45. Catatan Vaden

46 14 12
                                    


"Aini udah berangkat tadi siang," ujar Bian yang baru saja memasuki ruangan.

Vaden mengangguk. "Semoga dia bisa belajar dengan baik disana."

"Ceilah bahasanya gitu amat pak. Jelaslah Aini bakal belajar yang bener disana orang dia udah lama nyiapin diri. Aku justru berdoanya tuh semoga kamu bisa hidup tanpa Aini hahahaha,"

"Kurang asem."

"Tapi tenang aja bro. Walaupun kamu engga sempet nganter Aini sampe bandara, tapi semua isi hati kamu udah tersampaikan kok," ujar Bian senyum-senyum tidak jelas.

"Maksudnya gimana? Kamu ada ngasih tau Aini apa? Jangan ngadi-ngadi kamu," jawab Vaden.

"Engga ngasih tau apa-apa elah takut banget."

Vaden hanya mengangguk dan ber 'oh' ria.

"Ninik kemana? Tumbenan engga dateng," tanya Vaden.

"Udah diperjalanan kesini bareng Natha."

"Mau apel engga?" Tanya Bian.

"Boleh deh."

Dengan cekatan Bian mengupas apel dan memotongnya menjadi beberapa bagian kemudian ia letakkan diatas piring kecil.

"Kamu hebat juga ya jadi penulis, engga nyangka aku mantan pembalap gini ternyata curhatnya di buku diary, mana bucin banget lagi sampe ada gambar lope lopenya," ujar Bian membuat Vaden seketika tersedak dan berhenti mengunyah apel.

"Eh curut, jangan bilang kamu abis ngegeledah kamar aku."

"Ya engga begitu juga konsepnya Paijo. Tadi tuh ninik nyuruh aku ngambilin kamu baju soalnya katanya kamu itu engga nyaman pake baju rumah sakit. Eh pas mau ngambil baju BUKU CATATAN HARIAN VADEN engga sengaja jatuh yaudah deh ketahuan kamu suka curhat gaje di buku," jelas Bian panjang lebar.

"BIAN BANGKE!"

"Ett gaboleh ngomong kasar. Aku aduin Aini nanti."

"TERUS SEKARANG BUKUNYA DIMANA? JANGAN BERANI BERANI NGEBACA"

"Engga aku baca kok, serius, suer," ujar Bian panik.

"Tenang dulu ngapasi, pake ngegas segala. Kamu baru sadar kemarin loh, kritis lagi tau rasa," cerocos Bian.

Vaden mencoba tenang, berulang kali laki-laki itu menarik napas lalu menghembuskannya.

"Oke sekarang buku itu dimana? Kamu simpen di tempatnya lagi kan?" Tanya Vaden mencoba menggunakan nada rendah.

Bian berdiri, mengambil ancang-ancang untuk lari.

Laki-laki itu menjentikkan jarinya, "Nah itu dia masalahnya. Di depan buku itu kan ada tulisannya 'Rahasia negara, jangan ada yang baca' nah kamu tau sendiri kan anak jaman sekarang kalau ada kata 'jangan' kita itu kayak penasaran dan merasa tertantang buat baca."

"TERUS KAMU NGEBACA ISINYA?"

"Sabar dulu napa, jangan dipotong kalo orang lagi ngomong. Setelah itu pas aku balik halamannya nah aku nemu tulisan 'tentang perempuan paling spesial, Aini' jadi dengan segala kecerdasan yang aku punya atas dasar inisiatif, buku itu-"

"Buku itu?" Tanya Vaden geram.

Bian mulai mundur seribu langkah membuat ia saat ini berdiri di ambang pintu.

"BUKU ITU AKU KASIH AINI SEBELUM DIA BERANGKAT TADI," teriak Bian sambil berlari keluar meninggalkan Vaden yang Bian yakin sebentar lagi laki-laki itu akan meledak.

●●●


Memakan waktu sekitar 13 jam sebelum Aini sampai di kota seribu menara. Setelah berkeliling dan mendapat beberapa arahan, kini saatnya Aini untuk beristirahat.

BimbangWhere stories live. Discover now