35. Fakta

65 15 6
                                    


"Om santih, santih, santih, om."

Begitulah Vaden mengakhiri puja tri sandya pagi ini. Laki-laki itu memang rutin melakukan sembahyang tiga kali sehari. Setiap pagi sebelum ia ke sekolah, siang hari, dan sore hari.

Sebelum benar-benar berangkat ke sekolah, Vaden menatap sanggah yang ada di depannya sekali lagi lalu tersenyum.

●●●


Sesuai perjanjian, Vaden akan mengikuti apapun rencana perempuan yang ia cintai selama lima hari.

Walau Vaden tau, semua akan berakhir sia-sia. Tapi, Aini begitu keras kepala sehingga mau tak mau ia mengiyakannya.

Hari pertama, Aini merancang pertemuan ibu dan anak itu di sebuah cafe di tengah kota. Aini datang bersama Vaden sedangkan Daliya datang seorang diri.

Daliya mengenakan jilbab berwarna dusty pink membuat ia terlihat lebih muda. Sedangkan Vaden dan Aini masih mengenakan seragam sekolah karena mereka baru saja pulang sekolah.

Saat pelayan datang menanyakan menu yang akan mereka pesan, Aini menjalankan misinya untuk kembali merekatkan hubungan Vaden dan Daliya.

"Permisi, silahkan pesanannya."

"Saya pesan minum aja, mbak. Jus mangga," ujar Aini.

"Saya pesan-" ucapan Vaden menggantung di udara ketika Aini menyelanya.

"Etttt sebentar. Pesanan kamu biar tante Daliya yang pilih. Tante pasti hafal banget sama makanan kesukaan Vaden."

Daliya mengangguk lalu tersenyum. Nampak jelas di mata nya terpancar perasaan gugup.

Vaden berpangku tangan. Menungggu jawaban yang akan keluar dari mulut perempuan yang sedang duduk tepat di hadapannya itu.

Daliya fokus melihat daftar menu makanan yang terpampang di depan matanya.

"Dulu Vaden suka udang goreng tepung sama kerang saus tiram," ujar Daliya membuat senyum Aini merekah. Namun raut Aini berubah seketika usai mendengar perkataan Vaden.

"Sayangnya pas umur 12 tahun Vaden ternyata alergi makanan laut," ujar Vaden.

"M-mungkin ada menu yang lainnya tante," ucap Aini memberi tatapan semangat kepada Daliya.

"Roti bakar selai kacang."

"Vaden enggak suka selai kalau anda lupa," ungkap Vaden.

Daliya menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Merasa kecewa pada dirinya sendiri.

Vaden kemudian memesan minuman lalu memberikan uang seratus ribu kepada pelayan tersebut.

"Anda terlalu percaya diri kalau merasa begitu mengenal Vaden. Anak laki-laki yang sedang duduk di hadapan anda sekarang jauh berbeda dengan anak laki-laki yang dulu pernah anda tinggalkan," ujar Vaden begitu menohok hati Daliya. Bahkan Aini ikut tersentak mendengar kalimat Vaden.

Daliya berusaha menahan cairan bening yang membendung di pelupuk matanya yang sayangnya tak bisa ia tahan. Hatinya terlalu sakit, bukan karena kecewa pada Vaden. Tapi karena sadar, betapa dalam luka yang pernah ia goreskan pada si kecilnya dulu.

Vaden bangun dari duduknya. Meraih kunci mobil diatas meja lalu bermaksud untuk pergi.

"Putra kecil mama suka hujan," kalimat yang terdengar sederhana, namun perlu kekuatan besar sehingga Daliya mampu mengatakannya.

Vaden menoleh. "Berhenti seolah-olah paham tentang Vaden. Saat ini atau bahkan seterusnya anda hanya akan menjadi orang asing di hidup saya."

"Ayo Aini," kalimat terakhir yang diucapkan Vaden sebelum benar-benar meninggalkan cafe ini.

BimbangWo Geschichten leben. Entdecke jetzt