How do I recover from you?

5K 644 88
                                    

—April

Time will heal everything is a complete bullshit.

Boro-boro membantu menyembuhkan, waktu bahkan nggak akan menunggu kamu untuk menyembuhkan lukamu sendiri. Kamu barusan patah hati dan habis menguras semua stok air mata yang kamu miliki? Well, waktu nggak akan merubah jumlah detiknya. Sehari tetap 24 jam, nggak peduli seberapa parah sakit hati yang kamu derita.

You gotta nurse your heartbreaks along with mountains of deadlines and responsibilities that won't wait until it heals as well.

Yeah, life is depressing like that.

"Bebski, makan yuk laper nih!"

Satu tepukan di bahu dan sebuah suara kemayu membuat gue menoleh dari draft pitch yang tengah kukerjakan saat ini. Berdiri di sana adalah Rusman Hadi Pranata alias Pepe, Account Manager di agensi periklanan tempatku bekerja, yang kebetulan juga merangkap sebagai my office bestie.

"Duh, deadline gue banyak nih hari ini" aku beralasan sambil membuat wajah sedih. "Gue gofood aja ntar deh"

Sejujurnya, ini bukanlah salah satu hari di mana deadline-ku sebanyak dan se-pressing itu sampai-sampai aku tidak bisa beranjak dari meja hanya untuk makan siang. But you know, salah satu cara termudah dalam menangani sakit hati adalah menenggelamkan diri dalam pekerjaan. And not that it's something better to do, but at least it's still better than sitting around weeping a love that is lost.

Pepe berdecak. "Deadline nggak dibawa mati. Ayolah, gue udah ngidam penyetannya si Susi nih dari kemaren. Yuk gue traktir deh yuk!"

"Yah masa traktir cuma penyetan doang" aku berusaha bercanda.

"Heh anak setan, mangkak lu ye. Ayo cepet keburu meninggal nih gue dari pagi belom makan. Makan revisian klien iya" Pepe memijat kepalanya ringan sebelum mengepit dompet panjang yang menjadi trademark-nya itu di ketiak. "Yuk beb ah!"

Aku tertawa kemudian meraih dompet serta ponsel, menyerah juga mengikuti mau Sang Nyai satu ini. "Iya iya ini gue temenin nih, tapi beneran jadi traktir ya?"

"Deuh rempita deh situ, iya gue traktir nasinya aja." Pepe berujar seraya menggamit lenganku dan menarik—setengah menyeretku—menuju lift. "Come on move, move! Less talking more walking. Me is starrrrving"

"Weey, abis nyontek draft copy-nya siapa tuh lo?" aku menoleh ke arahnya sambil tertawa atas rangkaian kata-katanya barusan yang unexpectedly smart.

"Enak aja itu gue mikir sendiri ya. Ye boi got brain y'know"

Dan kami berdua pun pecah dalam koor gelak tawa.

You see, meskipun secara level Pepe ini technically berada di atasku, tapi di antara sekian puluh warga agensi periklanan yang menempati lantai 35 gedung perkantoran ini, ialah yang paling dekat denganku. Pepe yang pertama kali menyapaku saat first day-ku di sini dua tahun yang lalu and we've been stuck to each other ever since. Sure, we hang out with other people from the office too, tapi aku bisa bilang Pepe ini kedudukannya sudah hampir seperti Dena dan Theta dalam lingkaran pertemananku.

"So, what's the word on you and that band dude?" Pepe bertanya setelah kami duduk dan memesan makan siang di warung ayam penyet langganannya ini.

Aku memutar bola mata. "Gak ada. Udahan udah, we're done. That's it. That's that. End of story"

"Masa?" Pepe menyipit sambil mengunyah kacang goreng. "Kok Sabtu kemaren gue liat tweet lo masih ngomongin dia?"

"I was drunk!" aku buru-buru menyanggah dengan wajah menghangat—bukan karena panas Jakarta di siang hari atau udara warung pinggir jalan yang penuh sesak ini.

HollowWhere stories live. Discover now