden menduga perempuan itu sudah kepala tiga atau kepala empat.

Dengan sigap, Vaden segera turun dari motor dan menghampiri mereka.

Sial, pencopet itu ternyata adalah musuh kenalannya. Begitu Vaden sampai sebuah bogeman mentah mendarat dengan apik tepat di pipi sebelah kanannya.

Beruntung, Vaden masih bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak ambruk ke tanah.

"Wih masih hebat ya kau," ujar salah satu preman tadi.

"Bang Wisnu aja udah insaf. Kalian enggak?" tanya Vaden.

"Halah banyak omong !"

Bugh...
Bugh...
Bugh...

Perkelahian sudah tak bisa dihindari. Walau sejago apapun Vaden menguasai ilmu bela diri, tetap saja keadaan sekarang sangatlah tidak imbang. Apalagi, lawannya bukan orang biasa. Malah, dua preman tadi juga merupakan karateka di tempat Vaden dulu.

Saat preman tersebut merasa kewalahan, dengan cepat Vaden merebut kembali tas berwarna coklat milik perempuan itu.

Vaden berjalan sempoyongan ke arah perempuan itu. Jujur saja ia hampir kehilangan kesadaran. Mungkin efek pukulan dua orang preman tadi.

Perempuan itu meraih tas nya. Ketika matanya sudah berhasil menangkap siapa orang yang telah menyelamatkannya, matanya terbelalak. Ia sungguh tidak menyangka ternyata laki-laki itu adalah putranya. Putra kandungnya.

"Vaden?" tanyanya dengan suara meninggi.

Tangannya yang sedikit mulai menampakkan keriput menelusuri wajah putranya yang babak belur. Tanpa sadar, air matanya mengalir begitu deras.

Tak bisa dipungkiri bahwa Vaden pun merasa sama terkejutnya. Ketika pandangan mereka bertemu...

"Shhh arghhhhhh," rintihan Vaden membuat Daliya terkejut melihat lengan putranya bercucuran darah.

BimbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang