All my demons have your smile

4.5K 610 122
                                    

—Jeff

It all began with Mikael. College. Second year.

Pada saat itu, gue dan Senja baru menginjak usia pacaran kami yang ke-tiga bulan, setelah kurang lebih sebulan sebelumnya kami melalui masa PDKT. I didn't suspect anything nor did I expect too much of everything in this relationship, to be honest. Gue menyukainya dan gue tergila-gila padanya—but it's just enough untuk membuat gue berani memintanya menjadi pacar gue.

But apparently not enough to make her stay.

"Jujur sama aku, Senja. Kamu ada hubungan apa sama Mikael di belakang aku?"

"I like him."

Ada masa-masa di mana gue benar-benar nggak mengerti apa yang ada di kepala anak itu. Dan malam itu, malam di mana ranjau pertama kami meledak, adalah salah satunya. Gue nggak ngerti bagaimana ia bisa mengakui hal itu dengan ringan, tanpa berkedip dan sedikit pun hela nafas. Senja mengatakannya seolah ia tidak sedang berbicara dengan gue, pacarnya, seorang manusia hidup dengan hati yang bisa terluka.

"I'm sparing you the heartbreak of being lied to here, Jeff—"

"I am already being lied to, Nja."

"...Aku udah suka sama Mikael sejak kita ospek. I like him ever since and hasn't stop up til now."

Senja yang pertama membunyikan genderang perang. Senja yang pertama melempar ranjau. Senja yang pertama meluncurkan misil. Senja yang pertama menyerang dan melukai gue.

Malam itu adalah episode pertama dari gencatan senjata yang rupanya berlangsung hingga enam tahun setelahnya.

It all began with Mikael and continued with Shanaz.

I know, I know. Nggak ada sejarahnya balas dendam menyelesaikan semua permasalahan, even the world war is basically happened as a form of revenge for the assassination of Franz Ferdinand. Tapi pada saat itu, melampiaskan sakit hati gue dengan cara menggandeng cewek baru di depan Senja adalah satu-satunya opsi yang paling menggiurkan untuk gue. Ibaratnya perang, saat itu Senja sudah angkat senjata, dan gue enggan mengalah. Jadi, menurut kalian, apa lagi yang bisa gue lakukan selain meladeni serangannya?

And so, we launched ourselves into this hellish cycle.

"...I'm sorry, Jeff. I'm sorry it took me this long to realize that I don't want Mikael..."

"...Nja..."

"...Aku nggak mau Mikael and it hurts me so much to watch you around with Shanaz, fuck... it does hurt"

"Come here. Come here, Nja. Aku sama kamu sekarang, okay? I'm sorry too. I'm sorry..."

"...I love you"

"...I love you too"

Satu sentuhan. Satu pelukan. Satu ciuman.

It's everything we thought we need to fix the gaping crack in our relationship. Tapi nyatanya? Itu hanya bagaikan lakban yang menutup retak sementara, tanpa melakukan apa-apa untuk menambalnya. Pada perjalanannya, berkali-kali lakban tersebut rusak dan berkali-kali pula kami susah payah menambalnya lagi.

Until one day we started to run short on the tape, yet the crack keeps growing, and growing, and growing, hingga tanpa kami sadari, sebuah jurang telah tercipta antara gue dan dia.

"This isn't working anymore, Nja"

"No, this works perfectly fine. This COULD work perfectly fine, kalo aja kamu mau berusaha untuk make it work..."

HollowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang