Do you feel that I can see your soul?

5.1K 646 111
                                    

—Jeff

"Mentari—"

"Jeff—"

Gue berdehem saat kami berdua saling memanggil satu sama lain di saat yang bersamaan. Di kantin rumah sakit siang ini, gue dan Mentari duduk berhadapan. Ia dengan segelas es teh yang belum tersentuh sejak 10 menit yang lalu, dan gue dengan segelas es jeruk beserta sepiring siomay yang sama utuhnya.

"You go first," gue mempersilahkannya berbicara terlebih dahulu, sementara gue meraih gelas es jeruk gue dan menyesap isinya sedikit.

Shit, this is awkward.

"Okay..." Mentari menyahut, tampak ragu. "Mm... tadi gimana keadannya...?"

"It's fine" gue menjawab cepat, terlalu cepat sampai-sampai gue berharap Mentari tidak menangkap kikuk yang membalut setiap katanya. "I-I mean... kondisinya udah membaik... Stable. He's... stable"

"Oh..." Mentari mengangguk pelan kemudian mengalihkan pandangannya ke gelas es teh yang sedaritadi hanya ia aduk-aduk tanpa disesap barang setetes pun.

Untuk sesaat hening jatuh lagi di antara kami berdua. Baik gue ataupun Mentari tampak enggan untuk melanjutkan pembicaraan. Atau mungkin hanya bingung apa lagi yang harus dibicarakan.

Gue pun menghela nafas. "Ri, I'm sorry..." ujar gue akhirnya.

Gadis itu menengadah dan menatap gue. Untuk sesaat sorot di kedua matanya yang cerah itu memberikan gue tatapan yang sulit diartikan; bingung? Sedih? Kecewa? Entahlah, gue juga nggak yakin. Tapi sedetik kemudian, binar yang biasanya gue lihat di dalam manik hitamnya itu kembali, disusul dengan sebuah senyuman tipis.

"Why should you be? Gapapa kok, namanya juga emergency," jawabnya ringan. "Lagian... kayaknya lo lebih butuh minta maaf ke temen lo deh karena nggak jadi dateng ke nikahannya. Bingung pasti dia bestman-nya ilang satu" kekehnya kemudian.

Gue terdiam sejenak menatapnya, kemudian kembali menghela nafas. "Well... yeah... okay. Soal mereka, mungkin gue bisa hubungin nanti."

"Kenapa nggak sekarang?" Mentari mengangkat alisnya.

Gue mengendikkan bahu. "I... well... ya... gapapa sih," jawab gue sedikit terbata. "They won't mind anyway"

"Okay..." kembali Mentari mengangguk samar. Ia lalu merunduk untuk menyesap es tehnya sedikit.

Atmosfir kikuk di antara kami berdua masih terasa tebal. Jujur, gue nggak tahu harus bersikap bagaimana. Tadi gue benar-benar panik saat Senja menelepon dengan suara tangis tertahan di ujung sana. I didn't really pay too much attention to anything—heck, how could I, saat benak gue penuh dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi padanya.

Gue bahkan nggak menghiraukan Mentari yang beberapa kali bertanya ada apa dan kemana gue akan membawa kami berdua tadi. Even worse, gue meninggalkannya sendirian sesaat setelah mobil gue terparkir (dengan asal) di parking lot Rumah Sakit ini untuk berlari menuju Emergency Room.

I fucked up didn't I?

"Ri, look, gue minta maaf kalo hari ini gue udah bikin lo—"

"Jeff," Mentari memotong kalimat gue dengan cepat. "Don't be"

Gue termenung di tempat gue, menatapnya dengan perasaan yang mulai nggak karuan. Mentari mengaduk-aduk es tehnya pelan, wajahnya tertunduk dengan bibir yang terlengkung membentuk sebuah senyuman sendu.

"Gue ngerti kok." ia melanjutkan seraya menengadah untuk membalas tatapan gue. "Ngerti banget"

Rasa bersalah semakin melingkupi hati gue. "Ya... tapi gue tetep ngerasa nggak enak karena udah bawa-bawa lo... ke situasi ini..." balas gue dengan berat.

HollowWhere stories live. Discover now