I'm so proud I got to love you once

2.6K 351 92
                                    

—Jeff

"I don't think we can..."

Gue masih ingat bagaimana gue merasakan jantung gue melorot jatuh mendengar satu kalimat tersebut terlontar keluar dari bibirnya. The same lips that used to become my sanctuary.

"Kenapa...?" ditengah-tengah nyeri yang perlahan mulai memakan gue hidup-hidup, hanya satu kata itu yang mampu gue lontarkan sebagai balasan. Sebenarnya, ingin sekali gue berteriak, bertanya, memohon padanya; don't you love me anymore?

Tapi lidah gue kelu. Satu kalimat tersebut menghujam hati gue tanpa ampun, meninggalkannya teronggok berdarah-darah di tempatnya.

"I just..." Senja menghela nafas panjang, ekspresinya kelabu, sesuatu yang membuat gue berharap setidaknya ia merasakan sakit seperti yang gue rasakan juga.

And if the pain is mutual, isn't it best for us to at least try and heal it together? What do they say... two is better than one, right?

"Aku nggak bisa, Jeff." ia berujar pelan. "I love you, I do—"

"Terus kenapa nggak bisa?" gue menukas, berusaha mencari celah dari keputusannya itu.

"Cause it hurts, okay?" ia berujar, kedua manik hitamnya tajam menatap gue. "It hurts so much setiap kali kita kayak gini. Berantem, fall apart, balikan, fall apart lagi—it hurts, Jeff. Dan aku capek..."

Tenggorokan gue tercekat mendengarnya. "I'm sorry..." hanya itu yang bisa gue gumamkan pelan, lidah gue pahit oleh rasa bersalah.

Senja menghela nafas panjang. "Maybe we just weren't meant to be after all, Jeff"

"Tapi aku mau kamu, Nja..." gue berujar, setengah memohon. "Cuma kamu. It's you, always has been and always will be. Aku sayang sama kamu, Nja"

And there I said it. Sesuatu yang seharusnya gue tegaskan dari awal sebelum kebodohan gue membawa kita sampai ke titik ini. Is it all too late? Probably. Am I gonna stop trying? Never.

"Nggak cukup, Jeff" lirih suara Senja terdengar getir memenuhi ruang sempit mobil ini. "Itu aja nggak cukup... we both know that, you and I."

Dan malam itu pun berakhir dalam keheningan yang paling menyesakkan yang gue pernah rasakan seumur hidup gue. Ketika Senja akhirnya melangkah keluar dari mobil gue dan menutup pintunya, yang tersisa dari gue saat itu hanyalah hampa.

That night I know I've lost a great deal of myself that I will never be able to replace.

***

"...Dan pemenang Anugerah Musik Indonesia untuk kategori artis pendatang baru terfavorit adalah... ENAM HARI! Round of applause untuk Enam Hari..."

Riuh tepuk tangan dan sorak sorai memenuhi ballroom bertabur bintang malam ini. Di meja kami sendiri, gue dapat melihat Bram melompat kegirangan, bertukar peluk dengan Wira. Kemudian ada Satria yang berdiri sambil bertepuk tangan dengan senyumnya yang selalu bersahaja itu, serta Dodi yang nggak bisa melepaskan cengiran khasnya bahkan hingga kami berlima melangkah maju ke atas panggung untuk menerima piala.

And as for me, surprisingly, I'm not sure I even felt anything at all.

I mean, generally speaking sure gue seneng—gila, AMI coy siapa yang nggak seneng—telah berhasil mencapai titik ini bersama teman-teman yang sudah gue anggap sebagai saudara gue sendiri. Tapi, dulu gue selalu membayangkan adegan ini dilengkapi dengan satu sosok lagi yang menemani gue literally dari gue masih bukan siapa-siapa.

HollowWhere stories live. Discover now