and I spend all night stuck on a puzzle

4.7K 624 229
                                    

—Jeff

If I were to track where it started to go wrong, dua tahun yang lalu mungkin menjadi awalnya.

Gue (akhirnya) lulus kuliah, Enam Hari sudah mengeluarkan EP, tawaran manggung pelan-pelan menggunung, dan Senja sibuk dengan pekerjaan barunya.

Thing started to fall into place yet falling apart at the same time.

"Aku tuh cuma minta waktu kamu loh, Nja. Cuma waktu. It's not like I'm asking you to build a fucking temple for me or anything"

"Dan aku juga cuma minta kamu ngertiin aku. Kamu kira kamu doang yang bisa bangun karir? Kamu kira aku nggak punya keinginan sendiri yang mau aku achieve?"

"Apa yang aku lakuin selama ini kalo bukan ngertiin kamu, Nja? Kamu cancel date kita berkali-kali aku turutin. Kamu sibuk ngurusin klien kamu pas ketemu sama aku, aku biarin. Have I not done enough?"

Bunyi jepretan kamera dan cahaya flash yang tiba-tiba membutakan mata membuat gue mendongak, buyar dari lamunan gue. Di sana, berdiri Fe, pacarnya Bram, yang tengah meringis kecil dengan kamera pocket analog-nya di tangan.

"Ups... sori. Lupa dimatiin flash-nya" Fe berujar.

"Kampret gue kira tenda kita kesamber petir" jawab gue dengan mata yang sedikit berkunang-kunang.

"Hehehe iya iya sori," Gadis yang malam ini bertugas sebagai merch girl kami itu hanya terkekeh kecil sebelum melipir menjauh dari gue, lanjut mengabadikan wajah-wajah lain di tenda ini.

Riuh rendah anak-anak, crew, beserta beberapa panitia yang keluar-masuk tenda menambah hiruk pikuk suasana artist tent malam ini di Sukabumi. Dingin juga ya ternyata, padahal gue udah jaketan denim tebel gini.

"Iya, Ki? Iya ini kita udah stand-by di tenda sih, paling bentar lagi. Kita ditaro akhir-akhir sama panitia, kayaknya biar jadi encore... Hahaha..."

Gue menoleh kala suara familiar Satria lewat di sisi gue. Bapak ketua kami itu melangkah santai dengan ponsel menempel erat di telinga dan senyum yang mengembang lebar di wajah. Pasti lagi teleponan sama Ibu Negara sih kalau udah kayak gini.

Nggak banyak yang bisa membuat Satria senyum selebar ini selain polah Dodi dan Ibu Negara alias Kinar, pacarnya. And since Dodi is currently busy being an e-sport athlete he is (liat aja tuh dipojokan udah anteng anaknya pegang handphone), so I'm pretty sure it's the second option.

"...Oiya? Hahah. Terus pada gimana dong besok pentasnya? Nggak ada kamu terus itu bocah-bocah pada nggak mau naik panggung?"

Bapak ketua kami masih asyik menyambung rindu lewat sambungan telepon. Nggak bermaksud nguping, cuma emang kedengeran aja suaranya sampe gue sini. It's just something that can't be helped you know.

Jadi inget, dulu gue juga pernah berada di posisi Satra—rajin diteleponin tiap sebelum mulai gigs. It was kind of a ritual, you know, listening to her voice telling me that I can do better on this stage than the previous ones. Dan kalau waktu tur serta lokasi yang kami datangi cukup jauh, gue dan dia bahkan kerap menyempatkan diri untuk video call. Just me telling her I missed her and her telling me (and the rest of the band) good luck.

Dulu, cuma denger suaranya aja gue udah bisa tenang banget. Rasanya, gue siap menghadapi crowd yang kayak apapun di atas panggung nantinya.

I told you I am in love—no wait, I WAS in love with her right? Madly. Bersamanya, gue pernah berada di satu titik di mana, gue akan rela melakukan apapun asalkan gue nggak kehilangan dia. Apa pun—walaupun itu berarti, gue yang harus kehilangan sebagian diri gue sendiri.

HollowNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ