I think I've seen this film before

3.4K 529 191
                                    

—April

"It's been... quite a while"

"Yeah... it does"

Di Starbucks siang ini, kami duduk berhadapan diselimuti kikuk yang tebal menggantung di udara.

Jemariku bergerak ragu memainkan ujung napkin di meja kayu tempat kami duduk. Di hadapanku, Sam, sama ragunya memutar-mutar rokok yang sedaritadi tidak kunjung ia nyalakan. Matanya mendarat di mana pun, tembok, orang yang berlalu-lalang, asbak di tengah meja—apa pun selain mataku.

"Err... bokap gimana, Pril?" Pertanyaan pertama dalam usaha memecah kikuk ini pun akhirnya diluncurkan.

"Sehat... syukurnya" aku menjawab dengan sebuah senyum tipis.

"Good... good..." Sam berdehem. Hening kembali jatuh di antara kami berdua.

Tidak ada kata yang terlontar selama beberapa saat. Riuh rendah lunch rush hour bertindak sebagai white noise yang menggantikan absennya cakap di meja ini.

"Look, Pril—"

"Sam—"

Aku dan dia berhenti di tengah jalan saat kalimat kami saling bertabrakan. Ia memberiku gestur untuk berbicara lebih dulu, namun dengan satu gelengan kecil aku menolaknya.

I have a feeling that something he's about to say is more important than mine.

"You first," aku mempersilakannta berbicara.

Sam menggigit bibirnya. Setelah diam selama beberapa saat, akhirnya dinyalakannya juga rokok yang sedaritadi hanya bergerak bolak-balik di antara jemarinya itu. Satu hela nafas panjang dan Sam pun berdehem sebelum membuka suara.

"You know, I've been thinking..." Sam berujar, setiap kata yang melincur berbalut ragu yang ketara. "I've been thinking... tentang pas lo nggak jadi dateng bareng gue ke nikahan temen gue..."

Aku terdiam. Seketika, perasaanku seperti tidak enak. Ada apa tentang hari itu yang berkaitan dengan Sam? Selain fakta bahwa aku batal menjadi plus one-nya, tentu saja.

"...it was Matt's" Sam berujar cepat. "The wedding, I mean. It... was Matt's. Lo... tau kan dia siapa?" pertanyaannya dilontarkan dengan sangat hati-hati, entah mengapa.

Matt. Untuk sesaat, aku membongkar lokus memoriku untuk menemukan asosiasi nama yang baru saja disebutkan Sam tersebut. Rasa-rasanya, aku tidak asing dengan nama itu. Where did I hear that before?

"Matthew Soedibjo..." ujar Sam memotong train of thought di kepalaku. "Dia temen SMA gue... sama Jeff..."

Oh...

Oh.

Everything just clicked.

'I'm sorry... you must've got... something better to do...'

Seketika, beragam perasaan pun campur aduk membasuh diriku. Bingung, mungkin. Atau sesal? Atau malah lebih kepada... lega? Maksudku, jika hari itu Ayah tidak masuk UGD mungkin aku harus terjebak dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan di acara pernikahan tersebut. Aku dengan Sam, sementara dia dengan...

"Gue tau, Jeff hari itu nemenin lo di UGD" Sam kembali berujar lagi-lagi memotong laju cepat kereta di pikiranku. "A-and it's not like I can complain right... gue siapa anjir..." ia terkekeh penuh ironi.

"Sam..."

"Look, Pril..." Sam menghela nafas panjang, dan menjentikkan di atas asbak. "The thing is... gue nggak nyangkal perasaan gue buat lo. It's there. It's been there since that new year's kiss... damn, mungkin lebih lama dari itu kali ya bahkan" tawa ironis itu kembali terdengar.

HollowWhere stories live. Discover now