Keberanian Bodoh

41 7 8
                                    

"Jangan bilang kamu masih terus ngerokok ya, El!" seru Ayah. Ayah adalah sosok berhati lembut, tetapi palsu. Ia mencitrakan dirinya berwibawa dan penyayang karena tidak pernah sekalipun mengangkat tangan ke keluarganya.

Walaupun tidak semestinya Elok berpikir buruk, ia telah menetapkan bahwa Ayahnya hanya punya omongan besar di hidupnya. Dan, tidak sepantasnya menerima peran seorang ayah. Bahkan Elok tidak lagi memanggilnya 'Ayah' semenjak kejadian besar menimpanya. Itu juga yang mengantarkan Elok pergi ke Desa Sangaleya. Setahun sudah, ia hidup menyedihkan.

Elok hanya bisa membungkam mulutnya rapat-rapat, terus diam, dan akan selamanya dituntut diam selagi Ayahnya melontarkan berbagai omong kosong. Ia tidak mengelak ketika dituduh masih merokok. Ia hanya memilih menunduk melihat lantai sembari berharap dibela olehnya. Dengan bodohnya, Elok berharap pada benda mati karena tidak sampai hati meminta pembelaan dari makhluk hidup di depannya saat itu.

Setahun itu juga, Elok mustahil menahan matanya tidak sembap ketika sendirian dan teringat kondisinya. Tidak banyak yang mengerti bahwa Elok sebenarnya memiliki hati yang sangat lembut. Akan tetapi ia selalu menutupi dengan keras wataknya. Ia jelas seorang penurut bodoh. Namun, jika sekalinya menyangkut penderitaan karena keluarganya, ia tidak ragu untuk menunjukkan sisi keras itu kepada siapapun.

Tidak ada yang ia pikirkan selama duduk di dalam kereta selain perasaannya. Sepertinya, bolak-balik ke Desa Sangaleya selama setahun belum cukup memberikan obat penenang bagi Elok. Ia masih goyah untuk berdiri di depan keluarganya.

Ia baru menyadari bahwa wewenang adalah tahta tertinggi. Apa daya dibandingkan Elok—seseorang yang belum mampu menghasilkan uang sendiri, belum lulus, bahkan sikap buruknya: terus memilih kabur ketika gagal memecahkan persoalan. Pikiran itu terus mengitari otaknya. Sampai ketika pendengarannya menangkap pengumuman kru KAI bahwa lima menit lagi sampai pemberhentian.

Kemudian, ia turun melewati pintu sebelah kanan tepat setelah aba-aba pintu kereta dibuka. Dan, langkah selanjutnya adalah keluar stasiun menuju penitipan sepeda.

Seketika Elok memindai kartu kereta digitalnya sebagai tanda check-out, ia langsung disuguhkan lambaian tangan tidak bertenaga dari Ranook—Kakak kandungnya—dari ruang tunggu penjemputan.

Elok tidak habis pikir apa yang membuat Kakaknya datang. Tatapannya pun berbeda, kali ini tercampur amarah. Terlihat dari sorot matanya yang sangat tajam. Sebagai respons, Elok memilih untuk menghindar.

"Mau sampai kapan kabur-kaburan?" kata Ranook menghampiri Elok. "Kamu cuma emosi, lebih baik balik sekarang."

"Mas Ranook," jawabnya. "Cuma? Cuma setahun maksudnya?"

"El! Kamu harus tahu siapa yang kamu hadapin. Kalau belum bisa ngalahin jangan nantang dong."

Elok berhenti karena sikap Kakaknya dirasa aneh. Tidak seperti biasanya dia datang menjemput, tidak seperti biasanya dia berkata banyak, dan tidak seperti biasanya memakai suara tinggi kepada Adiknya.

Lantas Elok menanggapi pelan, "Apa, Mas Ranook?"

"Kalau kamu bilang ayah cuma punya omongan besar, kamu itu jauh lebih parah. Kamu cuma punya keberanian bodoh."

***

Photo by Rio Kuncoro

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Photo by Rio Kuncoro

Thank you || https://www.pexels.com/photo/empty-train-station-platform-with-screen-doors-3829591/

Toko Buku di Desa Sangaleya 7 (SELESAI)Where stories live. Discover now