Break my heart again

3.4K 600 161
                                    

—April

Entah sudah berapa kali aku membaca ulang sederet pesan yang masuk ke ponselku 30 menit yang lalu itu, tapi otakku seakan menolak bekerja untuk sekedar mengetikkan balasannya.

[WhatsApp]

Jeff

Hey

Ayah gimana nja? Udah baikan?

Bukannya aku nggak mau, hell justru sebaliknya. There's nothing else I want in this world right now but to be reunited with him.

Tapi... apa ya, bingung mungkin. Unsure? Probably. Apakah dengan membalas pesan tersebut adalah langkah yang tepat, atau aku justru akan jatuh dalam patah hati yang lebih dalam lagi?

Aku menghela nafas berat dan melempar ponsel dengan sembarang ke kasur tempatku berbaring kini. Kutatap langit-langit kamar yang rasanya sudah lama sekali nggak aku jumpai. Ada kayaknya dua bulan aku nggak pulang ke rumah ini, padahal biasanya setiap seminggu atau 2 minggu sekali aku selalu menyempatkan diri untuk pulang menengok Ayah dan Mama.

Takut mengakui bahwa aku telah gagal membina hubungan dengan Jeff adalah alasan utamanya. I don't know, I just kinda don't want to break their hearts you know. Walaupun mereka tidak pernah mengatakan apapun secara eksplisit, tapi aku tahu mereka menaruh harapan yang lebih atas hubungan kami.

Satu helaan nafas panjang kembali keluar dari mulutku. Ternyata sesulit ini ya untuk mengakui kekalahan diri sendiri.

Dengan berat, aku menarik diriku untuk bangkit. Aku butuh sesuatu untuk menenangkan isi kepalaku yang semrawut ini. Segelas teh hangat atau kopi might do. Sebenarnya lebih baik jika ada sesuatu yang lebih kuat dari keduanya, tapi mengingat aku sedang berada di rumah and there's no way I'm sneaking in alcohol, so I guess I have to settle with anything Ayah and Mama has on the kitchen cabinet.

Menuruni tangga dengan perlahan, sayup-sayup aku bisa mendengar suara TV yang masih menyala. Di ruang tengah, tampak Ayah dan Mama, being a cute lovebirds that they always are, duduk bersebelahan saling bersandar menonton sesuatu yang tampak seperti re-run Pride and Prejudice.

Kadang aku heran sendiri bagaimana dua orang ini bisa masih saling jatuh cinta bahkan setelah berpuluh tahun lamanya mereka bersama. Apa yang membuat keduanya bertahan, dan bagaimana mereka menavigasikan hubungan ini dari awal pacaran, kemudian menikah, memiliki aku, dan sekarang... menikmati hari-hari menuju masa senja bersama.

If love means patience and resilience, then these two people before me must've been made entirely with that.

"Eh, Nja? Belom tidur kamu?"

Aku menoleh kala kudengar suara Ayah memanggil dari arah ruang tengah. Ia dan Mama kini telah mengalihkan perhatiannya dari layar kaca di depan mereka ke arahku yang tertangkap tangan di tengah perjalanan menuju dapur.

"Nggak bisa tidur..." aku menggeleng, memutuskan untuk mengubah ruteku dan melangkah menghampiri keduanya. "Nggak tau kenapa, padahal badanku rasanya capeeeeek banget" rengekku.

Hampir secara otomatis, Ayah dan Mama menjauhkan diri dari masing-masing, membuat tempat untukku duduk di antara mereka. Mama tersenyum dan menepuk-nepuk space kosong di sofa yang mereka sediakan tersebut.

"Sini, sini. Aduh anak Mama yang cantik, capek banget beneran kamu tuh mukanya. Lagi banyak kerjaan apa di kantor, hm?" tanyanya sambil membelai rambutku lembut.

Aku menghela nafas dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Jawaban cepat, meski bukan itu alasan sebenarnya di balik lelahku.

"Apa kamu mau tidur bareng Mama sama Ayah, kayak waktu kamu kecil dulu?" Ayah di sisi kiriku tersenyum jenaka.

HollowWhere stories live. Discover now