46. Kembalinya Aini

58 13 3
                                    


4 tahun kemudian

Perempuan dengan gamis hitam dan jilbab berwarna mocca itu terlihat sedang melangkah memasuki rumah dengan abinya yang membawa koper di sampingnya.

"Assalamu'alaikum umi cantik," ucap Aini begitu ia membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam warohmatullah."

"AINI! YA ALLAH ANAK UMI," teriak Farida sontak ketika melihat putrinya merentangkan tangan di ambang pintu.

"Aaaa Aini kangen banget sama umi," ujar Aini yang berada di pelukan uminya.

"Umi jauhhhh lebih kangen sama Aini."

"Ih umi kok nangis?"

Farida melepas rengkuhannya dan beralih menangkup pipi putrinya, "Gapapa, sayang. Umi cuma terharu dan bangga banget punya anak yang sholehah seperti Aini. Selamat ya sayang gelarnya semoga berkah dan dapat bermanfaat untuk kemaslahatan ummat."

Aini mengangguk, "Aamiin ya robbal alamin."

Haris ikut tersenyum bahagia. "Sudah sudah kok pada nangis. Sekarang kita masuk dan makan malam. Umi sudah masak, kan?"

Farida mengangguk. "Ayo, ayo kita makan malam sekaligus merayakan kepulangan putri kecil kita."

"Yeay, akhirnya Aini bisa makan masakan umi lagi. Kangen banget empat tahun gapernah icip icip masakan umi."

●●●

Sudah dua jam berlalu tapi Aini masih betah mengamati setiap sudut rumahnya. Aini telalu merindukan suasana rumahnya. Ah, dan Aini baru sadar beberapa-atau bahkan banyak- perubahan di rumahnya. Mulai dari cat rumah yang seingat Aini sebelum ia pergi masih berwarna biru tapi sekarang berubah menjadi warna krem. Ada juga posisi televisi, lemari, bahkan sofa juga sudah berubah.

"Engga capek mondar mandir liatin rumah?" Tanya Haris yang sejak tadi memperhatikan putrinya.

Aini cengengesan di tempatnya. "Abisnya Aini kangen banget sih sama rumah ini. Abi pasti belum tau kan, pas awal awal sampe di Kairo Aini tiap malem nangis pengen pulang karena rindu sama abi sama umi. Untung disana temen-temen Aini selalu ngehibur Aini dan ngasih semangat."

"Oh, iya? Kok umi engga cerita sama abi."

"Gimana mau cerita, orang Aini aja engga ngasih tau umi."

Haris merentangkan tangannya. "Sini-sini peluk dulu." Tangan Haris beralih mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Terima kasih, ya, sayang. Terima kasih karena Aini sudah mau menuntut ilmu agama dengan benar dan membuat bangga umi dan abi."

Aini mengeratkan pelukannya, air matanya menerobos untuk keluar. "Aini kangen banget dipeluk abi kayak gini."

"Abi... abi udah ngomong belum sama Aini?" Tanya Farida.

"Astaghfirullah, abi sampai lupa."

"Mau ngomong apa, bi?" Tanya Aini.

"Duduk di sofa dulu. Abi mau ngomong serius."

"Iya, abi?" Tanya Aini sekali lagi ketika ia sudah duduk di samping Haris sedangkan Farida duduk di samping kiri Aini.

"Aini, sekarang usianya sudah 23 tahun, kan?" Tanya Haris yang dijawab anggukan oleh Aini.

"Kira-kira menurut Aini, Aini sudah siap menikah belum?"

Aini sontak membulatkan matanya lebar-lebar.

Aini tidak salah dengar, kan?

"M-maksud abi?"

"Begini sayang, dengar abi dulu, ya. Dua hari sebelum kamu pulang ada laki-laki yang datang ke rumah untuk melamar kamu. Akhlaknya masya allah bagus, anaknya sopan, dia juga sudah punya pekerjaan yang insya allah sanggup menafkahi Aini."

BimbangWhere stories live. Discover now