Right where you left me

3K 487 188
                                    

—Jeff

"How do you know we'll win?"

"Told you I'm a witch"

Malam itu, malam setelah kemenangan Enam Hari di Art War, gue dan Senja berbaring di atas ranjang apartemen gue yang berantakan. Kepalanya bersandar di dada gue, sementara jemari gue bermain di antara legam rambutnya—membelainya pelan-pelan.

"No but, kamu instingnya kenceng banget ya? Tau aja kalo kita berlima yang maju jadi kontingen bakal bawa piala," kekeh gue pelan. "Now imagine kalo kamu waktu itu tetep mau lanjutin audisi cari fresh faces..."

Senja mengikuti kekehan gue dan menggeleng. "Babe, I have eyes on talent. Dan to be fair, siapa pun yang nggak bisa liat kalo kalian berbakat tuh might as well be blind gak sih"

Gue tergelak dan mengacak rambutnya dengan gemas. "You know, kalo suatu saat Enam hari bakal jadi gede... I think you're the one we're gonna thank first"

"..as you should." jawabnya santai, sesuatu yang membuat gue semakin gemas mengacak-acak rambutnya.

Tawa pun kembali merebak di bawah temaramnya lampu ruangan ini.

"No but for real, you save us, Nja" gue berujar serius setelah gelak kami sedikit mereda. "Kalo nggak ada kamu, kita mungkin.. ya yaudah aja gitu... will just another mediocre college band yang drifting apart sebelum sempet jadi apa-apa"

Tanpa gue duga, Senja kemudian mendangak untuk menatap gue lurus di mata. Tangannya lembut menangkup pipi gue dan membalainya pelan.

"Kamu mau tau alasan sebenarnya aku ngotot pengen kalian yang maju jadi kontingen?" tanyanya.

Gue mengangkat alis. "Kenapa?"

Senja tersenyum. "Soalnya aku percaya kalian bisa," ujarnya serius. "Aku percaya kamu bisa... becoming something... way bigger than you are right now. I believe in you, Jeff. I believe you'll make it big, and I want you to believe it too"

***

It almost feels... nostalgic.

"Gimana menurut kamu?"

Gue menekan tombol pause pada file lagu terbaru Enam Hari yang barusan gue mainkan di music player mobil gue, menatap Senja yang duduk di bangku penumpang.

Thank God, malam ini setelah berkali-kali ditolak sebelumnya, gue akhirnya berhasil juga mengajaknya keluar walaupun sekedar mengantar pulang dengan dalih kalau gue kebetulan abis ada meeting di Blok M, daerah kantornya Senja. Yeah who am I kidding, begitu dia mengiyakan tawaran gue untuk menjemputnya hari ini, langsung kesetanan gue menyetir dari kantor Block B Records di Matraman sampai ke sini membelah jalanan sore yang mulai macet dengan dada bergemuruh. Untung nyampe dan nggak telat, masih disayang gue sama semesta, thankfully.

Anyways, damn, I didn't realize how much I missed this... thing. You know, berkendara berdua Senja menyusuri padatnya jalanan di selatan Jakarta ini pada jam pulang kantor, ia di bangku penumpang, gue menyetir, lagu-lagu Enam Hari terputar di music player. It almost feels like I'm being brought back to the good ol' times, where everything was simpler, and we were... happier.

"Bagus kok" Senja berujar singkat. Matanya enggan beradu dengan gue, melainkan fokus menatap deretan kendaraan yang berdesakan memenuhi jalan raya di luar sana.

Yeah, almost. Selain fakta bahwa Senja berada di sini, physically, tidak ada lagi hal yang serupa dengan masa-masa di mana gue dan dia masih bahagia. Hening yang menyesakkan menggantikan suara argumen-argumen bodoh yang biasa saling kami lemparkan sepanjang perjalanan. Deru konstan mesin mobil menggeser posisi tawa yang kerap merebak di udara. And yeah, Enam Hari mungkin masih dimainkan di music player tapi tidak ada lagi sayup nyanyian kecil Senja seiring lagu yang dimainkan, atau komentar-komentar Senja mengenai apa pun itu yang tengah kami kerjakan saat ini.

HollowWhere stories live. Discover now