Shouldn't you be out there breaking hearts?

7.4K 800 36
                                    

(and not chasing back the ones you've lost)

—Jeff

Nothing screams Rintik Senja April more than drunk tweeting. And texting.

Gue menghela nafas kala pagi ini hal pertama yang menyambut gue adalah deretan notifikasi pesan singkat yang inkoheren dari April dan rangkaian tweet mabuk yang sama inkoherennya dari akun twitternya yang memenuhi kolom 'In case you missed this' di homepage twitter gue.

(Pfft, in case you miss this. In case I miss what, Twitter? Her?)

[iMessage]

Senja

Fuvk yiu

yuo

YOU

FUCK YOU JEFF WORAPRASETYA

FICL

Goddamb r u not evem sad i lwft

im sad you know

im sad snd i miss yuo

u knuw whar forgwt it

i hste yiu

Gue menggeleng pelan dan meletakkan ponsel gue sembarangan di atas kasur. Gue nggak mau membayangkan apa yang anak itu lakukan semalam. Dari instastory Dena sih mereka tampaknya minum-minum—but really, who am I to care anymore, right?

Gue sudah putus dengannya, case closed. Enam tahun penuh jungkir balik kami akhirnya usai minggu lalu di kamar ini, tepat di kamar ini. Masih segar rasanya di ingatan gue argumen kita sebelumnya—sesuatu tentang orang ketiga, lalu kesibukan gue, kesibukannya, lalu teriakan, teriakan, teriakan, sumpah serapah, dan kalimat pamungkas yang akhirnya gue keluarkan.

"Aku nggak bisa lagi, Nja."

Man, what a ride.

Tapi, dibalik semua kekacauan yang terjadi malam itu, satu hal yang paling membuat gue terkejut adalah bagaimana April menanggapi kalimat gue dengan tenang—terlalu tenang malah, karena ia memilih untuk nggak berkata apa-apa lagi setelahnya. Bahkan saat gue memutuskan untuk mengantarnya pulang, memeluknya untuk terakhir kali, dan memastikan kembali ultimatum gue...

"I'm sorry we had to end this way, Nja. Good luck with everything now... I guess?"

Ia hanya menutup pintu mobil di depan wajah gue tanpa membalasnya, satu patah kata pun.

And so, I take that as a yes. Even though it may mean that it's one hell of an angry yes.

Gue tahu April, semua senang, sedih, dan marahnya. Gue hafal kalau ia marah meledak-ledak, berarti dia sesungguhnya belum se-marah itu. Sebaliknya, jika ia malah diam saat seharusnya ia marah, itu artinya ia benar-benar marah. Terlalu marah sampai ia memilih untuk tidak berkata-kata daripada melukai lawan bicaranya, dan mungkin, mungkin dirinya sendiri.

Jujur, malam itu gue lebih mempersiapkan diri gue untuk respon yang pertama. Makanya, ketika dia justru hanya diam saat gue meminta putus, sesuatu dalam hati gue rasanya seperti terusik.

I'd still rather have her scream at my face than for her to leave in silence just like that, you know.

Oh, dan soal twitter, kalau kalian penasaran mengapa gue masih bisa melihat tweet April, itu karena gue memutuskan untuk nggak meng-unfollow, block, mute, atau apapun itu yang biasanya kalian lakukan dengan media sosial mantan. Gue kira itu terlalu childish untuk gue yang udah umur segini. I mean, If we can't be civil IRL, the least we can do is to be civil URL, right? Lagian, Senja juga masih mem-follow semua media sosial gue kok (nggak tau tapi di-mute apa nggak), so I think we're good.

HollowΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα